“Jadi, lu udah resmi jadian sama dia? Serius?”
Di kantin, saat jam istirahat, Maya begitu antusias menanyai Chika tentang kisah asmara temannya itu dengan seorang lelaki tajir yang dikenalkan Azka, tempo lalu. Namanya Briyan. Namun, Maya tak mengira, kalau Chika akan tertarik secepat itu. Bahkan, Maya tak percaya kalau Chika sudah berhasil menggaet Briyan.
Santai, Chika pun menganggukkan kepalanya itu sebagai jawaban. Ia mengakui pengakuannya adalah benar. Bahwa, ia memang sudah meresmikan hubungannya dengan Briyan, sejak tiga hari lalu. Tepatnya saat Valentine.
Ditenggaknya minuman dalam gelas sampai habis, kemudian Chika menyeka bibir seksinya itu dengan punggung tangan perlahan-lahan. Ia merasa begitu beruntung, juga percaya diri karena sudah berhasil menggaet seorang lelaki tampan dan juga tajir. Padahal, jauh sebelum itu, paling bagus pacarnya hanya seorang pegawai pabrik. Ia juga pernah menjalin hubungan dengan seorang guru. Namun, semuanya selalu kandas di tengah jalan.
“Ya, Tuhan. Apa nggak terlalu cepat? Lu baru kenal sebulan kan sama dia?”
Maya kembali mengajukan pertanyaan. Kali ini perihal keraguannya soal Briyan yang memang kastanya jauh di atas mereka berdua. Dia pikir, apa iya seorang lelaki tajir mau sama gadis kuliahan yang nyambi kerja untuk bisa bertahan hidup?
“Entahlah. Tapi, gue rasa Briyan serius. Dia sayang dan cinta sama gue sejak pertemuan pertama itu. Katanya, gue udah berhasil memikatnya hanya dengan sekali senyum. Astaga. Lu harus tahu, Maya. Gue benar-benar meleleh saat Briyan mengungkapkan perasaannya.”
Panjang lebar, Chika pun mengungkapkan perasaannya. Ia benar-benar terlihat begitu antusias dan juga bahagia saat menyebut nama Briyan. Seolah-olah, orang itu adalah satu-satunya lelaki yang ada di dunia ini.
“Lu tahu sendiri, kan? Mantan pacar gue, semuanya pada kaku. Mereka dingin, pendiam dan jarang sekali bicara. Apalagi bicara mesra seperti Briyan. Pokoknya, kali ini, gue harus berhasil. Gue nggak boleh lepasin dia begitu aja!”
Kembali, Chika pun bicara panjang lebar tentang isi hatinya. Tentang mantan kekasih, juga tentang betapa besar keinginannya untuk bisa memikat Briyan sampai menikah. Chika pikir, dirinya harus memperbarui keturunan.
Namun, menanggapi temannya itu, Maya justru menggeleng. “Duh ... Lu ini kok mendadak gila harta? Hati-hati, Chi. Orang kaya itu nggak sembarangan. Briyan, bisa aja cuman manfaatin lu, kan?” ungkapnya. Karena sebagai teman, Maya merasa perlu untuk mengingatkan Chika.
“Gue tahu, May. Dan, gue pasti selalu hati-hati,” timpal Chika, seraya melahap makan siangnya. Semangkuk soto dengan sedikit nasi itu, akhirnya membuat ia kenyang. “Oh, iya. Kita masih ada satu kelas lagi, kan? Hm ... padahal, gue udah nggak sabar pen ketemu pacar.”
“Dih! Bukannya kita harus ke minimarket? Jangan bilang, lu mau bolos kerja hanya karena Briyan!” singgung Maya. Dia benar-benar tak habis pikir, kalau perkiraannya itu adalah benar.
“Ya, kagak. Maksud gue, kalau gada kelas lagi, gue bisa ketemu Briyan dulu sebelum masuk kerja, May. Astaga! Otak lu udah parnoan aja. Tenang, sih. Gue nggak segila itu kali,” timpal Chika. Kali ini seraya duduk bersandar sambil mengusap-usap perutnya yang kekenyangan.
“Syukurlah. Karena jujur, gue takut lu berubah setelah mengenal Briyan!”
“Kagak. Awokawok. Tapi makasih karena udah selalu mengkhawatirkan gue. Lu emang teman terbaik yang pernah gue punya, May. Please! Jangan pernah berubah, seandainya gue kehilangan arah. Lu harus selalu ada buat gue. Janji?” tanyanya, dengan tatapan haru. Meski harunya itu tampak dibuat-buat untuk menggoda Maya. Chika juga menyodorkan kelingkingnya sebagai simbol perjanjian.
“Janji!” timpal Maya, sembari mengaitkan kelingkingnya di kelingking Chika sebagai simbol, kalau dirimu menerima perjanjian tersebut. “Lu sama gue, teman forever.”
“Wah ... makan nggak ngajak-ngajak gue!”
Tiba-tiba saja Azka datang. Salah satu teman mereka juga itu, bahkan sudah duduk di samping Chika dalam sekejap. Lantas, ia langsung melahap soto milik Maya yang masih tersisa banyak di mangkuk.
“Wah ... wah ...Nggak sopan. Datang-datang langsung makan makanan punya orang pula.” Maya pun menarik mangkuk berisi sotonya lagi. Lantas, buru-buru ia melahapnya sampai habis.
Sementara itu, Azka sibuk mengunyah dan menelan soto yang sempat dimakannya. “Pelit. Cuman nyobain juga!” umpatnya kemudian.
“Kalian ini, emang udah kek kucing sama anjing, ya. Nggak di mana-mana, kerjaannya ribut mulu. Hadeuh!” singgung Chika. Namun, dia selalu menikmati pertengkaran dua temannya itu setiap waktu. Seperti sekarang. Melihat Maya memoncongkan bibirnya, ia justru tertawa lepas. Sampai lupa, dirinya tengah ada di antara mahasiswa lain.
“Auk, tuh. Resek emang si Azka!” omel Maya. Karena tak mau sotonya habis di tangan Azka, ia pun segera menghabiskannya sampai ke air-airnya.
“Makan aja terus, May. Sama mangkuknya sekalian. Dasar pelit!” tuduh Azka yang tak terima karena tak dibolehkan mencicip soto Maya.
“Lu yang harusnya gue makan. Mau?” tanyanya, dengan tatapan tajam ke arah Azka. Seperti singa lapar, Maya tampak mengaum.
“Dih?!” Azka pun bergumam sembari meraih gelas berisi jus mangga milik Maya. “Minta dikit!” ijinnya.
“Hilih. Modal dikit napa? Rang kaya juga!” sindir Maya. Azka memang kerap mengaku kalau dirinya itu berasal dari keluarga kaya. Tapi, kenyataannya, makan siang saja selalu minta traktiran.
“Iya-iya! Nanti gue pasti balik mentraktir kalian, kok. Tenang aja, sih. Tapi, sekarang gue lapar. Serius. Beliin soto juga, ya?” pintanya, seperti biasa.
“Ogah!” timpal Maya, yang seketika mengundang tawa di bibir Chika lagi. Kali ini, temannya itu menangkup mulut, agar tak menjadi pusat perhatian. “Tawa, lu. Azka tuh. Kebiasaan. Makan siang aja minta traktiran. Padahal, kita bisa makan kek gini ya karena kerja paruh waktu. Dan itu capek;”
“Dahlah, May. Masih aja kenapa? Kan sekalian sodakoh. Siapa tahu, Azka beberan balik mentraktir kita, suatu hari nanti. Ya, nggak?” ungkap Chika. Selama ini, dia memang yang paling sering memberi jatah makannya Azka.
“Tul!” timpal Azka, dengan senangnya.
“Ish! Kalian ini emang nyebelin banget tau nggak?” omel Maya. Meski begitu, seperti kata Chika, akhirnya mereka memberi jatah makannya Azka. Seporsi soto, juga segelas es teh manis pun dipesan.
“Ya, sudah. Kalau gitu kita pergi duluan, ya. Lu makan yang kenyang, dah!” kata Chika sambil meraih dan menyelendangkan tasnya dari meja. Lantas, ia buru-buru berdiri. “Kita balik ke kelas, May. Bentar lagi jamnya kita.”
“Hooh. Makasih sebelumnya, Chi.”
“Sama-sama!” timpal Maya, masih dengan nada kesal. Lantas, Maya pun beranjak pergi dengan Chika yang masih saja cengengesan, menertawakannya dengan Azka. “Udah, sih. Ketawa mulu lu!”
“Iya-iya!” balas Chika, seraya berusaha menghentikan tawanya. Namun, tiba-tiba, pandangannya justru menangkap sosok yang ada dalam benaknya saat ini. Briyan tersenyum begitu tahu kalau Chika menyadari kedatangannya. “Briyan?” gumamnya.
Diiringi senyum semeringah, Briyan yang sengaja datang untuk memberi kejutan pada Chika pun menghampiri kekasihnya itu. Lantas, kedua tangan yang Briyan sembunyikan di balik punggung, seketika ia tunjukkan bersamaan dengan sebuket bunga mawar merah merona, lengkap dengan beberapa batang cokelat di dalamnya.Katanya, “Sore, Sayang. Aku telat jemput nggak? Atau ... malah kecepatan?”Pertanyaannya itu pun sukses membuat Chika terharu biru. Dia benar-benar merasa di atas awan sekarang. Sampai-sampai, Chika tak dapat menyembunyikan rona bahagia di pipinya yang tirus. Bahkan, refleks, tubuhnya bergerak kegirangan. Membuat Maya yang berdiri di sampingnya menyikut Chika agar bersikap anggun.“Jadi cewek itu kudu kalem. Jan ganjen kek begitu!” bisik Maya, menasihati Chika yang mendadak ganjen bin labai.“Iya-iya!” balas Chika, sama berbisik. Kemudian, gadis yang memakai gaun merah selutut itu pun melangkah maju. “Aku masih ada satu kelas lagi, Yang. Kamu ke
Meninggalkan Briyan lebih dulu, Azka pun berlari-lari menuju kelas yang harus dimasukinya selama satu sampai dua jam ke depan. Wajahnya semeringah, meski canggung karena tiba-tiba menyadari sesuatu. Azka pikir, tak seharusnya ia memberikan Chika pada bosnya yang memang kerap bermain-main dengan banyak wanita.Senyum yang tadi semeringah, tiba-tiba menghilang begitu melihat tawa Chika di dalam kelas yang hendak ia lewati. Gadis yang ia suka sejak enam bulan terakhir itu tampak bahagia saat bicara dengan Maya. Sementara dirinya, justru sudah dengan sengaja memasukkan Chika ke dalam kandang singa.Ya, kandang singa. Sebab, karena ketidakyakinannya terhadap perasaan yang Azka punya, ia justru memilih jalan keliru. Azka tahu kalau bosnya itu adalah seorang lelaki nakal. Tapi, demi mendapatkan perhatian lebih dari Chika, Azka rela memungut Chika setelah Briyan mencampakkan gadis pujaannya nanti.“Maaf,” gumamnya sera
Berdecak, karena tak dapat mengejar Maya, Chika pun akhirnya memilih untuk diam sebentar. Ia pikir, ia harus menghubungi Briyan sebelum memutuskan pulang ke rumah. Namun, baru saja Chika merogoh ponsel dari tas selendang yang dipakainya, suara klakson lagi-lagi membuat kaget.Namun, kagetnya kali ini membuat Chika berakhir kegirangan. Sebab, mobil yang sekarang ada di hadapannya itu adalah mobil orang yang sedang ia cari dan tunggu-tunggu. Briyan. Kekasihnya itu, bahkan sudah turun dan berjalan menghampirinya lebih dulu.“Maaf, Sayang. Aku pergi ke Minimarket dulu barusan. Haus,” katanya sambil menyengir lebar. Lantas, Briyan pun meraih kedua tangan Chika dalam sekejap. Bahkan, sampai membuat Chika terkejut karena terbengong. “Maaf, ya,” bujuknya.“Kenapa nggak ngasih tahu aku dulu? Kan, bisa ... bilang mau keluar bentar git
Setelah lebih dari lima menit menikmati lengkung merah jambu milik kekasihnya itu, Briyan belum juga berniat untuk menarik diri. Terlebih, Chika sama sekali tak melakukan penolakan apa pun selain hanya diam dan seolah pasrah. Perlahan, Briyan pun membuka mata yang sedari tadi terpejam. Ia melihat ketenangan, setelah tadi hanya ada gurat gugup di wajah Chika. Semakin yakinlah dia, kalau Chika sudah benar-benar menjatuhkan hati terhadapnya.Perlahan pula, Briyan pun menyusupkan kedua tangannya itu ke balik punggung Chika. Niat hati, ia pun ingin menyusupkan tangannya itu ke balik baju yang Chika pakai. Namun, baru saja telapak tangannya itu menyentuh punggung, Chika langsung terenyak.
“Galak bener temen gue yang satu ini. Mentang-mentang gue nggak datang sama Chika, terus lu sombong gitu sama gue? Ish! Biasa aja kali. Santui. Lagian, salah lu juga. Ngapain ngenalin Chika sama bos lu itu? Padahal, gue tahu kalau lu juga suka, kan, sama dia?”Padahal, Maya yang baru saja datang itu masih di depan pintu. Ia belum masuk sama sekali. Tapi, mulutnya susah nyerocos setengah ngebut kalau disamakan dengan kendaraan beroda empat. Ia juga tertawa-tawa tak jelas sampai membuat Azka keheranan.“Nggak jelas lu! Dahlah, kalau mau ngajak ribut mending lu balik, deh. Gue lagi nggak mood terima tamu. Nggak mood ngobrol. Nggak mood ngapa-ngapain, apalagi sama lu!” ujar Azka seraya hendak menutup pintu.Namun, karena lengah, Azka justru kecolongan saat Maya memilih menerobos masuk daripada pergi dari rumah kontrakan temannya itu. Bahkan, ia yang lelah setelah sedikit berjalan-jalan sepulang kuliah, langsung melempar tubuh tinggi sedangnya itu
“Suka?”Setelah semua hidangan makan sore mereka terhidang di meja, Bryan pun menanyakan perihal menu makanan di restoran milik bibinya itu. Ayam bakar utuh bumbu barbeque, ikan bakar saus rujak nanas, dan sambal goreng lengkap dengan lalapan-nya tampak masih mengepul juga segar. Belum lagiChika menggeleng. Namun, itu bukan karena dirinya tak suka dengan hidangan tersebut. Melainkan karena tergiur dan tak sabar ingin segera menyantap juga menikmatinya sampai kenyang.“Suka,” katanya sambil menyengir lebar. “Tapi, apa nggak kebanyakan ini, Yang? Kita cuman makan berdua loh?” sambung Chika yang seketika mengingat Maya. Ia dan temannya itu bahkan, harus menunggu satu bulan untuk bisa menikmati makanan seenak dan semahal itu.“Nggaklah. Makannya nggak usah pakai nasi aja, gimana?” usul Bryan.Dia yang menjaga kekekaran tubuhnya itu memang jarang sekali menyantap nasi. Paling-palin
Azka tahu kalau yang dilakukannya pada Maya adalah sesuatu yang salah. Namun, ia tetap melakukannya tanpa merasa takit atau berdosa. Ia pikir, yang dilakukannya adalah apa yang diinginkan Mayan. Ia sama sekali tak meminta atau memaksa.Bahkan, jika diulang, Maya lah yang memulainya. Maya lah yang memancingnya. Ia hanya terbawa arus, sampai akhirnya terseret jauh sampai berani melakukannya sesuatu yang tak pernah dilakukannya pada gadis mana pun.Azka yang baru saja menyelesaikan hasrat dalam dirinya itu menarik diri dari tubuh wanita di hadapannya. Tanpa kata atau pun apa, ia langsung melengos pergi ke kamar mandi untuk segera membersihkan dirinya dari keringat. Barangkali, guyuran air dapat menyapu amarahnya yang masih saja berputar dalam kepala. Dan, itu masih saja tentang Chika.Sementara itu, Maya yang juga tak merasa takit sama sekali dengan tindakannya, kemudian duduk seraya beringsut turun. Satu persatu ia ambil pakaian yang berceceran di lantai untuk seg
“Aih, ngos-ngosan gitu. Kenapa?”Di ruang belakang, tempat di mana para karyawan beristirahat, Chika yang baru saja menyimpan tasnya itu dalam loker mengernyit heran saat melihat Maya. Temannya itu menundukkan tubuhnya, dengan kedua tangan bertumpu pada lutut. Sementara deru napasnya terdengar cukup keras, sehingga dapat dipastikan, kalau Maya sedang dalam keadaan capek.Gadis di hadapan Chika itu pun mengangkat wajahnya cepat. Ia masih mengos-ngosan sampai mulutnya maju mundur dengan membentuk sebuah huruf O. Susah paya ia menelan ludah juga sebelum akhirnya berdiri tegak sambil menghela dan membuang napas panjang.“Gue takut telat. Makanya, barusan gue lari dari depan. Mana nggak sempat mandi gue. Kan, asem!” jawabnya sembari mengangkat kedua tangan. Kemudian, ia mencium keteknya sendiri, bergantian. “Tuh, kan ... bau asem!” Ia ngomel sendiri.“Dih! Jorok banget, sih, lu? Lagian, bukannya tadi lu pulang lebih du