“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Lavina berhenti berlari, napasnya ngos-ngosan, matanya yang bulat melihat ke sekeliling sembari berkacak pinggang. Ada banyak orang di terminal tiga keberangkatan internasional itu, tapi Lavina tidak menemukan pria yang sedang ia cari. Yasa Gunawan, ialah nama pria tersebut. Kakak tirinya yang sedang menjadi buronan Lavina. Tadi pagi, sebelum Lavina bangun, Yasa membawa kabur perhiasan 30 gram milik Mawar–ibu tiri Lavina dan ibu kandung Yasa. Mawar menitipkan perhiasan itu kepada Lavina selama pergi ke luar kota. Lavina bisa membayangkan akan semurka apa Mawar kepadanya jika tahu perhiasan itu hilang. Meski dicuri anak kandungnya sendiri, tapi yang akan menjadi pelampiasan kemarahan Mawar adalah Lavina. Seperti yang lalu-lalu. Lavina selalu disalahkan meski yang membuat ulah adalah anak kandungnya sendiri. Di bandara itu, Lavina kembali berlari sambil melihat ke sekeliling. Ia menelepon Yasa, tapi nomornya tidak aktif. Yasa akan pergi ke Hongkong untuk bekerja menjadi buruh di san
Lavina memasuki sebuah ruangan sembari mengerutkan kening. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa dibawa kemari, karena petugas keamaan itu tidak menjelaskan apapun lagi. Setelah duduk di sofa, Lavina baru menyadari bahwa di hadapannya ada seseorang yang duduk bersilang kaki, bersedekap dada, dan sedang menatapnya dengan marah. Mata Lavina mengerjap-ngerjap. Bukannya dia om yang tadi sama anak perempuan itu? batin Lavina. Kenapa dia di sini? Apa jangan-jangan…. Lavina seketika membelalak, lehernya terasa seperti dicekik. Tidak mungkin ia dibawa kemari karena mereka mengira ia yang mencuri tas itu, ‘kan? “Halo,” sapa Lavina sembari mengangguk dan melemparkan senyuman termanis yang pernah ia berikan pada orang lain.Ia berharap senyuman itu bisa melenyapkan tatapan tajam pria tersebut darinya. “Pantas saja gerak-gerik kamu dari tadi mencurigakan. Ternyata kamu seorang pencuri,” kata pria itu dengan ekspresi dingin, tersenyum kecut. Lavina terperanjat. Senyumannya lenyap. “Eh? Penc
“Tante, em… maksud aku Mommy, ayo kita pulang ke rumah!” “Hah?!” Lavina ternganga. Mulutnya terbuka untuk bicara, tapi melihat tatapan Aurora yang mengiba, lidah Lavina mendadak terasa kelu. Bibirnya mengatup lagi, lalu menatap Auriga, seolah-olah lewat tatapan itu ia ingin bilang apa yang harus saya katakan? Sejak awal melihat Aurora, Lavina merasa kasihan karena anak ini tampak ketakutan saat melihat orang lain. Lavina melihat Auriga mengembuskan napas kasar. Sekali lagi, Auriga berkata kepada putrinya bahwa Lavina bukanlah ibunya. Auriga meminta Aurora untuk melepaskan pelukannya. Namun, tanpa diduga-duga, tangisan Aurora malah semakin kencang. Aurora menolak dipeluk ayahnya dan memilih untuk menangis berguling-guling di lantai seperti anak sedang tantrum. Melihat pemandangan itu, hati Lavina yang sehalus kapas ikut merasakan sakit. Ia pernah berada di posisi Aurora, yang ingin sekali bertemu dengan ibu kandung yang tak pernah Lavina lihat seumur hidup. Sementara itu Aurora