Adam menggerutu karena tidak menemukan keberadaan Alya. Bahkan, Kanaya juga tidak sedang tidur bersama dengan Hana. "Kemana, sih, anak ini? Heran, deh!" gerutu Adam sambil terus mencari keberadaan babysitter barunya itu. Seluruh rumah sudah ditelusuri. Namun Adam tak kunjung menemukan keberadaan Alya. Hingga sampai dia merasa lelah dan istirahat di ruang tamu. "Assalamu'alaikum!" Suara Alya terdengar tak lama setelah itu. "Waalaikumsalam. Habis darimana kamu, Al? Keluyuran?" tanya Adam setengah emosi."Ma—af, Pak. Bukan, Pak. Tadi Alya keluar sebentar buat beli popoknya Kanaya karena habis. Sekali lagi maaf, Pak," jawab Alya seraya menunduk. "Ya sudah lah. Saya mau bicara sama kamu. Duduk!" ucap Adam masih dengan hati yang emosi. Alya menuruti ucapan Adam dan hatinya berdebar kencang karena takut majikannya itu marah dan memecatnya. Bahkan Alya tidak berani menegakkan kepalanya. Sementara itu, Adam tengah meredam emosinya. Karena masalah Hana dan Riko, Adam jadi gampang emosi.
"Mas ..." Suara Hana lirih terdengar di jam dua belas tengah malam.Hana memegangi perutnya yang mulas. Saat ini usia kandungan Hana sudah cukup bulan. Adam yang saat itu baru hendak tidur, hanya bisa menghibur istrinya."Mas, sakit! Aku gak kuat, Mas! Ayo kita ke bidan yang dekat dari sini saja," ucap Hana sembari terus meringis kesakitan."Kamu tunggu di rumah aja dulu. Biar Mas ke sana dulu dan lihat ada enggaknya ibu bidannya, ya."Hana mengangguk karena sungguh rasa sakit itu kini semakin sering dia rasakan. Sehingga untuk membuka mulut pun tidak sanggup.Adam mengeluarkan motor dari rumah yang sudah mereka tempati kurang lebih satu tahun itu. Walaupun kecil, tapi rumah itu sudah rumah sendiri dan hanya ditinggali oleh mereka berdua. Tak sampai lima menit, Adam kembali lagi ke rumah. "Gak ada orangnya. Kamu sabar aja, nanti kalau sudah pagi, kita ke sana," ucap Adam dengan entengnya."Mas ... Aku mau minum." Hana merasakan haus yang teramat seperti orang yang habis berlari marat
Adam sudah tak ingat lagi jika ia masih tersambung di telepon dengan ibunya. Saat ini dia fokus pada Hana. Sementara bayinya masih dia titipkan di klinik sang bidan."Bu, titip anak saya selama saya masih mengurus istri saya. Nanti saya telepon Ibu saya biar mengambil anak saya," ucap Adam pada Ibu Bidan."Tenang saja, Pak. Anak Bapak akan aman bersama kami. Semoga istri Bapak tidak ada masalah yang serius," jawab Ibu Bidan. Tak lupa pula Beliau mendoakan yang terbaik untuk pasiennya itu."Kalau begitu saya tinggal gak apa-apa, ya, Pak." Bidan itu pun pamit untuk kembali ke kliniknya karena juga punya tanggung jawab pada bayi yang masih merah itu.Sebelum Bidan pulang, Adam meminta nomor telepon Ibu Bidan agar lebih mudah dalam berkomunikasi. Hana masih ditangani oleh dokter di dalam. Adam pun berencana menelepon kembali ibunya karena tadi terputus.Baru saja Adam hendak menelpon ibunya, seorang dokter laki-laki keluar dari ruangan yang digunakan untuk menindak Hana."Suami dari pasi
Adam mendekap istrinya dalam pelukan. Tentu saja dia tahu isi hati Hana setelah dia mengatakan uang sebenarnya. "Mas akan tetap mencintaimu apa adanya, Sayang. Kita akan besarkan anak kita satu-satunya bersama, ya? Kamu harus semangat agar cepat sembuh dan bisa pulang dari sini. Kamu sudah kangen, kan, sama malaikat kecil kita?" kata Adam pelan. Hana mengangguk pelan.Air matanya mengalir begitu saja ketika berada di pelukan Adam. Jika bukan karena Adam, Hana mungkin tidak akan sekuat itu. Cinta Adam mampu membuatnya menjadi kuat.Setiap hari, Adam mengajak video call Ibu Laila. Tak sehari pun dia lewatkan karena rasa kangen pada anak yang belum sempat dia gendong itu."Anak Ayah lagi apa? Doakan Ibu, ya, semoga cepat pulang dan gendong kamu," ucap Adam sambil mengarahkan kameranya kepada Hana.Hana tak sanggup berkata-kata. Air matanya mengalir begitu deras ketika melihat anak perempuannya itu. Lima hari berlalu. Hana sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Tentu saja hal itu disam
Bukan tanpa alasan Hana mengatakan hal itu. Jauh sebelum mereka menikah, Pak Guntur selalu mengatakan jika Hana harus memiliki anak laki-laki dari Adam. Jika tidak, Adam akan dipaksa untuk menikah lagi.Ibu Laila yang mendengar percakapan anak dan menantunya itu terkejut. Minuman yang sejatinya untuk Adam dan Hana terjatuh dari tangannya. Gelas itu pecah berserakan di lantai. Selain gelas, ada piring yang berisi buah-buahan ikut pecah. "Astaghfirullah al'adzim!" ucap Ibu Laila lirih. Adam dan Hana bergegas keluar karena mendengar suara sesuatu yang pecah. "Ya Allah, Ibu! Ibu gak apa-apa, kan?" seru Adam yang melihat ibunya menutup mulut dengan kedua tangan. "Apa Ibu mendengar percakapan kami?" batin Hana. "Biar Adam bereskan dulu pecahannya, Bu." Adam dengan cekatan mengambil sapu dan mengumpulkan satu per satu pecahan piring dan gelas yang besar-besar. "Masuk dulu, Bu! Hana ... ajak Ibu ke kamar dulu," ujar Adam pada istrinya."Iya, Mas." Dengan mata yang sembab, Hana menuntun
"Ayah ... Adam mau bicara," kata Adam masih dengan nada sopan. Selama hidup, Adam belum pernah bicara kasar pada kedua orang tuanya dan itu sangat dihindari oleh Adam. Adam tahu karakter ayahnya seperti apa. Jika batu dilawan dengan batu, yang ada akan terjadi perpecahan. Pak Guntur duduk di ruang tamu dengan masih menahan amarah. Sedangkan Ibu Laila, Beliau ikut duduk bersama anak dan suaminya di sana. Ketakutan yang dirasakan Ibu Laila akhirnya terjadi juga. Awalnya Pak Guntur antusias saat diajak Ibu Laila mengambil cucunya di klinik bidan. Tapi, semuanya berubah ketika Beliau tahu jika cucunya perempuan bukan laki-laki."Ayah, kenapa Ayah bicara seperti itu? Tidakkah ada rasa kasihan melihat menantu Ayah yang baru saja melahirkan dan operasi? Belum cukupkah cobaan Hana dengan kehilangan rahim? Bagaimana hati Hana jika Adam menikah lagi hanya untuk memuaskan keinginan Ayah memiliki cucu laki-laki, Yah?" Panjang lebar Adam berkata-kata. "Iya, Yah. Laki-laki atau perempuan itu sa
Pak Guntur mendengar percakapan Adam dan juga Ibu Laila. "Kesempatan untukku bisa membuat mantu tak tahu diri itu mengerti posisinya di sini!" gumam Pak Guntur. Setelah Adam pergi, Pak Guntur lantas menunggu istrinya keluar dari kamar Hana. Benar saja, tak lama kemudian, Ibu Laila keluar dari kamar Hana dan pergi ke kamar mandi.Sudah menjadi kebiasaan jika Ibu Laila ke kamar mandi, Beliau bisa menghabiskan waktu setengah jam atau bahkan lebih. "Bagus! Waktu yang tepat untukku beraksi. Kamu kira Ayah akan menyerah begitu saja, Hana? Ayah akan tetap memaksa Adam menikah lagi, walaupun harus mengancamku," tekad Pak Guntur.Sebelum masuk ke kamar Hana, Pak Guntur memastikan jika istrinya sudah benar-benar masuk ke kamar mandi. Setelah itu, Beliau dengan langkah mantap berjalan ke arah kamar Hana."Oek! Oek! Oek!" Suara tangisan cucunya terdengar dari luar kamar. Kebetulan pintu kamar Hana tidak tertutup. Pak Guntur langsung masuk begitu saja dan mendapati Hana tengah menenangkan bayi
"Yah ... kenapa, sih, Ayah nekat seperti ini? Apa mau, Ayah? Istighfar, Yah!" kata Ibu Laila mengingatkan."Tahu apa kamu, Bu? Sudah, kamu diam saja!" seru Pak Guntur."Tunggu di sini sebentar, Pak! Saya mau panggil anak saya terlebih dahulu," kata Pak Guntur kepada dua orang laki-laki itu. Tak lupa, Pak Guntur mempersilahkan ketiganya untuk duduk.Senyum kedua laki-laki itu terasa sangat aneh bagi Ibu Laila. Berbanding terbalik dengan kedua laki-laki itu, perempuan yang disebut akan dinikahkan dengan Adam itu hanya menunduk. Tak sedikitpun dia berani menatap ke depan.Sementara ketiganya menunggu, Ibu Laila mengekor dibelakang suaminya. Ternyata Adam dan Hana sudah bangun dan keduanya tengah berada di kamar Ibu Laila mengambil Kanaya."Ada apa, Yah?" tanya Adam yang melihat ayahnya menghampirinya dengan senyum tak biasa."Ayo ikut Ayah sebentar! Ada yang ingin Ayah kenalkan sama kamu," ucap Pak Guntur. "Ikut kemana, Yah?""Jangan, Dam! Kamu di sini saja gak usah ikut ayahmu," seru I