Perkataan Kimi jelas membuat Mina tak habis pikir, mungkinkah pikiran Kimi sedangkal itu? Bibirnya kelu, sedangkan saudara tirinya itu hanya menatapnya dengan pandangan mata sayu.
“Jangan berpikiran bodoh Kim! Ingat mami sama papi!”
Kimi membalas larangan Mina yang mengandung kecamasan dengan sebuah candaan lagi, “Kamu akan menjadi orang pertama yang akan aku hantui setiap malam kalau sampai aku mati bunuh diri.”
“Kimi!”
“Aku hanya bercanda!” Kimi melingkarkan tangannya ke lengen Mina. “Jangan menganggap serius, aku masih ingin pergi ke tempat-tempat yang ingin aku singgahi, aku juga ingin menemukan lelaki yang baik untuk bisa kujadikan suami.” Kimi memulas senyum. Namun, tak berselang lama senyumnya seketika hilang berganti dengan sebuah hembusan napas kasar.
“Kenapa?” Mina lagi-lagi cemas dengan perubahan mood saudaranya itu.
“Aku ingin berhenti bekerja di rumah sakit itu, aku tidak sanggup lagi. Terlalu banyak kenangan bersama Noah di sana.”
Kini Mina ikut mengembusakan napasnya kasar, tak bisa memberi nasihat ke Kimi, dia memilih menepuk-nepuk lengan saudaranya itu pelan. Mina mencoba menyemangati dengan berkata bahwa setiap ujian hidup pasti bisa dilalui setiap manusia asal tetap optimis dan mengingat Tuhannya.
-
-
-
“Biru kamu benar ga mau pulang sama Segara dan Mama?” tanya Mina yang mengajak anaknya pulang setelah semalam menginap di apartemen Kimi.
“Mau sama onikim.” Rengekan Biru membuat Mina geleng-geleng kepala, putranya itu bersembunyi dibalik badan Kimi agar tidak diajak pulang olehnya.
“Ya udah, Biru sama onikim hari ini, tapi janji harus nurut ya?”
Kimi menolehkan kepalanya setelah bertanya, anggukan polos dari sang keponakan membuatnya gemas sampai ingin sekali mencubit pipi bocah itu.
Akhirnya Mina dan Segara pun pulang terlebih dulu, sedangkan Biru masih terus mengekori Kimi kesana-kemari di dalam apartemen itu.
Biru memang begitu lengket ke Kimi, mungkin karena sejak bayi bocah itu lebih sering dijaga olehnya. Berbeda dengan Segara yang sehat dan jarang sakit saat masih bayi, Biru sering sakit-sakitan, untuk itu Mina meminta bantuan Kimi yang memang berprofesi sebagai dokter untuk terus memantau kesehatan sang putra.
_
_
_
Beberapa jam berada di apartemen, Biru nampaknya sudah bosan. Ia merengek meminta untuk diantar pulang saat Kimi berkutat dengan laptopnya untuk membuat surat pengunduran diri. Ya. dia sudah memantapkan hatinya untuk berhenti bekerja di rumah sakit tempatnya bernaung saat ini.
Rengekan Biru semakin membuat Kimi resah, ia pun memercepat tulisannya. Dan setelah dirasa surat yang dia susun sudah sempurna dari segi tata bahasa dan penyampaian isinya. Ia segera mengirimkan surat itu ke E-mail HRD rumah sakit,
“Biru sabar ya, onikim mandi bentar terus onikim antar biru pulang.”
Mendengar ucapan tantenya Biru pun mengangguk paham, bocah itu memilih duduk sambil menggulirkan bola ke lantai karena Kimi melarangnya bermain bola di dalam rumah.
Sementara itu, di sebelah Richie juga tengah bersiap-siap untuk meninggalkan apartemennya. Mamanya lagi-lagi merengek sejak subuh tadi, membuatnya tak tega untuk terlalu lama pergi dari rumah. Richie juga sadar bahwa tindakannya cukup kekanak-kanakan, apa pun masalah yang terjadi tak seharusnya ia menghindar seperti sekarang.
Berjalan ke arah lift setelah keluar dari apartemennya, Richie terdiam sesaat di depan pintu tanpa memencet tombol. Sejujurnya, sampai detik ini Ia masih saja memikirkan Abel. Richie mengembuskan napasnya kasar, ia sudah berniat menjauhi Abel dan mengabaikan gadis itu jika bertemu kembali.
_
_
_
Kimi menggandeng Biru untuk mengantar bocah itu pulang. Namun, setelah sampai di parkiran ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Sebuah nama yang muncul di layarnya membuat Kimi tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Memberi perintah ke sang keponakan untuk tetap berdiri di dekatnya, Kimi pun menerima panggilan dari manager HRD rumah sakit tempatnya bekerja.
“Dokter Kim apa ada masalah lain?”
Suaara di seberang sana membuat Kimi merasa sedikit tak enak hati, gadis itu pun menjelaskan alasannya kembali, meskipun di surat yang sudah dia kirimkan tertulis jelas alasannya memilih keluar.
Saat Kimi masih sibuk dengan panggilan itu, Richie yang sudah sampai di parkiran menekan kunci sambil berjalan menuju mobilnya. Wajah pria itu tiba-tiba saja berubah, Ia berlari karena seorang anak kecil berumur sekitar empat tahun baru saja menendang bola dan mengenai kaca mobilnya. Untuk anak sekecil itu, tendangannya begitu keras hingga membuatnya lari untuk mengecek kondisi kendaraannya.
“Kamu tahu kan ini parkiran bukan lapangan kenapa kamu bermain bola di sini?”
Richie bertanya dengan sedikit emosi.
Bocah laki-laki itu hanya menatap Richie dengan tatapan polos, sampai Kimi mendekat dan langsung menangkup pipi bocah yang merupakan keponakannya-Biru.
“Onikim udah bilang kan tadi, kalau Biru ga mau pulang sama mama harus nurut sama onikim, tadi onikim minta Biru nunggu kenapa malah pergi? Kalau ada mobil yang ga lihat biru gimana? Biru kan masih kecil.”
Kimi menoleh ke arah Richie dan menundukkan kepalanya-menyapa. Namun, tak disangka. Biru malah menangis sambil menunjuk-nunjuk ke arah Richie. Kimi pun merasa bahwa putra Nova itu baru saja memarahi atau melakukan sesuatu yang tidak baik ke sang keponakan.
“Kenapa? ada apa?” tanya Kimi cemas, sementara Richie hanya melongo mendapati bocah itu menunjuk ke arahnya.
“Kamu dipukul sama orang ini?”
Biru malah menganggukkan kepala, membuat Kimi tiba-tiba saja murka dan memaki Richie.
“Eh … loe apain anak sekecil ini?”
Richie masih saja melongo, untuk membentengi diri dia pun berkata tidak melakukan apa-apa dan malah menyalahkan Biru karena menendang bola sampai mengenai kaca mobilnya.
“Mobil rusak bisa diperbaiki, tapi mental anak kalau udah jatuh sampai kapanpun bikin trauma tau! pernah belajar psikologi ga sih?” Kimi merogoh sesuatu di dalam tasnya, untuk beberapa saat ia terlihat bingung sendiri.
“Nih … hubungin ke sini buat ganti rugi perbaikan mobil kamu!” ketusnya lalu mengambil bola dan menggandeng Biru pergi dari sana.
Richie masih terdiam diposisinya, wanita itu ternyata memberinya sebuah kartu nama.
“Nicholas Sebastian Adam-CEO ABI TV, apa wanita galak itu istrinya?” gerutu Richie yang lebih memilih membuang kartu nama itu dan bergegas masuk ke mobilnya.
"Wah ... kenapa wanita yang membuat aku terpesona selalu sudah dimiliki pria lain?" gerutu Richie.
Sebelum pulang ke rumah, Richie sengaja pergi ke rumah temannya yang seorang produser musik. Richie memang bekerja menjadi seorang penulis lagu karena begitu menggilai dunia seni dan musik sejak kecil, bahkan beberapa lagu ciptaannya dinyanyikan oleh penyanyi terkenal dan sangat sukses di pasaran. Namun, Richie memakai nama lain sebagai pencipta lagu, agar tidak ada yang tahu identitas aslinya-'Riga' singkatan dari namanya sendiri Richard Tyaga. Keluarganya pun sudah mengetahui pekerjaanya ini tapi tidak pernah berkoar-koar karena Richie meminta mereka merahasiakannya. Karena hal ini juga lah kakak kandungnya-Daniel tak pernah menuntutnya bekerja di perusahaan mendiang sang papa. Kebahagiaan Richie adalah kebahagiaan Daniel, hingga kejadian yang membuat Daniel murka beberapa hari yang lalu menjadi awal keputusan pria itu. Meskipun Daniel sudah menikah, Richie masih saja berusaha menyatukannya dengan mantan kekasihnya. Rasa bersalah Richie yang setahun lalu membuat Daniel dan Abel be
“Uhuk.” Richie berpura-pura batuk. Setelah mengambil minuman di dalam lemari pendingin, pria itu mendekati Ghea-kakak iparnya yang sedang sibuk membuat teh di pantry.“Kenapa? ada apa? sudah ngambeknya.”Sindiran Ghea membuat Richie salah tingkah, cukup sudah. Ia berjanji, ini kali terakhir dia minggat karena kesal. Menggaruk rambut kepalanya yang gatal karena belum keramas, Richie memberanikan diri menanyakan sesuatu ke sang kakak ipar.“Apa kamu mungkin mengenal CEO ABI TV?”“Kenapa?”“Apa istrinya galak?”Ghea melipat kening mendapati pertanyaan sang adik ipar yang dirasanya sangat aneh. Namun, belum juga mendapatkan jawaban dari kakak iparnya itu, kini pikiran Richie sudah berubah. “Sudahlah, tidak usah dijawab! aku hanya iseng bertanya,” ucapnya sambil berlalu.“Kenapa aku merasa wajah gadis itu tidak asing,” gumam Richie sepanjang perjalanannya menuju ruang keluarga untuk menemani sang mama.---Menyandarkan punggung di sofa dan memeluk bantal dengan nyaman, Kimi menatap lay
Lama Kimi terdiam di parkiran rumah sakit tempatnya bekerja. Ia masih ragu untuk turun dan menginjakkan kaki keluar, apa lagi masuk ke dalam sana. Meskipun setuju untuk bertahan satu bulan lagi, setelah diberikan libur selama satu minggu, tapi Kimi takut akan goyah dan memilih terus bertahan bekerja, jika banyak rekan atau seniornya yang mempengaruhi keputusannya nanti.“Ayo Kim semangat! bulatkan tekatmu, jangan goyah!” gumamnya sambil menyambar tas lalu mematikan mesin mobil. Gadis itu turun dan meraih jas snellinya di kursi penumpang sebelum benar-benar mengunci mobilnya.Kimi berjalan masuk dengan langkah tak bersemangat, gadis itu tak sadar gerak-geriknya sedari tadi diamati oleh seseorang dari dalam mobil. Ya, siapa lagi kalau bukan putra kesayangan Nova dedengkot perkumpulan MAPAN.Seminggu yang lalu Daniel mengalami sebuah insiden kecelakaan, untuk itu Richie berada di rumah sakit dan mengurus kakaknya itu.“Jika dia dokter dan bekerja di rumah sakit ini, kenapa aku tidak meli
Sara syok, ia benar-benar terkejut saat putri kesayangannya bercerita bahwa sudah mengundurkan diri dari rumah sakit tempatnya bekerja. "Kim, kenapa? Lalu kamu mau ngapain? nganggur?" Sara begitu kecewa. Kimi memilih diam dan tidak memberitahu alasan sebenarnya ke sang mami. Sejujurnya Kimi bingung dan juga merasa bersalah. Pertama, gadis itu bingung karena harus merogoh tabungannya beberapa bulan ke depan untuk membayar cicilan apartemen. Kimi sadar ini tidak mungkin dilakukannya setiap bulan, jadi dia harus segera mencari pekerjaan demi cicilan. Kedua, Kimi merasa bersalah ke orangtuanya, terutama ke sang mami-Sara, tapi sebagai orang yang berkecimpung di dunia medis, Ia sadar harus menjaga kewarasannya. Menurut Kimi, dirinya sudah berada diambang batas kemampuannya untuk menjaga kesehatan mentalnya jika terus bertahan di sana. "Nanti Kimi cari kerjaan deh Mi, untuk sementara aku mau nganggur dulu," Jawab Kimi, ia menggigit bibir bawahnya takut jika kena sembur Sara. Faraj ya
Richie masih menatap Kimi dengan seringai nakalnya, Ia masih tak menyangka gadis seimut Kimi sudah memiliki anak. Cincin yang melingkar di jari manis gadis itu, Richie yakini sebagai cincin pernikahan. Ia sengaja mencuri kesempatan, membiarkan Kimi masih memegang erat kedua lengannya di balik kemeja biru yang dia kenakan.Masa bodoh kali ini, jika harus menjadi pebinor pun aku rela. Richie masih menatap wajah Kimi, hingga dia tersadar dan bertanya, “apa kamu mengingatku?”Kimi menggelengkan kepalanya berpura-pura. Sejujurnya dia takut karena pernah memarahi Richie secara membabi buta saat Biru menendangkan bola dan mengenai kaca jendela mobil pria itu. “Apa kamu sudah meminta ganti rugi ke orang yang kartu namanya aku berikan kepadamu?”Richie menggeleng.“Kenapa?” tanya Kimi lagi.“Bisakah kamu melepaskan cengkeramanmu dari lenganku?”Kimi seketika melepaskan pegangannya ke Richie, ia sempat oleng lagi karena ternyata heel sebelah sepatunya patah. Beruntung dia tidak terjerembab kem
Kimi berusaha menutupi rasa groginya. Ia merasa habis, berakhir, tak ada harapan. Gadis itu menangis di dalam hatinya. Mendapati pria yang dia maki, pria yang ia curhati asal-asalan di rooftop beberapa hari yang lalu ternyata pemilik perusahaan tempatnya melamar pekerjaan. Richie terlihat bersikap biasa di depan para karyawan dan pelamarnya. Ia beberapa kali melempar pertanyaan ke dua pelamar lain, dan saat giliran Kimi, Richie mengerutkan kening dan berhasil membuat gadis cantik itu menelan saliva. Kimi Zia Azzahra, Kimi-jadi namanya Kimi. Mata Richie fokus pada CV dan membaca catatan tim HRD yang mewawancarai Kimi kemarin, di sana tertulis 'tidak menjawab dengan baik alasan keluar dari rumah sakit tempatnya bekerja sebelumnya'. Namun, Richie memutuskan untuk tidak menanyakan hal itu kepada Kimi.“Jika kamu diterima bekerja di klinik rumah sakit ini, apa yang bisa kamu janjikan ke perusahaan kami?” tanya Richie sambil menekan pulpen miliknya lantas menyandarkan punggungnya ke kurs
“Ada apa?”"Pa-pak Ri-Ri-Richard."Jim tergagap-gagap melihat adik atasannya bersikap biasa saja saat Kimi sampai ke ruangannya. Gadis itu pun bingung, menatap secara bergantian Richie dan Jim yang terlihat megap-megap. “Bukankah anda tadi berkata akan berpura-pura sesak napas dan meminta saya memanggilkan dokter dari klinik?” Jim menyatukan giginya, alis matanya bergerak-gerak mencoba berkomunikasi dengan Richie yang benar-benar membuatnya malu.“Maaf jim, tapi aku merasa seperti orang bodoh saat memandangi wajahku sendiri yang berpura-pura sesak napas tadi, mukaku seperti ikan terkena kail. Tidak mungkin aku membiarkan dia melihat wajah jelekku.”“Jadi, apa anda sudah baik-baik saja?” tanya Kimi dengan wajah kebingungan.“Ya-ya aku baik-baik saja!” jawab Richie yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalahnya ke Jim.Kini tatapan Kimi beralih ke pria bernama lengkap Jimmy Lin itu. Sorot matanya jelas menuntut sebuah jawaban. Jim benar-benar tak berkutik, hingga Richie mengalihka
“Mi!”“Apa? udah nggak usah!”Kimi yang malam itu kembali menginap di rumah maminya terheran dengan ke-gede rasaan Sara kepadanya. “Mami tahu kamu mau kasih gaji pertama kamu di T Factory buat Mami kan? udah ga usah,” ucap Sara dengan santainya. Wanita itu memeluk bantal sofa dan asyik menonton acara gosip sore di televisi. Bukan tanpa alasan Sara mengatakan hal itu, Kimi terkadang memang suka berjanji akan melaksanakan sesuatu jika tujuan yang diinginkannya tercapai, semacam nazar. “Mami GR, bukan itu!” Kimi mencebik, ia lantas bangkit dan pergi meninggalkan Sara sebentar menuju dapur.“Apa? kamu mau martabak manis?” teriak Sara setengah peduli ke putrinya itu. "Pesen aja via go back."Sara masih menatap layar televisi saat Kimi kembali dengan membawa dua cangkir teh di tangannya. Menyuguhkan teh itu ke maminya, Kimi pun bertanya,” Mi, kalau ada pria yang tanya apa kamu sudah punya pacar, Mami tahu nggak itu artinya apa?”“Suka sama kamu lah apa lagi? jangan sok polos deh Kimoci,”