“Tante, em… maksud aku Mommy, ayo kita pulang ke rumah!”
“Hah?!”
Lavina ternganga. Mulutnya terbuka untuk bicara, tapi melihat tatapan Aurora yang mengiba, lidah Lavina mendadak terasa kelu. Bibirnya mengatup lagi, lalu menatap Auriga, seolah-olah lewat tatapan itu ia ingin bilang apa yang harus saya katakan?
Sejak awal melihat Aurora, Lavina merasa kasihan karena anak ini tampak ketakutan saat melihat orang lain.
Lavina melihat Auriga mengembuskan napas kasar. Sekali lagi, Auriga berkata kepada putrinya bahwa Lavina bukanlah ibunya. Auriga meminta Aurora untuk melepaskan pelukannya.
Namun, tanpa diduga-duga, tangisan Aurora malah semakin kencang. Aurora menolak dipeluk ayahnya dan memilih untuk menangis berguling-guling di lantai seperti anak sedang tantrum.
Melihat pemandangan itu, hati Lavina yang sehalus kapas ikut merasakan sakit. Ia pernah berada di posisi Aurora, yang ingin sekali bertemu dengan ibu kandung yang tak pernah Lavina lihat seumur hidup.
Sementara itu Aurora masih mengamuk kendati Auriga sudah berhasil menggendongnya. Aurora terus meronta, meminta turun. Auriga kewalahan hingga ia menyerah dan menurunkan Aurora kembali.
Tanpa berpikir dua kali, Lavina segera menghampiri Aurora, memeluknya sambil berbisik, “Iya, ayo kita pulang. Maafin Mommy ya baru datang sekarang.”
Itu kata-kata yang ingin Lavina dengar dari ibu kandungnya meski hanya satu kali. Sayang, Lavina tak pernah mendengarnya.
Tangisan Aurora seketika terhenti. Napasnya tersengal-sengal, mata coklat terangnya menatap Lavina dengan sendu.
“Mommy,” lirih Aurora.
Lavina tersenyum lembut, tangannya mengusap pipi Aurora yang bersimbah air mata. “Nggak capek emangnya nangis terus?”
Bibir Aurora cemberut. Dia tidak berbicara lagi, hanya memeluk Lavina dengan erat.
Kemudian Lavina membawa Aurora duduk di kursi, di samping Auriga yang sedang memijat pelipis. Lavina melihat pria itu tampak frustrasi menghadapi anak ini.
“Aurora,” panggil Auriga setelah beberapa saat ia terdiam.
“Iya, Dad?”
“Sekali lagi Daddy tegaskan, perempuan ini bukan—” Auriga mengembuskan napas kasar dan berhenti bicara saat wajah Aurora kembali murung dan terlihat siap menangis. Auriga mengusap wajahnya dengan kasar.
“Dia bener-bener mommy aku, Dad, dan mommy mau kok pulang ke rumah."
“Apa?” Auriga menatap Lavina dengan mata dipicingkan, seolah sedang protes melalui tatapan tajamnya itu.
“Cuma itu satu-satunya cara, ‘kan?” gumam Lavina.
“Kamu sengaja meracuni pikiran anak saya?” Auriga balas berbisik.
Lavina mendelik. “Udah dibantuin bukannya berterima kasih malah nuduh yang nggak-nggak.” Seketika Lavina menyesal sudah membantu menenangkan putri laki-laki tua di sampingnya ini.
Auriga mendengus. Laki-laki itu seperti ingin mengatakan sesuatu dengan ekspresi jengkelnya pada Lavina, tapi Auriga hanya membuang muka setelah menatap Aurora sebentar.
“Dad, ayo kita pulang. Aku nggak marah liburannya batal, asal Mommy ikut bareng kita pulang ke rumah,” celetuk Aurora dengan polos, yang membuat Auriga memejamkan matanya dengan geram.
***
Mobil baru saja berhenti melaju. Lavina terperangah melihat rumah mewah tiga lantai di hadapannya. Sudah ia duga, laki-laki bernama Auriga itu bukan orang sembarangan, dia kaya raya.
Namun Lavina heran, kenapa orang seperti Auriga harus kehilangan ibu dari putrinya?
Lavina memang belum mendengar cerita yang sebenarnya mengenai ibu kandung Aurora, tapi dari apa yang ia alami di bandara tadi, cukup membuat Lavina paham jika Aurora tidak pernah melihat wajah ibu kandungnya, sehingga anak itu menganggap Lavina sebagai ibu yang ia lihat dalam mimpi.
Apa wajahku mirip sama wajah ibunya? batin Lavina.
“Mommy, ayo turun.”
“Eh?! Aku?”
Suara Aurora membuyarkan lamunan Lavina.
“Iya, siapa lagi? Masa aku manggil ‘mommy’ ke Pak Amir, sih?”
Lavina menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali, lalu tersenyum canggung pada sopir bernama Pak Amir yang baru saja membuka pintu.
Lavina lantas keluar, menyusul Auriga yang sudah turun lebih dulu.
Ya, setelah perdebatan panjang yang terjadi di bandara, akhirnya Lavina tak punya pilihan lain selain ikut kemari, karena jika tidak, Lavina akan berakhir di kantor polisi atas tuduhan pencurian tas Auriga.
Auriga sendiri yang bilang begitu kepada Lavina.
“Urusan tas saya yang kamu curi belum selesai,” ucap Auriga dengan dingin setelah memasuki rumah. “Lakukan apa yang Aurora mau lakukan bersama kamu. Tapi ingat, jangan sekali-kali berani mencuri satu barang pun dari rumah saya, kamera CCTV terpasang di mana-mana.”
Tangan Lavina terkepal. Wajahnya merah padam karena marah, tatapannya tajam menatap punggung Auriga yang berlalu pergi dari hadapannya.
Lavina hendak protes kalau ia bukan pencuri, tapi terhalang Aurora yang tiba-tiba mendekat sambil menggenggam tangannya.
“Mommy, ayo ikut ke kamar aku!” pinta Aurora dengan mata berbinar-binar.
Terpaksa Lavina menyembunyikan kekesalannya pada ayah anak ini, lalu tersenyum lebar dan mengangguk cepat. “Ayo!”
Aurora membawa Lavina ke kamarnya. Cat dinding, furniture, kasur dan boneka di kamar itu nyaris berwarna pink semua. Anak itu dengan semangat menunjukkan mainan yang ia miliki. Sampai-sampai Lavina tidak percaya kalau Aurora yang pertama kali ia lihat—yang penakut dan parno ketemu orang, adalah orang yang sama dengan Aurora yang sekarang ia lihat.
Sejujurnya Lavina tidak ingin terlibat terlalu jauh. Ia bukan ibu anak ini, dan Lavina tidak mau membuat Aurora berharap lebih kepadanya.
Baiklah.
Lavina mengembuskan napas panjang.
Aku cuma harus berpura-pura jadi ibu buat hari ini aja!
***
“Kamu masih libur sampai lusa, ‘kan?”
“Iya, Dad.” Auriga membuka pintu balkon dan berjalan menghampiri satu-satunya sofa yang ada di sana sambil menempelkan ponsel di telinga kiri. Matahari mulai turun ke peraduannya. “Kenapa memangnya?”
“Besok malam temani Daddy makan malam sama klien Daddy.”
Auriga mengembuskan napas berat. “Daddy mau ngejodohin aku lagi?”
“Ya, begitulah.”
“Sama siapa lagi sekarang?” erang Auriga sambil menahan kesal. “Daddy nggak kapok setelah selama ini aku tolak terus-terusan itu para perempuan yang Daddy kenalin ke aku?”
“Kali ini Daddy yakin kamu pasti suka. Ngomong-ngomong, Daddy nggak akan kapok sebelum kamu menerima salah satu perempuan pilihan Daddy.”
“Astaga,” gumam Auriga sembari mengusap wajahnya dengan kasar. “Dad, lebih baik Daddy berhenti ngejodohin aku, karena sampai kapanpun aku—”
“Jangan cuma mikirin diri kamu sendiri, Bang,” sela Axl di seberang sana. “Pikirkan juga Aurora. Dia butuh ibu. Kamu mau ngebiarin dia terus menerus seperti itu sampai dia dewasa?”
Auriga bergeming.
“Bukannya kamu sendiri tahu? Sekarang kondisi Aurora makin sulit terkendali. Kamu nggak kasihan sama anak kamu?”
Auriga memijat ruang di antara kedua alis. Ia menunduk sejenak, menghela napas, lalu menatap langit jingga dengan gamang.
“Aku akan cari wanita pilihanku sendiri, Dad,” gumam Auriga. “Jangan khawatir.”
“Kamu selalu bilang begitu, tapi buktinya nihil.” Axl berdecak lidah. “Pokoknya Daddy tunggu satu minggu. Lebih dari itu, kamu harus terima siapapun wanita yang Daddy pilih!"
“Dad!” protes Auriga. “Nggak bisa begitu! Satu minggu terlalu cepat, gimana bisa aku nemu wanita yang cocok denganku?”
“Itu urusan kamu, bukan urusan Daddy. Dan Daddy berharap, kamu juga bisa berhenti dari kehidupan bebasmu.”
***
Lavina cukup kesulitan keluar dari rumah tersebut. Setiap kali ia akan pamit pulang, Aurora menahannya dengan alasan ingin makan malam bersama. Namun, tak cukup sampai di situ, setelah selesai makan malam, Lavina mengira Aurora akan melepaskannya, tetapi lagi-lagi anak itu menahannya karena ingin dibacakan buku cerita sebelum tidur oleh Lavina. Lavina pasrah. Pertama, ia tidak mau berakhir di kantor polisi karena tuduhan pencurian tas Auriga. Sebab meski Lavina sudah menjelaskan kepada Auriga saat makan malam, mengenai apa yang terjadi tadi siang, tentang Yasa yang merupakan kakak tirinya yang kabur membawa kalung milik Mawar, sampai kemudian Yasa membawa kabur tas Auriga. Namun sepertinya Auriga belum percaya sepenuhnya pada penjelasan Lavina. Kedua, setiap kali menatap mata polos Aurora, Lavina merasa tersentuh dan tak sampai hati untuk menolak keinginannya. Begitu pula dengan Auriga. Lavina melihat pria matang itu kesal dengan keinginan Aurora, tapi Auriga seperti tak berdaya
Plak!Wajah Lavina terlempar ke samping. Pipinya terasa kebas dan pandangannya sempat mengabur. Bekas tamparan Mawar tak hanya membekas di pipi saja, tetapi juga di hati.“Kamu sadar selama ini kamu hidup dengan siapa, hah?! Berani-beraninya kamu nyuri kalung punya orang yang sudah ngerawat kamu!" teriak Mawar dengan wajah merah padam.Tangan Lavina terkepal. “Udah aku bilang, Ma. Yang nyuri kalung Mama itu Kak Yasa, bukan aku!”"Halah! Kebiasaan kamu dari dulu selalu nyalahin anak Mama! Yasa nggak mungkin mencuri apalagi sampai mencuri kalung Mama!” seru Mawar lagi, urat-urat di dahinya menonjol, napasnya memburu penuh emosi.Lavina terdiam. Matanya menatap lantai keramik putih dengan tatapan datar. Bibirnya tersenyum miris.‘Selalu nyalahin anak Mama.’Ya, aku emang bukan anak Mama. Aku cuma beban di rumah ini. Mama nggak pernah anggap aku anak. Anak Mama cuma Kak Yasa dan Kak Resa.“Pokoknya Mama nggak mau tahu. Kembaliin kalung itu, Lavina!”“Akh!” pekik Lavina saat tubuhnya tiba-
“Menikah?” Seketika, Resa tertawa terpingkal-pingkal sembari memegangi perut. “Hey! Emangnya ada cowok yang mau nikah sama lo? Ya… kalaupun ada, gue yakin dia cuma bocah kemaren yang masih minta duit sama orang tua.”Itulah respons pertama Resa setelah Lavina menyampaikan rencananya untuk menikah. Resa seolah tidak percaya Lavina akan mendapat lelaki yang sempurna, karena penampilan Lavina yang jauh dari kata anggun dan berkelas.Lavina hanya remaja yang berpenampilan sederhana, wajahnya nyaris tidak pernah dipoles make up. Sehari-harinya hanya memakai sunscreen dan bedak tipis. Tidak ada lipstik yang menempel di bibirnya selain lip gloss untuk melembabkan bibir. Tubuhnya pun kecil dan tidak begitu tinggi.Berbeda sekali dengan Resa yang tinggi semampai dan fasionista.Jadi, ketika Auriga datang ke rumah Mawar bersama orang tuanya untuk melamar Lavina, Resa nyaris pingsan karena dugaannya salah besar.Calon suami Lavina bukan bocah kemarin yang biaya hidupnya masih ditanggung orang tu
Siapa dia? Kenapa keluar dari kamar Om Auriga?Lavina mengamati wanita itu yang berjalan semakin mendekat. Saat berpapasan, wanita berambut pirang itu memandangi Lavina sembari tersenyum. Lavina balas tersenyum dan mengangguk.Harum banget, parfumnya pasti mahal. Dalam hati Lavina mengomentari parfum wanita itu yang wangi semerbak dan masih tercium meski orangnya sudah pergi cukup jauh.Langkah kaki Lavina terhenti di depan pintu kamar Auriga, ia menoleh ke punggung wanita itu yang semakin menjauh. Tidak mungkin wanita itu salah satu petugas wedding organizer, bukan? Penampilannya tidak terlihat seperti petugas yang berseragam.“Sedang apa kamu di sini?”“Oh?” Lavina kaget. Ia mengalihkan tatapannya ke depan dan mendapati Auriga yang baru saja membuka pintu.Mata Lavina mengerjap, mulutnya sedikit ternganga melihat wajah segar nan tampan pria di hadapannya itu. Garis rahang Auriga yang tegas memberikan kesan maskulin yang kuat. Matanya seperti permata hitam yang mengilap, seperti mala
“Malam ini aku mau tidur sama Grandma dan Grandpa.” Aurora tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar.“Apa?!” Sontak, Lavina membungkam mulut dengan telapak tangan saat ia menyadari suaranya terlalu kencang, hingga membuat orang-orang di sekitarnya menoleh ke arahnya. “Tapi… kenapa? Kamu nggak mau tidur bareng aku?”Lavina masih belum terbiasa menyebut dirinya mommy pada Aurora, jadi ia tetap berbicara tidak formal dengan menyebut dirinya aku.“Mau, Mom, tapi nggak malam ini ya? Nggak apa-apa ‘kan, Mom, Dad?Menyadari ia akan tidur satu kamar berdua saja dengan Auriga, Lavina merasa keberatan. Ia lantas menatap Auriga dengan tatapan seolah sedang berkata, lakukan sesuatu!Namun, Auriga hanya mengedikkan bahunya dengan cuek, ekspresi wajahnya tetap datar, tapi tatapannya melembut begitu menatap Aurora di pangkuannya.“Grandma yang meminta kamu tidur di kamarnya, hm?” tanya Auriga dengan suara lembut.Aurora tersenyum lebar dan mengangguk. “Iya, Dad.”“Tapi…,” sela Lavina, “gimana kala
Pria berusia 30 tahun itu mengembuskan napas kasar, air mukanya mendadak berubah serius saat berkata, “Tadi saya cuma bercanda, jangan dianggap serius.”“Hah? Tadi?”“Ya, yang mengajak kamu melakukan itu.” Tangan Auriga sibuk mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk kecil selagi ia menghampiri lemari. “Jangan khawatir, saya nggak akan pernah menyentuh kamu selama kita menikah. Sesuai perjanjian di awal, pernikahan kita hanya sebatas bisnis saja.”Mendengarnya, seketika Lavina mengembuskan napas dengan lega. Ia seolah mendapatkan kembali kekuatannya untuk berdiri.“Kalau gitu Om bisa keluar selama aku mandi?” tanya Lavina sembari melepas cardigan. Gaun pengantinnya sudah ia lepas tadi setelah selesai acara dan dibantu MUA.“Nggak bisa. Saya ngantuk, mau tidur.”“Lho?!! Kok gitu? Terus aku mandi gimana?”“Ya mandi saja. nggak perlu ribet begitu.”“Tapi—”“Masih ingat yang saya bilang tadi siang?” sela Auriga sembari menghampiri Lavina. “Tubuh kamu bukan tipe ideal saya.”Mata Lav
“Nggak akan ada yang berubah dengan kita meski aku sudah menikah. Aku menikahi perempuan itu demi Aurora.” Yoana tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku tahu. Tapi apa dia nggak bakal terluka ya?” Auriga menunduk, menatap tangan Yoana yang turun ke bawah meja dan mengusap pahanya yang dibalut celana denim. Auriga tidak menepis tangan Yoana, hanya membiarkan Yoana berbuat sesukanya. “Seharusnya nggak. Dia sudah aku beri peringatan.” “Baguslah.” Yoana kembali mengangguk. “Cuti berapa lama?” “Cuma tiga hari.” “Kenapa nggak ngambil satu minggu gitu? Biar agak lamaan dikit liburnya.” “Aku akan libur satu bulan kalau pernikahan ini benar-benar pernikahan yang aku inginkan.” Auriga mendengus pelan. Yoana mendecak lidah menanggapinya, lalu mengangguk pada waitress yang mengantar minumannya. Yoana lantas meneguk minuman itu sejenak, dan menaruh kembali gelas dengan elegan ke atas meja. “Seenggaknya kamu bisa ngabisin waktu bersamaku kalau cuti seminggu. Bisa aku jamin cutimu n
"Om pakai parfum cewek ya?!" “Apa?” Lavina mendekati Auriga dan mengendus kaos pria itu di bagian dada. Auriga langsung mundur selangkah, jari telunjuknya mendorong dahi Lavina supaya menjauh. “Apa yang kamu lakukan?” Satu alis Auriga terangkat. “Ish!” bibir Lavina mencebik. “Penampilan aja yang cool, tapi selera parfumnya aneh. Cowok, kok, malah suka pakai parfum cewek? Udah paling bener aku nggak suka sama tipe cowok kayak Om.” Lavina geleng-geleng kepala prihatin lalu berjalan menghampiri lemari. Auriga mengendus tubuhnya sendiri, terdiam sesaat, sebelum akhirnya melanjutkan langkah ke kamar mandi. “Semalam Om nginap di mana? Kenapa nggak balik lagi ke sini?!” seru Lavina, yang membuat langkah Auriga terhenti. Auriga mengembuskan napas dan menatap Lavina. “Di manapun saya menginap, itu—” “Bukan urusanku!” Lavina menyela, melanjutkan kalimat Auriga. Ia tersenyum lebar dan membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan ibu jari. “Oke! Aku tahu itu bukan urusan aku, jadi aku ngga