Berdecak, karena tak dapat mengejar Maya, Chika pun akhirnya memilih untuk diam sebentar. Ia pikir, ia harus menghubungi Briyan sebelum memutuskan pulang ke rumah. Namun, baru saja Chika merogoh ponsel dari tas selendang yang dipakainya, suara klakson lagi-lagi membuat kaget.
Namun, kagetnya kali ini membuat Chika berakhir kegirangan. Sebab, mobil yang sekarang ada di hadapannya itu adalah mobil orang yang sedang ia cari dan tunggu-tunggu. Briyan. Kekasihnya itu, bahkan sudah turun dan berjalan menghampirinya lebih dulu.
“Maaf, Sayang. Aku pergi ke Minimarket dulu barusan. Haus,” katanya sambil menyengir lebar. Lantas, Briyan pun meraih kedua tangan Chika dalam sekejap. Bahkan, sampai membuat Chika terkejut karena terbengong. “Maaf, ya,” bujuknya.
“Kenapa nggak ngasih tahu aku dulu? Kan, bisa ... bilang mau keluar bentar gitu?” selidik Chika. Dia tahu, apa yang dikatakannya itu adalah benar. Saat sedang menunggu seseorang, pergi sekejap ke tempat lain itu, harusnya bilang dulu agar tak membuat jengkel.
“Ya, maaf. Aku pikir, teleponku Akan mengganggu jam pelajaranmu, Yang. Makanya, Barusan aku langsung pergi,” jelas Briyan, yang memang begitu kejadiannya. Tadi, dia sempat ingin menghubungi Chika. Akan tetapi urung karena takut kalau sampai mengganggu kekasihnya itu.
“Ya, sudah. Aku harus buru-buru pulang, Yang. Karena jam lima sore nanti, aku harus sudah sampai di tempat kerja.” Karena tak ada yang disembunyikan, Chika pun membicarakan soal pekerjaannya. Bahwa, waktunya memang tak banyak lagi.
“Nggak mau jalan-jalan dulu? Sekarang masih jam dua lho. Ke mana dulu gitu?” tanya Briyan. Dia datang ke kampus, bahkan sampai rela menunggu Chika setelah mengurus beberapa pekerjaan di kantor, tujuannya memang untuk mengajak kekasihnya itu jalan. Setidaknya makan siang, karena Briyan pun sudah dengan sengaja menunda makan siangnya itu.
“Mau, sih. Tapi ... jangan ke tempat yang jauh-jauh boleh? Maksudku, yang sekitaran sini aja gitu. Biar kalau pun telat, aku bisa langsung masuk kerja tanpa harus pulang dulu.”
Di samping Briyan, Chika menarik kedua sudut bibirnya lebar. Ia menyeringai penuh bujuk, tetapi juga merasa malu. Karena kebanyakan pasangan kekasih, malam minggu adalah waktu yang tepat untuk bekerja. Sementara Chika justru tak punya waktu untuk hal seperti itu, setelah menjadi karyawan paruh waktu di salah satu minimarket di ibu kota.
“Um ... kita makan siang dulu aja nggak apa-apa lah, ya? Aku yakin, kamu juga belum makan.”
Tak ingin membuat kekacauan dalam hidup Chika, Briyan pun paham tentang tanggung jawab yang sekarang tengah dipikul kekasihnya itu. Terlebih, Briyan ingin menarik perasaan Chika sampai lebih jauh lagi untuk mencapai kepuasan tersendiri bagi dirinya.
Di sampingnya, Chika pun mengangguk tanda setuju dengan ajakan Briyan. Ia memang merasa lapar betul, setelah hanya sarapan lontong sayur pagi tadi. Karena tak ingin membuang-buang waktu, Briyan pun langsung menggandeng tangan kekasihnya itu. Kemudian mereka masuk ke dalam mobil yang sama.
“Biar aku pakaikan,” kata. Riyan saat Chika hendak memakai sabuk pengaman. Lantas, oa pun mencondongkan tubuhnya ke arah Chika, sehingga tampak sedang berciuman jika dilihat dari arah depan.
Untuk pertama kali diperlakukan seperti itu membuat Chika merasa gugup dan salah tingkah. Terlebih saat tatapan Briyan berhenti tepat di hadapan Chika, sembari memasang senyum menawan di bibirnya yang seksi, sementara tangannya sibuk memasang sabuk pengaman. Jantung Chika seketika berdegup kencang. Bahkan, ia merasa susah untuk sekadar bernapas lega.
Ditelannya ludah dengan susah payah. Berharap, perasaan gugupnya akan berkurang. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Chika merasa semakin kikuk. Lantas, Chika pun mengalihkan pandangan. Ia menghindar dari tatapan maut seorang Briyan, daripada terlihat aneh.
“Gugup gitu, kenapa?” goda Briyan, yang tak juga beralih dari menatap wajah Chika yang seperti kebakaran. Wajah kekasihnya itu memang benar-benar merona karena tersipu. Padahal, Briyan sudah selesai memasangkan sabuk pengaman Chika.
“Gugup? Ng-nggak, kok!” timpal Chika yang seketika kembali menarik wajah. Ia menghadap Briyan yang sekarang justru sudah berada begitu dekat dengannya. Chika tersentak. Bahkan sampai menekankan kepalanya ke sandaran kursi untuk mencipta jarak di antara mereka.
“Masa?” goda Briyan. Seringai di wajahnya kian mengembang, saking merasa lucu dengan ekspresi wajah Chika yang kian menegang. Dia adalah seorang pria berpengalaman. Jadi, ia tahu betul dengan rupa-rupa ekspresi gadis yang didekatinya.
“I-iyalah. Mana ada gugup?” Demi menyembunyikan rasa gugupnya, Chika pun cengengesan saat menimpali kekasihnya itu dengan tergagap-gagap. Tapi tawanya jelas ia paksakan. “A-aku cuman sedikit merasa kurang bebas bernapas aja, Yang.”
“Oh ... gitu.” Senyum Briyan mengembang lagi. “Mau aku kasih napas buatan?” tanyanya kemudian, yang sukses membuat kedua bola mata Chika membulat.
Chika memang sempat menjalin kisah asmara sewaktu masih duduk di bangku SMA. Tapi, karena nasihat dari ibunya mengental dalam kepala, tak sekali pun ia berani menerima kecupan atau ciuman dari pacarnya.
Lantas, sekarang? Jantungnya begitu berdegup kencang saat Briyan mengatakan napas buatan, yang ia tahu kalau itu adalah ciuman antar bibir ke bibir. Seketika Chika menarik napas, lalu mengembuskannya sembari menelan ludah.
“N-napas buatan? Ng-nggak usah!” jawabnya, kikuk. Kemudian Chika berusaha berpaling dengan menyelipkan anak rambut yang berantakan, ke balik telinga menggunakan jemarinya. Karena tangannya itu bergetar, buru-buru ia pun menurunkan tangannya lagi.
Namun, bukan Briyan namanya kalau ia akan menyerah dengan mudah. Ia juga tak biasa menerima penolakan dari siapa pun, termasuk dari para wanita. Itu kenapa, Briyan begitu benci Adinda. Karena cuman Adinda yang berani menolak perasaannya, bulan lalu.
Tak peduli dengan jawaban Chika, Briyan yang merasa tak perlu bersalah karena status mereka pun mendekatkan wajahnya lagi dan lagi. Sehingga menghapus jarak di antara mereka saking dekatnya. Lantas, setelah meraih dagu gadis di hadapannya itu, Briyan pun mengecupnya perlahan-lahan. Satu kali, dua kali, sampai akhirnya ia mencium lekat bibir mungil nan seksi milik kekasihnya itu.
“Ya, Tuhan. Apa ini?” batin Chika. Namun, karena terbawa suasana, gadis bermata sipit itu tak dapat menolak apa yang dilakukan Briyan. Ia justru menikmatinya, hanya dengan diam dan menerima setiap lumatan.
Sementara itu, Briyan pun tak kalah menikmati sensasi yang diciptakannya sendiri. Ciuman yang ia lakukan dengan Chika, entah kenapa merasa lain dari biasa. Chika begitu tenang dan lembut. Membuat Briyan benar-benar merasakan kenikmatannya.
Akan tetapi, di sisi lain, seseorang justru merasa jantungnya menggebu-gebu karena cemburu. Azka, lelaki yang dengan bodohnya mengantarkan Chika ke dalam kandang singa, sekarang tengah merasakan sesal tiada tara. Ia tak bisa melakukan apa pun. Padahal, hatinya begitu terluka saat melihat gadis yang ia suka justru tengah berciuman dengan lelaki, yang tak lain adalah bosnya sendiri.
“Bodoh!” umpatnya, seraya berpaling dan segera meninggalkan tempat parkir. “Kenapa bisa, gue pikir kalau Chika akan jatuh cinta sama gue setelah dicampakkan si bos?”
Setelah lebih dari lima menit menikmati lengkung merah jambu milik kekasihnya itu, Briyan belum juga berniat untuk menarik diri. Terlebih, Chika sama sekali tak melakukan penolakan apa pun selain hanya diam dan seolah pasrah. Perlahan, Briyan pun membuka mata yang sedari tadi terpejam. Ia melihat ketenangan, setelah tadi hanya ada gurat gugup di wajah Chika. Semakin yakinlah dia, kalau Chika sudah benar-benar menjatuhkan hati terhadapnya.Perlahan pula, Briyan pun menyusupkan kedua tangannya itu ke balik punggung Chika. Niat hati, ia pun ingin menyusupkan tangannya itu ke balik baju yang Chika pakai. Namun, baru saja telapak tangannya itu menyentuh punggung, Chika langsung terenyak.
“Galak bener temen gue yang satu ini. Mentang-mentang gue nggak datang sama Chika, terus lu sombong gitu sama gue? Ish! Biasa aja kali. Santui. Lagian, salah lu juga. Ngapain ngenalin Chika sama bos lu itu? Padahal, gue tahu kalau lu juga suka, kan, sama dia?”Padahal, Maya yang baru saja datang itu masih di depan pintu. Ia belum masuk sama sekali. Tapi, mulutnya susah nyerocos setengah ngebut kalau disamakan dengan kendaraan beroda empat. Ia juga tertawa-tawa tak jelas sampai membuat Azka keheranan.“Nggak jelas lu! Dahlah, kalau mau ngajak ribut mending lu balik, deh. Gue lagi nggak mood terima tamu. Nggak mood ngobrol. Nggak mood ngapa-ngapain, apalagi sama lu!” ujar Azka seraya hendak menutup pintu.Namun, karena lengah, Azka justru kecolongan saat Maya memilih menerobos masuk daripada pergi dari rumah kontrakan temannya itu. Bahkan, ia yang lelah setelah sedikit berjalan-jalan sepulang kuliah, langsung melempar tubuh tinggi sedangnya itu
“Suka?”Setelah semua hidangan makan sore mereka terhidang di meja, Bryan pun menanyakan perihal menu makanan di restoran milik bibinya itu. Ayam bakar utuh bumbu barbeque, ikan bakar saus rujak nanas, dan sambal goreng lengkap dengan lalapan-nya tampak masih mengepul juga segar. Belum lagiChika menggeleng. Namun, itu bukan karena dirinya tak suka dengan hidangan tersebut. Melainkan karena tergiur dan tak sabar ingin segera menyantap juga menikmatinya sampai kenyang.“Suka,” katanya sambil menyengir lebar. “Tapi, apa nggak kebanyakan ini, Yang? Kita cuman makan berdua loh?” sambung Chika yang seketika mengingat Maya. Ia dan temannya itu bahkan, harus menunggu satu bulan untuk bisa menikmati makanan seenak dan semahal itu.“Nggaklah. Makannya nggak usah pakai nasi aja, gimana?” usul Bryan.Dia yang menjaga kekekaran tubuhnya itu memang jarang sekali menyantap nasi. Paling-palin
Azka tahu kalau yang dilakukannya pada Maya adalah sesuatu yang salah. Namun, ia tetap melakukannya tanpa merasa takit atau berdosa. Ia pikir, yang dilakukannya adalah apa yang diinginkan Mayan. Ia sama sekali tak meminta atau memaksa.Bahkan, jika diulang, Maya lah yang memulainya. Maya lah yang memancingnya. Ia hanya terbawa arus, sampai akhirnya terseret jauh sampai berani melakukannya sesuatu yang tak pernah dilakukannya pada gadis mana pun.Azka yang baru saja menyelesaikan hasrat dalam dirinya itu menarik diri dari tubuh wanita di hadapannya. Tanpa kata atau pun apa, ia langsung melengos pergi ke kamar mandi untuk segera membersihkan dirinya dari keringat. Barangkali, guyuran air dapat menyapu amarahnya yang masih saja berputar dalam kepala. Dan, itu masih saja tentang Chika.Sementara itu, Maya yang juga tak merasa takit sama sekali dengan tindakannya, kemudian duduk seraya beringsut turun. Satu persatu ia ambil pakaian yang berceceran di lantai untuk seg
“Aih, ngos-ngosan gitu. Kenapa?”Di ruang belakang, tempat di mana para karyawan beristirahat, Chika yang baru saja menyimpan tasnya itu dalam loker mengernyit heran saat melihat Maya. Temannya itu menundukkan tubuhnya, dengan kedua tangan bertumpu pada lutut. Sementara deru napasnya terdengar cukup keras, sehingga dapat dipastikan, kalau Maya sedang dalam keadaan capek.Gadis di hadapan Chika itu pun mengangkat wajahnya cepat. Ia masih mengos-ngosan sampai mulutnya maju mundur dengan membentuk sebuah huruf O. Susah paya ia menelan ludah juga sebelum akhirnya berdiri tegak sambil menghela dan membuang napas panjang.“Gue takut telat. Makanya, barusan gue lari dari depan. Mana nggak sempat mandi gue. Kan, asem!” jawabnya sembari mengangkat kedua tangan. Kemudian, ia mencium keteknya sendiri, bergantian. “Tuh, kan ... bau asem!” Ia ngomel sendiri.“Dih! Jorok banget, sih, lu? Lagian, bukannya tadi lu pulang lebih du
“Nanti gue kasih tau!” bisik Maya pada temannya itu. Sengaja agar Chika merasa penasaran. Sementara ia sendiri, kemudian sibuk mekayani pembeli. Tak peduli saat Chika menyikut dan membujuknya untuk bercerita sekarang. Maya tetap tak mau.“Astaga! Lu udah bikin gue penasaran, abis itu ditinggal! Ya, kali!” umpatnya seiring bibir cemberut. Karena pemberi masih saja berdatangan, Chika pun terpaksa abai meski rasa penasarannya berputar-putar dalam bayangan. Sampai-sampai Chika tak merasa konsen.“Yang semangat dong! Sekarang, mending lu cerita tentang makan sore lu sama si Bryan. Seru nggak?” Maya pun kembali memancing Chika untuk bicara, setelah sebelumnya merajuk.“Nanti aja gue ceritain. Sibuk gini!” timpalnya, balas mengatakan apa Yang dikatakan Maya. Chika yang masih cemberut itu seketika menarik kedua sudut bibir, berusaha tersenyum ranah pada pembeli saat kembali mulai melayani.
“Jadi, Maya nelepon gue karena ingin memberitahu keadaan Chika? Astaga! Gue emang bodoh! Tolol!”Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Azka yang sedang menyetir mobil bosnya itu merutuki dirinya sendiri dalam hati. Bahkan, ia sampai tak dapat menahan amarah yang membuatnya berulang kali mengepalkan telapak tangan. Sesekali ia pukulkan telapak tangan itu ke setir. Sesekali ia pukulkan pula kepalan tangannya itu ke paha tanpa Bryan sadari.Bosnya yang duduk di belakang itu Azka lihat tengah fokus pada layar ponsel. Bahkan, Azka yakin kalau Maya sedang memberitahu Bryan tentang kejadian yang membuat Chika masuk ke rumah sakit. Azka ingin tahu. Tapi, kali ini ia tak berani bersua.Bryan tahu kalau Azka menyukai kekasihnya. Tapi, Bryan tak kan memberinya kesempatan karena Chika susah menjadi miliknya sepenuhnya. Dengan memperingatkan Azka agar tak merusak hubungan mereka. Barulah setelah Bryan sendiri yang merusaknya, Azka boleh memungut Chika.Seke
Dilihatnya Maya tengah berjalan mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Azka dan Bryan pun langsung menghampiri mereka. Bahkan, Azka yang begitu cemas akan keadaan Chika pun langsung bertanya tanpa mengucapkan sapaan dan basa-basi. Beda dengan Bryan yang justru hanya berdiri saja, mendengarkan dua orang di hadapannya.Alih-alih menjawab, Maya justru memarahi Azka habis-habisan karena telepon yang dihubungkannya tadi, justru ditolak Azka. Maya bilang, saat itu ia sedang di perjalanan menuju rumah sakit yang tak begitu jauh dari minimarket. Dan dia ingin memberitahu Azka langsung. Tapi, yang didapatinya justru penolakan. Itu kenapa, Maya pun menghubungi Bryan dari ponsel Chika.Katanya, “Sekarang Chika lagi ditangani dokter. Soalnya tadi dia lemes banget sebelum akhirnya pingsan.”“Ya, Tuhan. Maafin gue, May. Gue pikir, bukan urusan penting. Tadi gue mo nge-gym sama si Bos soalnya.” Azka beralasan. “Tapi,