"Duh enak banget ya kerjamu. Bersantai di rumah seperti Nyonya besar!"
Ucap sang ibu mertua. Ia berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Suaranya terdengar menggelegar di telinga Arumi."Maaf, Bu. Arumi sedang tidak enak badan." Arumi yang tengah terbaring di atas sofa memaksakan tubuhnya untuk bangun menyambut sang ibu mertua. Tangannya terulur hendak mencium takzim pada sang ibu mertua."Eh, nggak usah salam-salaman. Ibu jijik kalau harus bersentuhan dengan tanganmu!" Belum sempat Arumi meraih tangan sang ibu mertua, wanita paruh baya itu sudah menepis tangannya. Hati Arumi mencelos karenanya. Semenjijikan itukah dia hingga sang mertua tidak mau bersentuhan dengannya.Arumi mengepalkan tangannya seraya mengikuti Ibu mertuanya masuk ke dalam rumah. Santi, adik Ardi berjalan mengekor di belakangnya. Langkah mereka terhenti ketika melihat Dinda duduk di lantai dengan plastik bungkus makanan yang berserakan."Heh, apa-apaan ini! Kenapa kamu mainan bungkus makanan begini?" ujar ibu mertuanya sambil langsung membentak Dinda. Ia geram melihat ruangan yang berantakan dengan bungkus makanan yang berserakan.Dinda langsung mengkerut, saat melihat neneknya berdiri di depannya. Gadis kecil itu ketakutan karena neneknya itu menatapnya tajam seperti singa kelaparan yang telah menemukan hewan buruannya. Ia segera berlari dan bersembunyi di balik punggung Arumi."Ibu kenapa sih, baru datang langsung membentak Dinda seperti itu?" Arumi mengelus rambut panjang bocah itu dengan lembut. Sentuhannya membuat Dinda merasa sedikit aman."Kamu tu ya, ga bisa ngajarin anak!" ujar wanita paruh baya itu sambil mendengus kesal, sebelum kembali berkata, "Rumah sampai berantakan seperti kapal pecah!" Arumi hanya bisa menarik nafas panjang. Apapun yang dilakukannya dan Dinda selalu terlihat salah di mata ibu mertuanya. Padahal Dinda tidak sedang bermain. Ia sedang membantunya mengerjakan pekerjaan borongan dari pabrik. Dulu Arumi selalu mengambil banyak pekerjaan. Namun sekarang ia tidak bisa melakukannya lagi. Ia juga harus menjaga kesehatannya. Koriokarsinoma yang dideritanya, membuatnya tidak bisa melakukan banyak hal. Ia tidak boleh bekerja terlalu keras, jika tidak ingin penyakitnya itu semakin parah.Sekarang Arumi tetap mengambil pekerjaan, tapi tidak sebanyak dulu. Uangnya pun hanya habis untuk menambal uang bulanan dari Ardi, yang jauh dari kata cukup."Kerjaan apaan kaya begini? Jadi perempuan itu kreatif dikit, bantuin cari uang suami yang bener, jangan kerjanya hanya merongrong suami!" cibir wanita paruh baya itu.Arumi tak menanggapi perkataan Ibu mertuanya. Mertuanya tidak pernah tahu jika uang hasil kerja borongannya itulah yang biasa digunakan Arumi untuk belanja sayur setiap harinya. Ardi hanya memberinya nafkah sebesar Rp.700.000,-. Uang itu hanya habis untuk membayar air, listrik dan SPP sekolah Dinda. Arumi harus bekerja keras, di tengah penyakit yang menggerogoti tubuhnya agar mereka tetap bisa makan."Pekerjaan apapun yang penting halal, dan bisa membantu perekonomian keluarga, Bu" ucap Arumi datar. Ia memang harus banyak bersabar menghadapi ibu mertuanya. Sejak lama mertuanya itu tidak menyukainya. Bu Hilda memang sudah memilihkan jodoh sendiri untuk Ardi. Tentu saja gadis itu pintar dan kaya, tidak seperti dirinya yang tidak jelas asal-usulnya."Halah, kerjaan ga ada duitnya saja bangga," jawab perempuan paru baya itu dengan bersungut-sungut."Yang penting saya bisa mengurangi beban Mas Ardi. Tidak merongrong seperti Ibu dan Santi." Entah apa yang membuat Arumi memiliki keberanian untuk melawan kata- kata mertuanya. Dahulu Arumi selalu diam dan menerima apapun perlakuan ibu mertuanya. Tapi lama-lama Arumi muak juga dengan perlakuan keluarga Ardi."Eh, kamu bilang apa, tadi? Ibu merongrong suamimu?" ucapnya sambil reflek menarik ujung kerudung Arumi hingga kepala Arumi ikut tertarik ke belakang."Sakit, Bu." rintih Arumi.Namun wanita tersebut seolah tak peduli. Ia justru menariknya semakin kasar. Kenyataannya selama ini gaji Ardi lebih banyak yang diberikan kepada mertuanya dan Santi, daripada untuk menafkahi ia dan Dinda. Arumi selalu diam, namun perlakuan mertuanya semakin lama justru semakin keterlaluan. Bu Hilda selalu memegang dalil yang mengatakan jika anak lelaki itu milik ibunya. Namun ia tak menyadari jika seorang suami juga harus bertanggung jawab pada istri dan anaknya."Mas Ardi juga punya kewajiban menafkahi aku dan Dinda, karena dia sudah berjanji di hadapan Allah SWT," ucap Arumi lirih. Hatinya hancur setiap kali mengingat pernikahannya dengan Ardi. Pria itu yang dulu telah berjanji untuk membahagiakannya. Namun kenyataannya pria itu lebih memprioritaskan keluarganya dibanding dengan dirinya dan Dinda."Sebentar lagi, Ardi akan menceraikanmu!" ucap perempuan paruh baya itu sambil menyeringai. Ia melepaskan cengkeramannya pada kerudung Arumi, lalu mendorong tubuhnya.Tubuh Arumi limbung dan hampir terjatuh. Untungnya tangan mungil Dinda berhasil menahannya.Arumi menggeleng lemah. Ia tak percaya jika Ardi rela menceraikan dirinya, setelah pernikahan yang sudah mereka lalui selama bertahun - tahun ini."Sudahlah, Bu. Tidak ada gunanya meladeni Mbak Arumi." Santi meraih lengan Ibunya, mengajaknya pulang. "Nanti aku hubungi Mas Ardi biar pulang kerja langsung ke rumah Ibu," ucapnya lagi.Wanita itu mengangguk setuju karena tidak ada gunanya ia ribut dengan Arumi. Toh cepat atau lambat Ardi pasti menceraikan Arumi. Hasutan yang ia lontarkan sedikit- sedikit mulai meracuni pikiran Ardi. Bu Hilda dan Santi melangkah meninggalkan rumah Arumi.Arumi menatap nanar kepergian mereka sembari memegangi perutnya yang terasa semakin nyeri. Melihat sang mama meringis kesakitan, Dinda terlihat begitu khawatir."Mama kenapa?" ucap Dinda."Mama ga apa-apa kok, Sayang." Arumi mencoba menyembunyikan rasa sakitnya dari Dinda. Tapi anak itu begitu kritis. Meski usianya baru delapan tahun, ia bisa mengerti dengan apa yang dialami oleh mamanya."Kita ke dokter ya, Ma," ucap Dinda sambil menatap mata sang mama."Ga perlu, Sayang. Nanti Mama beli obat pereda nyeri saja, pasti perut Mama langsung sembuh," ucap Arumi sambil tersenyum ke arah Dinda."Kalau begitu Dinda beliin ya, Ma."Bocah polos itu mengerjapkan matanya. Arumi menatap bocah itu dengan perasaan haru. Ia tahu Dinda begitu mengkhawatirkan dirinya. Hanya Dinda yang tahu jika Arumi menderita Koriokarsinoma. Bahkan Ardi tidak pernah tahu jika istrinya tengah sakit."Ga usah, Sayang. Apotiknya kan lewat jalan besar. Biar Mama beli sendiri," tolak Arumi."Ya udah, ayo beli obatnya sekarang. Dinda temani Mama beli obat," ucap anak itu, keras kepala. Akhirnya Arumi setuju pergi ke apotik bersama Dinda. Ia segera mengambil uang di dalam dompetnya yang tinggal selembar. Mereka berdua menyusuri jalan setapak kecil menuju jalan besar yang ada di ujung jalan. Apotik itu berada di seberang jalan besar. Baru saja Arumi memijakkan kakinya di jalan besar, tiba- tiba penglihatannya menjadi gelap. Tubuh Arumi luruh ke atas tanah dan Dinda tak mampu menahannya lagi."Mama! Mama kenapa? Mama bangun, Ma!" ucap Dinda sambil menggoyang- goyangkan badan mamanya yang tergeletak di atas tanah. Gadis kecil itu berharap agar mata sang mama segera terbuka. Namun mata Arumi tetap terpejam, sehingga membuat Dinda semakin histeris. Gadis itu berteriak memanggil mamanya sambil menangis di pinggir jalan itu.Sebuah mobil berwarna putih berhenti di samping Dinda. Beberapa detik kemudian seorang laki-laki muda yang memakai jas putih keluar dari dalam mobil. Ia berlari kecil menghampiri Dinda."Ada apa ini?""Tolong Mama saya, Om. Tiba-tiba mama saya pingsan." Dinda menatap penuh harap pada laki-laki tinggi dan gagah di depannya.Laki-laki itu segera mengambil tas kerjanya, dan memeriksa Arumi. Tak lama kemudian Arumi segera sadar. Perlahan ia membuka matanya, menatap Dinda dan dokter muda yang duduk di sampingnya."Tadi Mama pingsan, untung ada om itu yang menolong," ucap Dinda menunjuk ke arah dokter muda tadi. Dokter itu mendekat, lalu tersenyum ke arah Arumi."Syukurlah kamu sudah sadar." ujar laki-laki itu sambil menyunggingkan senyum manis, menunjukkan barisan gigi putihnya yang tersusun rapi."Andrean?" Arumi menaikkan alisnya ketika melihat laki-laki itu. Kenapa dunia begitu sempit, Arumi bisa dipertemukan lagi dengan teman lamanya, dan Andrean terlihat sangat berbeda. Rupanya teman SMA nya itu sekarang sudah menjadi seorang dokter.Andrean bercerita jika ia baru saja dipindah tugaskan ke Rumah sakit Harapan, menggantikan Dokter Luis yang sebentar lagi akan pensiun. Dokter Luis ad
"Pulanglah, Mas!" ucap Arumi lirih. Ia telah mengumpulkan keberanian untuk datang ke rumah sang mertua untuk menyusul suaminya. Ia menekan egonya untuk meminta maaf dan membujuk Ardi pulang. Lebih baik Arumi dihina oleh ibu mertuanya, daripada melihat Dinda selalu murung menanyakan kenapa ayahnya tidak pulang."Kenapa aku harus pulang?" ucap Ardi dengan acuh tak acuh. Ia sama sekali tidak mau menatap wajah sang istri. Hatinya jengkel setiap kali mengingat pertengkarannya dengan Arumi kemarin. Membayar uang kuliah Santi itu kan memang sudah kewajiban Ardi jadi kenapa ia harus membahasnya lagi?"Kamu masih marah ya Mas?" ucap Arumi gusar. "Maaf, Mas. aku tidak pernah bermaksud untuk melawanmu, tapi uang SPP Dinda memang harus segera dibayar," ucapnya lagi.Ardi mendengus. Bukannya Ardi tidak punya uang untuk membayar uang sekolah Dinda, tapi Ardi memang tidak mau membayarnya. Hasutan ibunya sudah meracuni pikiran. Ia begitu membenci anak itu, semenjak anak itu lahir ke dunia."Lagian ng
Arumi masih termenung di depan meja makan. Menatap sepiring nasi dan mangkuk sayur asem yang masih utuh. Perutnya terasa lapar, namun rasanya ia tak ingin makan.Dinda sudah tidur sejak sore tadi. Sepertinya anak itu kelelahan membantunya mengerjakan pekerjaan borongannya. Arumi memang mengambil kerja borongan membungkus snack, dari usaha makanan rumahan yang terletak tak jauh dari rumahnya. Hasilnya memang tidak seberapa. Arumi hanya mendapatkan upah Rp.15.000,- sehari.Namun bagi Arumi uang segitu sangat berarti. Arumi bisa menggunakannya untuk membeli sayuran dan uang jajan Dinda setiap harinya. Arumi mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding yang menempel di tembok sebelahnya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tidak ada tanda - tanda suaminya akan pulang. Sudah empat hari ini Ardi tidak pulang ke rumah. Bahkan menghubunginya pun juga tidak.Tiba-tiba Arumi merasakan kesepian yang sangat dalam. Ia begitu merindukan suaminya yang dulu. Bayangan hari - hari yang mere
"Jadi kau tidak percaya kepadaku, Mas?" Arumi duduk berhadapan dengan Ardi di ruang tamu. Mereka hanya berbicara berdua saja, sebab Dinda sudah disuruh masuk ke kamarnya oleh Arumi."Kenapa aku harus percaya kata-katamu? Buktinya jelas, kau yang mendorong ibuku!" Ardi berbicara tanpa mau menatap wajah istrinya. Pikirannya kacau, apalagi rasa cemburu kini menguasai hatinya."Memang aku yang mendorong Ibu. Tapi aku tidak sengaja melakukannya, karena Ibu ingin menyakiti Dinda." Arumi mencoba menjelaskan kejadian sebenarnya, tetapi sepertinya tidak ada lagi celah bagi Ardi untuk mempercayainya."Jangan lagi kau memutar balikan fakta, Arumi. Kau mendorong Ibu, karena kau tidak terima Ibu menegurmu telah berselingkuh dengan dokter itu!" Ardi meninggikan suaranya. Sepertinya amarahnya sedang berada di puncak."Bukan seperti itu kejadiannya, Mas!" Arumi menceritakan kejadian yang sebenarnya. Kala Bu Hilda memintanya untuk bercerai dengan Ardi. Sampai mengancamnya dan menyakiti Dinda, hingga
"Ternyata seperti ini kelakuanmu, jika suamimu tidak ada di rumah!" geram Ardi. Ia mengepalkan tangannya menahan amarah. Sorot matanya tajam, seperti sebuah kilatan pedang yang siap mencabik - cabik Arumi dan dokter Andrean.Ternyata apa yang dikatakan ibunya selama ini bukan hanya omong kosong. Hanya saja ia terlalu naif untuk mempercayainya. Cintanya pada Arumi membuatnya selalu menutup mata. Tapi hari ini ia melihat semuanya dengan mata kepalanya sendiri. Ia semakin yakin jika Dinda memang benar- benar bukan darah dagingnya. Seketika kebenciannya pada anak itu kembali menguasai hatinya."Mas, kamu salah sangka!" Arumi menarik tangannya dari genggaman tangan dokter Andrean. Lalu ia berdiri menghampiri suaminya."Aku tidak buta, Arumi!" ucapnya dingin."Dokter Andrean hanya …." Arumi ingin menjelaskan semuanya. Namun belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, Ardi sudah memotongnya."Ternyata benar yang dikatakan Ibu. Kamu hanyalah wanita murahan, yang merelakan tubuhmu disentuh oleh
"Mas Ardi pasti suka dengan makanan ini!" gumam Arumi.Arumi datang ke kantor Ardi, dengan menenteng rantang di tangan kanannya. Ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Ardi sekaligus memberi kejutan. Arumi membawakan makan siang spesial untuk Ardi. Kebetulan kemarin Arumi mendapat bonus dari Pak Kasim, pemilik pabrik tempat ia mengambil pekerjaan borongan. Dengan uang itu, Arumi bisa membeli daging dan memasak rendang kesukaan Ardi.Namun rupanya, justru Arumi yang dibuat terkejut oleh Ardi. Ia melihat Ardi tengah duduk di coffee shop depan kantornya bersama dengan seorang wanita. Kira- kira wanita itu seumuran dengannya. Namun penampilannya sangat menarik. Pakaiannya terlihat sangat modis. Rambut panjangnya tergerai rapi, menambah aura kecantikan wanita itu. Sangat berbeda dengan penampilan Arumi yang sedikit lusuh. Bukannya tidak ingin berpenampilan cantik, tapi Arumi harus menyesuaikan penampilannya dengan uang belanjanya. Bagaimana mungkin Arumi bisa berpenampilan cantik jika han
Arumi menghampiri Dinda yang tengah menonton televisi di ruang tengah."Anak Mama makan dulu, yuk!" ucap Arumi sembari mengalungkan lengannya ke pundak bocah itu."Nanti aja, Ma. Filmnya lagi seru!" sahut Dinda. Matanya awas menatap layar televisi yang menayangkan film animasi hewan kesayangan Dinda."Nontonnya kan bisa nanti lagi. Dinda belum makan lho dari siang, nanti Dinda sakit!" bujuk Arumi."Tapi, Ma, filmnya lagi seru. Sebentar lagi si Ochan akan bertemu dengan ayahnya!" sahut bocah polos itu. Tiba-tiba ekspresi wajah Dinda berubah. Dinda yang awalnya tertawa senang saat melihat film kesayangannya, tiba- tiba menjadi murung saat menyebut kata ayah. Arumi tahu Dinda sangat merindukan papanya."Kamu kenapa, Sayang?" Arumi menyentuh pipi bakpau bocah itu. Menatapnya penuh cinta kasih."Dinda kangen papa, Ma," ucap bocah itu. Matanya terlihat sayu menatap mata sang mama. "Kapan sih, papa akan pulang ke rumah ini?" ucapnya lagi.Arumi membalas tatapan Dinda. Ia menarik sudut bibirn
Bab. 9"Sah!" Jawaban para saksi yang hadir di acara pernikahan itu menggema, disertai dengan suara tawa bahagia yang mewarnai pesta pernikahan itu. Namun semua suara itu bagaikan sebuah belati tajam yang menusuk tepat di hati Arumi. Apalagi ketika gadis di samping Ardi tersenyum manis, meraih telapak tangan Ardi lalu menciumnya. Kemudian Ardi membalasnya dengan mencium lembut kening gadis itu.Ingatan Arumi kembali berputar pada peristiwa pernikahannya beberapa tahun yang lalu. Arumi melakukan hal yang sama persis dengan yang mempelai wanita itu lakukan. Bedanya hanyalah, ia tidak mengenakan kebaya mewah seperti wanita yang sekarang bersanding dengan suaminya itu. Ia hanya memakai baju gamis biasa dan tidak ada pesta apapun. Pernikahannya hanya dilakukan secara sederhana di panti asuhan, dengan mahar seadanya.Bahkan Hilda dan keluarganya pun tak hadir dalam pernikahannya. Ardi hanya datang bersama seorang pamannya. Pernikahannya memang begitu menyedihkan, tapi saat itu Arumi bahagi