Share

5. Tuduhan Selingkuh

"Jadi kau tidak percaya kepadaku, Mas?" Arumi duduk berhadapan dengan Ardi di ruang tamu. Mereka hanya berbicara berdua saja, sebab Dinda sudah disuruh masuk ke kamarnya oleh Arumi.

"Kenapa aku harus percaya kata-katamu? Buktinya jelas, kau yang mendorong ibuku!" Ardi berbicara tanpa mau menatap wajah istrinya. Pikirannya kacau, apalagi rasa cemburu  kini menguasai hatinya.

"Memang aku yang mendorong Ibu. Tapi aku tidak sengaja melakukannya, karena Ibu ingin menyakiti Dinda." Arumi mencoba menjelaskan kejadian sebenarnya, tetapi sepertinya tidak ada lagi celah bagi Ardi untuk mempercayainya.

"Jangan lagi kau memutar balikan fakta, Arumi. Kau mendorong Ibu, karena kau tidak terima Ibu menegurmu telah berselingkuh dengan dokter itu!" Ardi meninggikan suaranya. Sepertinya amarahnya sedang berada di puncak.

"Bukan seperti itu kejadiannya, Mas!" Arumi menceritakan kejadian yang sebenarnya. Kala Bu Hilda memintanya untuk bercerai dengan Ardi. Sampai mengancamnya dan menyakiti Dinda, hingga ia reflek mendorongnya. "Tolonglah, Mas. Kali ini saja, percaya kepadaku." Suara Arumi terdengar memelas, namun hal itu tak membuat amarah Ardi menjadi reda. Ia justru menggebrak meja.

"Cukup, Arumi! Jangan lagi kau fitnah ibuku seperti ini. Kalau kau memang ingin bercerai denganku, aku akan mengabulkan permintaanmu!" Ardi berdiri, hendak pergi. Namun Arumi segera meraih lengan Ardi.

"Mas, tolong jangan pergi lagi. Kali ini saja, kumohon percayalah padaku. Aku tidak pernah berselingkuh." Arumi menarik nafas panjang, untuk meredakan emosinya. Ia akan berterus terang pada suaminya tentang penyakitnya. Ia yakin Ardi akan mengerti keadaannya.

"Kalau kau memang tidak berselingkuh, kenapa kalian bisa seakrab itu?" Ardi tidak percaya dengan kata- kata Arumi. Bahkan sekilas melihat saja, mereka nampak seperti sebuah keluarga bahagia. "Atau jangan-jangan memang benar yang dikatakan Ibu. Dinda itu bukan anakku. Jangan-jangan Dinda anak dokter itu!" ucapnya lagi.

"Plak!" Reflek Arumi melayangkan tamparan ke pipi kanan suaminya. Ia benar-benar tidak menyangka suaminya memandangnya sehina itu. Akhirnya Arumi tahu kenapa sikap Ardi pada Dinda tidak pernah baik. Ternyata selama ini Ardi selalu menganggap Dinda bukanlah darah dagingnya.

Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang ibu, selain melihat anak kandungnya tidak diakui oleh ayahnya sendiri. Kalau hanya dituduh berselingkuh oleh Ibu mertuanya, Arumi masih bisa tahan. Tapi kali ini suaminya sendiri yang menuduhnya, bahkan menganggap anaknya adalah anak haram. Rasanya Arumi sudah tidak sanggup lagi mempertahankan pernikahannya dengan Ardi.

"Jadi sehina itu aku dimatamu, Mas?" ucap Arumi. Ia mengurungkan niatnya untuk jujur mengenai penyakitnya. Karena percuma ia berbicara jujur, Ardi juga tidak akan percaya padanya.

"Ya, kenyataannya memang kau ini perempuan sundal. Tukang selingkuh!"

"Lalu apa maumu?" Arumi menatap tajam mata sang suami.

"Aku akan segera menceraikanmu!" ucap Ardi yang langsung menyambar kunci mobilnya, lalu kembali pergi meninggalkan rumahnya.

Arumi hanya bisa menatap nanar kepergian sang suami. Rasanya ia sudah putus asa untuk tetap mempertahankan rumah tangganya.

Keesokan harinya, seperti bisa Arumi menyiapkan sarapan pagi untuk Dinda. Dinda anak yang mandiri, di usianya yang baru menginjak delapan tahun, ia sudah bisa mandi, memakai baju, dan menyiapkan jadwal pelajarannya sendiri.

Gadis kecil itu menuju ke meja makan, sambil menenteng tas sekolahnya.

"Wow, Mama masak apa pagi ini?" ucap gadis itu sambil mengendus-endus. Masakan mamaya harum sekali, membuat perut Dinda jadi keroncongan. Bocah polos meraih kursi dan duduk menghadap ke meja makan.

"Mama bikin nasi goreng kesukaanmu, Sayang." Arumi meletakkan sepiring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi di atasnya.

"Wow, nasi goreng!" Dinda  terlihat sangat senang karena mamanya masak makanan kesukaan Dinda. "Nasi goreng buatan Mama memang tiada duanya," ucap Dinda lagi memuji masakan Ibunya. Gadis kecil itu meraih sendok, hendak memakannya.

Namun gerakan tangannya terhenti ketika melihat kursi kosong di hadapannya.

"Papa  ga pulang lagi, Ma? Papa marah  sama kita, karena  kita kemarin nyakitin Nenek?" ucap Dinda. Wajah bocah itu terlihat begitu murung. Arumi tahu, Dinda sangat merindukan ayahnya.

"Enggak kok, Papa ga marah sama kita. Papa hanya menginap sementara di rumah Nenek. Papa harus menjaga Nenek, yang sedang sakit." Arumi mengelus rambut gadis kecil kesayangannya itu.

"Syukurlah!" Dinda menghembuskan nafas kasar, merasa lega jika papanya tidak marah pada mereka. "Dinda takut Papa marah dan pergi meninggalkan kita. Dinda tidak mau  seperti temanku yang tidak punya ayah!" ucapnya lagi. Anak itu terus saja nyerocos menceritakan ayah temannya yang sudah meninggal.

Arumi menarik nafas panjang, mendengar cerita Dinda. Hatinya terusik oleh kata-kata bocah polos itu. Tekadnya untuk segera bercerai dari Ardi seketika runtuh, begitu mendengar perkataan Dinda.

Meski selama ini Dinda tidak pernah mendapat kasih sayang dari sang ayah, tapi Arumi bisa melihat betapa sayangnya Dinda pada Ardi. Arumi tidak akan pernah tega memisahkan Dinda dari ayahnya.

Tiba-tiba Arumi merasakan nyeri yang begitu hebat di perutnya. Namun Arumi mencoba menahan rasa sakit itu. Arumi tidak ingin terlihat kesakitan di depan Dinda. Ia hanya memegang perutnya, dan menyeka keringat dingin yang  mulai mengucur dari dahinya.

"Mama kenapa?" ucap Dinda yang mulai curiga melihat keringat yang bercucuran dari kening Arumi.

"Mama ga apa-apa kok." Arumi masih mencoba tersenyum, agar Dinda tidak curiga. Namun rasa sakit itu semakin tak tertahankan. Akhirnya pandangannya menjadi gelap, dan tubuh Arumi jatuh tersungkur ke atas lantai.

Melihat, tubuh mamanya yang tersungkur di atas lantai Dinda langsung menghentikan makannya. Ia begitu panik. Namun ia tak tahu harus melakukan apa. Ingin meminta tolong, ia bingung harus minta tolong pada siapa. Tetangga sebelahnya, yang seorang pedagang pasti sudah pergi ke pasar.

Dinda meraih gawai sang Mama untuk menghubungi ayahnya. Namun berulang kali Dinda menelpon. Ayahnya tetap tak mau mengangkat teleponnya. Satu- satunya orang yang bisa ia harapkan hanyalah dokter Andrean.

Tak perlu membuang waktu lagi, Dinda segera menghubungi dokter Andrean.

"Halo, dokter Andrean disini. Ada yang bisa saya bantu?" suara dokter Andrean yang humoris terdengar dari ujung telepon. Namun suaranya berubah menjadi serius kala mendengar suara Dinda yang panik 

"Dok … ini Dinda! Tolong Mama Dinda, Dok! Mama Dinda pingsan. Dinda tidak tahu harus bagaimana. Disini tidak ada siapa-siapa!" 

"Dinda, jangan panik 'ya. Dinda kasih tahu Dokter alamat rumah  Dinda. Dokter akan segera kesana untuk menolong Mama Dinda!" 

Dinda segera mengirimkan alamat rumahnya. Tak lama kemudian, Dokter Andrean pun tiba di rumah Arumi. Ia segera mengangkat tubuh Arumi lalu meletakkannya ke atas sofa. Dokter Andrean mengoleskan minyak di hidung Arumi, hingga Arumi akhirnya sadar.

Perlahan wanita itu membuka matanya. Ia mendapati Dinda dan dokter Andrean tengah duduk di samping sofa tempatnya berbaring.

"Dokter!" Arumi mencoba mendudukkan badannya dan menyandarkannya pada sandaran sofa.

"Arumi, aku sudah membaca riwayat penyakitmu dari data yang diberikan dokter Luis. Kamu harus segera dioperasi. Sebelum penyakitmu itu semakin parah." Dokter Andrean menatap serius pada Arumi.

"Saya masih belum mempunyai cukup uang untuk melakukan operasi itu, Dok." Arumi menundukkan kepalanya. Disatu sisi, ia ingin segera sembuh. Ia tidak ingin melihat Dinda terus mengkhawatirkan keadaannya terus menerus, tapi disisi lain ia juga tidak mempunyai cukup uang untuk melakukan operasi itu. Karena Biaya operasi itu tidaklah murah.

"Kalau kamu mau, aku bisa membantumu!" Dokter Andrean, meraih telapak tangan Arumi, meyakinkan untuk menerima bantuannya.

Disaat bersamaan Ardi sudah berdiri di depan pintu, menatap tajam pada Arumi dan dokter Andrean.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Zi Aldina
sama adrean aja sih
goodnovel comment avatar
Alnayra
udah paling cocok sama adrean aja deh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status