Share

Bab 5. A Warning

“Pria sialan! Bajingan! Berengsek!” Casandra menghempaskan tubuhnya ke ranjang seraya meloloskan umpatan kasar. Emosi meluap mengingat tentang pertemuan gilanya dengan Michael. Entah apa yang ada di dalam pikiran pria sialan itu.

Tujuan Casandra menemui Michael karena untuk membahas pekerjaan. Namun, alih-alih membahas pekerjaan, dia malah terbakar emosi akan penawaran gila pria itu. No! Itu bukan sama sekali penawaran. Malah yang ada Michael ingin membeli harga dirinya. Shit! Mengingat itu membuat emosi Casandra semakin menjadi.

Suara ketukan pintu terdengar…

“Masuk!” seru Casandra memerintah orang yang mengetuk pintu untuk masuk ke dalam.

“Nona Casandra.” Seorang pelayan melangkah masuk ke dalam kamar Casandra.

Casandra menatap dingin pelayan itu. “Ada apa kau ke sini?”  

“Nona, Tuan Gio sudah datang, dan menunggu Anda di depan,” jawab sang pelayan sontak membuat Casandra terkejut.

“Gio datang?” ulang Casandra lagi.

Sang pelayan mengangguk. “Benar, Nona.”

Casandra langsung mengumpat pelan. Ya, gadis itu lupa kalau memiliki janji bertemu dengan Gio. Emosi bertemu dengan Michael membuat Casandra malah melupakan janjinya bertemu dengan sang kekasih.

Harusnya, tadi Casandra pulang cepat dan memilih pakaian yang paling terbaik demi bertemu dengan sang pujaan hati, namun semua rencananya lenyap di kala Michael membuat Casandra emosi. Jika saja Casandra tahu, pria yang ditemuinya adalah pria gila, maka pasti Casandra menolak keras bertemu dengan pria gila itu.

“Minta Gio untuk menungguku sebentar. Aku akan segera turun ke bawah,” ucap Casandra seraya mengembuskan napas panjang.

Sang pelayan mengangguk. “Baik, Nona.” Lalu, sang pelayan pamit undur diri.

Casandra mengatur napasnya seraya memejamkan mata singkat. Seharusnya, malam ini menjadi moment manis dirinya berkencan dengan sang pujaan hati. Namun, semua itu terusik karen Michael membuat mood Casandra kacau.

***

Butuh waktu hampir satu jam Gio menunggu Casandra. Jika biasanya pria sudah marah-marah karena menunggu lama, tidak dengan Gio Redley yang memang terkenal sabar. Sekalipun Casandra berias lama, tetap pria itu akan menunggu.

“Sayang, maaf aku lama.” Casandra menghampiri Gio, dan memberikan kecupan di bibir pria itu.

Gio tersenyum melihat penampilan Casandra yang begitu cantik. “Tidak apa-apa. Kau berias untuk tampil cantik di depanku. Jadi aku tidak mungkin marah.” Gio membelai pipi Casandra.

Casandra memeluk lengan Gio. “Ayo kita berangkat sekarang.”

“Orang tuamu di mana, Sayang?” tanya Gio sambil membelai pipi Casandra.

“Mereka sedang di luar,” jawab Casandra hangat.

Gio mengangguk. “Oke, kalau begitu kita berangkat sekarang.”

Casandra tersenyum hangat, lalu dia melangkah bersama dengan sang kekasih keluar dari mansion-nya. Raut wajah Casandra berusaha keras untuk tersenyum seakan tak terjadi apa pun.

Gio membawa Casandra ke sebuah restoran mewah yang ada di Los Angeles. Alunan musik instrument begitu menenangkan. Tak banyak yang datang di restoran itu. Hanya beberapa pengunjung dari kalangan atas. Tentu Gio memang sengaja memilih restoran yang tak terlalu banyak pengunjung.

Selama makan malam berlangsung, tatapan Gio menatap Casandra yang nampak berbeda. Menjalin hubungan bertahun-tahun memang membuat Gio sangat mengenal Casandra dengan baik.

“Casandra, apa yang kau pikirkan?” Gio membelai pipi Casandra.

Casandra berusaha tersenyum. “Tidak ada, Sayang. Tidak ada yang aku pikirkan.”

“Hey, jangan bohong. Aku tahu ada yang kau pikirkan.” Gio mencubit pelan hidung Casandra.

Casandra mendesah panjang. “Aku sedang kesal dengan Michael Yates.”

“Michael Yates?” Sebelah alis Gio terangkat, menatap bingung Casandra.

Casandra mengangguk. “Iya, calon investor baru di perusahaanku. Dia benar-benar pria yang menyebalkan.”

Gio terdiam sebentar. “Apa yang kau maksud Michael Yates Hutomo?”

“Aku tidak tahu nama panjangnya. Kau mengenal pria itu?” tanya Casandra bingung.

Gio mengangguk. “Beberapa tahun terakhir, namanya selalu terpajang di Majalah Forbes. Dia memiliki pengaruh besar di Amerika. Ibunya Freya Yates menikah dengan pria asal Indonesia bersama Darius Hutomo. Aku pernah bertemu dengannya di jamuan makan malam. Tapi dalam berbisnis, aku belum pernah terlibat langsung dengannya.” 

“Indonesia? Tapi wajahnya sama sekali tidak berwajah Asia,” gumam Casandra kelepasan bicara.

Gio menatap Casandra dengan tatapan yang tersirat cemburu. “Kau mengamati wajah pria lain sampai sedetail itu, Casandra?” tukasnya tak suka.

“M-maksudku, aku terkejut mengetahui dia memiliki darah Asia dari ayahnya. Tadi aku bertemu dengannya, dan aku melihat wajahnya sama sekali tak memiliki wajah Asia,” kata Casandra cepat. Gadis itu tak mau sampai Gio curiga padanya.

Gio mengecup bibir Casandra. “Baiklah, sekarang beri tahu aku kenapa kau sampai kesal pada Michael? Apa penawaran yang kau ajukan ditolak?”

“Dia itu—” Casandra menjeda sebentar ucapannya, di kala mengingat sesuatu hal. Gadis itu ingin sekali bercerita pada Gio tentang kegilaan Michael, namun Casandra takut kalau Gio murka dan malah menghampiri Michael. Itu sama saja dirinya membuat sang kekasih mendapatkan masalah besar.

“Dia kenapa, Sayang?” tanya Gio yang mulai penasaran.

“Ah, iya, dia menolak penawaranku. Cara berpikirnya terlalu kritis. Sangat menyebalkan,” jawab Casandra cepat dan buru-buru.

“Hm, kau bisa mencoba lagi nanti. Jangan menyerah.” Gio membelai pipi Casandra.

Casandra tersenyum, dan menganggukan kepalanya merespon ucapan sang kekasih.

***

“Kenapa ini bisa terjadi, Philip?!” Devan memejamkan mata singkat, di kala baru saja melihat laporan yang diberikan oleh asistennya itu. Laporan di mana menunjukkan perusahaan merugi besar.

Philip menundukan kepalanya. “Tuan, salah satu investor besar menarik dananya. Lalu, terakhir tiga project besar gagal kita dapatkan. Kondisi perusahaan benar-benar sangat kacau, Tuan. Jika tidak ada investor baru, maka dalam beberapa bulan perusahaan akan mengalami kerugian besar.”

Devan mengumpat kasar. “Kenapa masalah ini ada setelah putriku mengambil alih kepemimpinan? Dia bisa stress memikirkan masalah ini.”

Philip tak mampu berkata, dia pun bingung harus berkata apa.

“Philip, bagaimana dengan Yates Group? Apa mereka mau menginvestasikan uang mereka ke perusahaan kita?” tanya Devan cepat.

“Tuan, sampai detik ini saya belum mendapatkan informasi apa pun dari asisten Nona Casandra. Mungkin Anda bisa bertanya sendiri pada putri Anda,” jawab Philip sopan.

Devan mengembuskan napas kasar. “Putriku belum berbicara apa pun. Jika ada kabar baik, pasti dia langsung melaporkan padaku. Aku yakin pasti dia gagal untuk meminta pihak Yates Group untuk menginvestasikan uangnya di perusahaan kita.”

Philip menjadi cemas. “Lalu, apa yang harus kita lakukan, Tuan?”

Devan memejamkan mata singkat. “Kau atur pertemuanku dengan pemilik Yates Group. Aku yang akan berusaha berbicara dengannya. Putriku masih baru di dunia bisnis, mungkin ada beberapa ucapan dari putriku yang kurang meyakinkan pihak Yates Group.”

Philip mengangguk. “Baik, Tuan. Saya akan segera atur.”

“Sekarang lebih baik kau pergi. Selesaikan pekerjaanmu yang lain.” Devan meminta asistennya itu untuk pergi.

Philip menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Devan.

Devan menyambar gelas wine yang ada di atas meja, dan menenggak wine itu kasar. Tampak jelas raut wajah pria paruh baya itu membendung kemarahan dan emosi yang menyulut.

***

Devan sama sekali tak bertanya pada Casandra tentang pertemuan putrinya dengan pemilik Yates Group. Pasalnya pria paruh baya itu memiliki keyakinan bahwa pasti Casandra gagal untuk mengajak pemilik Yates Group untuk berdiskusi. Jika berhasil, sudah pasti Casandra akan mengatakannya lebih awal. Tak mungkin putrinya itu hanya diam. Devan sangat mengenal sifat putrinya dengan baik.

“Tuan Stewart?” seorang pria bertumbuh tinggi gagah menghampiri Devan.

Devan menatap pria itu. “Aku ingin bertemu dengan pemilik Yates Group.”

Pria itu tersenyum. “Perkenalkan saya Erlan, asisten pribadi Tuan Michael. Tuan Michael sudah menunggu Anda.”

Devan mengangguk merespon ucapan pria itu. Selanjutnya, Devan melangkah mengikuti Erlan menuju ke ruang meeting. Memang, hari ini pria itu sudah pergi menemui pemilik Yates Group, karena dia tak mungkin menunda-nunda.

“Apa kabar, Tuan Stewart?” Michael menyambut Devan yang masuk ke dalam ruang meeting. Senyuman samar di wajah Michael terlukis.

Devan mengulurkan tangannya pada Michael. “Aku baik, Tuan Yates. Bagaimana kabarmu?” Devan balik bertanya.

Michael membalas jabatan tangan Devan. “Aku pun baik. Mari, silahkan duduk, Tuan Stewart.”

Lalu, Devan duduk bersamaan dnegan Michael yang juga duduk. Erlan yang ada di sana menuangkan wine ke gelas berkaki tinggi yang ada di hadapan Devan dan Michael.

“Kemarin putrimu baru saja datang menemuiku.” Michael memulai percakapan seraya menyesap wine di tangannya.

Devan tersenyum. “Tujuanku dan putriku sama. Di sini aku pun ingin mengajak Yates Group bekerja sama. Aku yakin kemarin sedikit banyak putriku sudah menjelaskan, dan aku ingin menambahkan bahwa pasti Yates Group tak akan mengalami kerugian.”

Senyuman samar di wajah Michael terlukis mendengar apa yang dikatakan oleh Devan. “Aku sudah mengetahui kondisi perusahaanmu saat ini, Tuan Stewart.”

“Dan aku bisa memastikan bahwa perusahaanku akan segera pulih,” kata Devan begitu yakin.

Michael mengetuk-ngetuk meja meeting dengan jemari kokohnya. “Aku tidak yakin perusahaanmu bisa pulih dengan cepat. Hasil laporan yang aku dapatkan, kondisi perusahaanmu hampir berada di batas merah. Itu artinya sudah berada di nyaris posisi terendah. Untuk bangkit dari posisi itu, bukanlah hal yang mudah.”

“Dalam berbisnis, pasti selalu ada mengalami naik dan turun. Tentu aku percaya, perusahaanku akan bangkit. Perusahaan ini sudah berdiri secara turun temurun. Aku tidak mungkin membiarkan perusahaan keluargaku jatuh,” jawab Devan meyakinkan Michael.

Michael menggerakan gelas berkaki tinggi yang ada di tangannya. “Sebenarnya, aku sudah menyetujui untuk berinvestasi di perusahaanmu, dan putrimu tahu akan ini. Tapi, sayangnya putrimu belum menyetujui syarat yang aku ajukan.”

Raut wajah Devan berubah. “Syarat apa yang kau inginkan, Tuan? Aku akan berusaha keras untuk menuruti persyaratan yang kau ajukan.”

Michael bangkit berdiri seraya melangkah mendekat pada Devan. “Kau yakin akan menyetujui persyaratan dariku?”

Devan menatap Michael. “Aku akan berusaha keras menyetujui persyaratanmu. Apa yang kau inginkan?”

Michael menundukkan kepalanya, mendekatkan wajahnya ke wajah Devan. “Putrimu. Aku menginginkan putrimu menjadi milikku.”

Raut wajah Devan berubah menjadi tegang mendengar apa yang Michael katakan padanya. Rahangnya mengetat. Tangannya terkepal kuat. “Apa maksud ucapanmu!” Devan langsung bangkit berdiri, murka pada Michael.

Michael tersenyum santai. “Aku menginginkan putrimu, Tuan Stewart. Itu adalah syarat yang aku ajukan.”

Mata Devan menyalang tajam. “Maksudmu, kau ingin aku menjual putriku, hah?!” teriaknya dengan nada keras.

Michael kembali tersenyum. “Aku tidak mengatakan seperti itu. Kau sendiri yang menarik kesimpulan itu.”

“Lalu apa sebenarnya maksudmu!” seru Devan dengan nada tinggi.

Michael melangkah mendekat pada Devan. “Minta putrimu untuk tinggalkan kekasihnya, setelah itu aku akan menikahi putrimu. Dengan adanya pernikahan di antaraku dan putrimu, maka otomatis perusahaanmu pasti selamat.”

“Kau—” Dada Devan sedikit nyeri akibat terlalu banyak membentak.

“Relaks, Tuan Stewart. Kau di sini diuntungkan. Kau tenang saja, Casandra akan menjadi satu-satunya istriku. Aku tidak akan menduakannya,” jawab Michael santai tanpa dosa.

Mata Devan semakin berkilat tajam membendung kemarahannya. “Sebagai pria yang memiliki segalanya, kau sama sekali tidak memiliki otak dengan baik! Kau bahkan baru mengenal putriku, tapi kau sudah meminta dia untuk menjadi istrimu! Kau ingin mengancamku dengan uangmu, kau pikir uangmu jauh lebih penting dari putriku, hah?!” teriaknya keras dan menggelegar. 

Michael meletakan gelas di tangannya ke atas meja sambil berkata, “Alright, jika kau tidak mau menerima penawaranku, maka lebih baik kau pergi dan silahkan cari sendiri caramu untuk berjuang. Aku yakin, kau sangat tahu kondisi perusahaanmu.”

Devan menatap tajam dan penuh emosi Michael. Tanpa lagi berkata, pria paruh baya itu melangkah pergi meninggalkan Michael dengan kemarahan yang semakin menjadi. Sedangkan Michael tetap tersenyum melihat kepergian Devan yang nampak sangat marah.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Arita Dhamayanti
saluuut sama michael ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status