“Nggak akan ada yang berubah dengan kita meski aku sudah menikah. Aku menikahi perempuan itu demi Aurora.” Yoana tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku tahu. Tapi apa dia nggak bakal terluka ya?” Auriga menunduk, menatap tangan Yoana yang turun ke bawah meja dan mengusap pahanya yang dibalut celana denim. Auriga tidak menepis tangan Yoana, hanya membiarkan Yoana berbuat sesukanya. “Seharusnya nggak. Dia sudah aku beri peringatan.” “Baguslah.” Yoana kembali mengangguk. “Cuti berapa lama?” “Cuma tiga hari.” “Kenapa nggak ngambil satu minggu gitu? Biar agak lamaan dikit liburnya.” “Aku akan libur satu bulan kalau pernikahan ini benar-benar pernikahan yang aku inginkan.” Auriga mendengus pelan. Yoana mendecak lidah menanggapinya, lalu mengangguk pada waitress yang mengantar minumannya. Yoana lantas meneguk minuman itu sejenak, dan menaruh kembali gelas dengan elegan ke atas meja. “Seenggaknya kamu bisa ngabisin waktu bersamaku kalau cuti seminggu. Bisa aku jamin cutimu n
"Om pakai parfum cewek ya?!" “Apa?” Lavina mendekati Auriga dan mengendus kaos pria itu di bagian dada. Auriga langsung mundur selangkah, jari telunjuknya mendorong dahi Lavina supaya menjauh. “Apa yang kamu lakukan?” Satu alis Auriga terangkat. “Ish!” bibir Lavina mencebik. “Penampilan aja yang cool, tapi selera parfumnya aneh. Cowok, kok, malah suka pakai parfum cewek? Udah paling bener aku nggak suka sama tipe cowok kayak Om.” Lavina geleng-geleng kepala prihatin lalu berjalan menghampiri lemari. Auriga mengendus tubuhnya sendiri, terdiam sesaat, sebelum akhirnya melanjutkan langkah ke kamar mandi. “Semalam Om nginap di mana? Kenapa nggak balik lagi ke sini?!” seru Lavina, yang membuat langkah Auriga terhenti. Auriga mengembuskan napas dan menatap Lavina. “Di manapun saya menginap, itu—” “Bukan urusanku!” Lavina menyela, melanjutkan kalimat Auriga. Ia tersenyum lebar dan membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan ibu jari. “Oke! Aku tahu itu bukan urusan aku, jadi aku ngga
“Saya nggak tahu selera baju kamu, jadi lemarinya masih kosong dan kamu bisa membelinya sendiri.” Auriga menyerahkan sebuah kartu gold pada Lavina. “Huh? Apa ini, Om?” Lavina mengerjap menatap kartu tersebut. Ia tahu itu kartu debet, tapi… untuk apa? “Ini bisa kamu gunakan untuk kebutuhan kamu. Saya akan transfer uangnya setiap bulan ke sini,” jelas Auriga seraya menatap Lavina dengan tatapannya yang masih tanpa ekspresi. “Jangan khawatir, ini sudah terisi untuk nafkahmu bulan ini. Gunakan dengan bijak. Dan ini…." Kali ini Auriga menyerahkan sebuah remot kecil pada Lavina yang masih tampan kebingungan. Dan kembali berkata, “Ini kunci mobil. Saya sudah menyediakan satu mobil buat kamu. Gunakan itu untuk keperluanmu.” Lavina tertegun. Matanya berkaca-kaca. Lidahnya pun mendadak terasa kelu meski banyak hal yang ingin ia ucapkan. Namun, yang bisa keluar dari mulutnya hanya…. “Terima kasih banyak,” lirihnya, “aku akan menggunakannya dengan bijak.” Lavina ragu untuk mengambil kartu da
“Aurora?! Boleh aku masuk?!” seru Lavina sembari melongokan kepala di celah pintu kamar Aurora yang terbuka, bibirnya tersenyum lebar.Aurora sedang menulis di meja belajar. Anak itu menoleh dan tersenyum, lalu mengangguk.Setelah mendapat izin, Lavina pun menghampiri Aurora. “Hey, rajin sekali! Pagi-pagi udah belajar aja ya?” candanya dengan senyuman lebar yang masih terpatri di bibirnya.Aurora terkikik sembari menutup buku lalu memeluknya di dada, seolah takut buku itu akan direbut Lavina. “Aunty nggak boleh lihat!”“Eh?”Lavina terkejut hingga langkahnya mendadak berhenti di dekat meja.Bukan. Ia bukan terkejut karena Aurora terlihat memiliki rahasia di buku itu. Namun, Lavina terkejut karena panggilan aunty yang Aurora lontarkan barusan.“Aun… ty?” gumam Lavina. Padahal sejak awal bertemu, Aurora selalu memanggilnya mommy. Ada apa dengan anak ini?Aurora turun dari kursi, lalu menggenggam tangan Lavina dan menariknya ke tepian tempat tidur. Keduanya duduk di sana berdampingan.“A
“Om manggil aku? Ada apa?” Lavina menghampiri Auriga yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.Auriga menoleh, satu alisnya menukik ke atas melihat rambut Lavina yang basah. “Saya sudah nyiapin hairdyer di kamar kamu.”“Oh, itu.” Lavina meraba rambutnya sendiri. “Aku lebih suka rambut kering secara alami. Kasihan banget rambut aku kalau terus-terusan dipanasin hairdryer,” katanya sambil melompat duduk di samping Auriga, yang membuat Auriga sedikit berjengit.“Bisa duduk pelan-pelan? Ini sofa, bukan tempat sirkus,” desis Auriga dengan nada kesal.Lavina menyengir lebar. “Maaf.”Kemudian Lavina merebut remote televisi di tangan Auriga tanpa permisi dan memindahkan channel sesuka hati.Rahang Auriga mengetat, ia mengembuskan napas dengan kasar.“Ada yang mau saya bicarakan sama kamu, sesuatu yang cukup serius.” Auriga merebut remote itu kembali dan menaruhnya di meja. “Fokus ke saya, jangan ke televisi.”“Baiklah….”Lavina mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Auriga, kakinya
“Bagaimana? Apa Daddy sudah terlihat seperti seorang pilot sejati?" “Hm! Seragam itu bikin Daddy terlihat seperti pahlawan di film-film! Aku bangga sama Daddy!” Langkah kaki Lavina terhenti di depan pintu kamar Aurora saat mendengar percakapan ayah dan anak itu yang samar-samar karena pintunya tertutup. Tawa Auriga terdengar menggema. “Daddy sayang kamu, bahkan jauh lebih sayang dari apapun di dunia ini. Ingat itu baik-baik, hm?” “Iya, Daddy. Aku tahu. Aku juga sayang Daddy! Cepat pulang lagi ya, Dad!” “Hmm….” Suasana di dalam kamar tiba-tiba hening. Lavina yakin di dalam sana, Auriga sedang memeluk putrinya sebelum berpisah untuk beberapa minggu ke depan. Pintu tiba-tiba terbuka. Lavina terkejut tapi tidak bisa menghindar atau pergi dari sana dalam waktu sepersekian detik. Oh, sungguh! Auriga pasti mengira Lavina sedang menguping, walau kenyataannya memang begitu. “Oh? Sedang apa kamu di sini?” tanya Auriga dengan ekspresi datar saat sosoknya muncul di pintu dengan seragam p
Lavina duduk di salah satu kursi di kantin sekolah, lagu BTS berjudul Spring Day yang mengalun merdu dari headset, membuatnya merasa mengantuk. Dia bosan karena tidak melakukan apa-apa selama menunggu Aurora belajar, hampir dua jam ia duduk di sini. Namun, tiba-tiba, bel sekolah berbunyi nyaring, Lavina seketika terlonjak dan kepalanya terantuk. Buru-buru ia melepas headset dan menghabiskan sisa minumannya. Lavina berlari-lari kecil menuju kelas Aurora. Tubuhnya yang mungil dibalut kaos putih oversize dan celana jeans. Banyak orang mengira ia adalah kakak yang sedang menunggu adiknya sekolah. Setibanya di depan kelas, Lavina menghela napas lega karena Aurora belum keluar. Sebab anak itu akan menangis jika tidak melihat Lavina saat keluar kelas. Jadi, Lavina selalu siaga berdiam diri di dekat pintu setelah bel berbunyi. “Mommy Lavina….” Aurora menghambur dan memeluk Lavina saat pintu sudah terbuka. Lavina memeluknya dan mengamati ekspresi Aurora yang sedikit lebih cerah daripada h
Auriga keluar dari kokpit pesawat dengan langkah mantap. Wajahnya dipenuhi kepuasan setelah berhasil menyelesaikan penerbangan dengan sukses.Dia melepas topi pilotnya dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan akibat topi itu.Sementara matahari perlahan turun ke cakrawala, dia menyusuri lorong bandara menuju terminal.Di sampingnya, tas pilotnya yang setia menemani setiap penerbangan diajaknya pergi.“Capt!”Seseorang yang memanggilnya membuat langkah Auriga terhenti. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Arnold sedang berjalan tergesa menghampirinya.Arnold adalah co-pilot yang membersamai Auriga dalam penerbangan kali ini. Dia lelaki berkebangsaan Australia dan usianya lima tahun lebih muda dari Auriga. Pembawaannya selalu tampak ceria.“Setelah ini kau mau langsung kembali ke Indonesia?” tanya Arnold dalam bahasa Inggris sembari tersenyum lebar.“Ya, penerbangan ke Jakarta tiga jam lagi.” Auriga melirik arloji, bahkan ia tidak punya waktu untuk kembali ke apartemen lebih dulu