Share

Bab. 7

"Mas Ardi pasti suka dengan makanan ini!" gumam Arumi.

Arumi datang ke kantor Ardi, dengan menenteng rantang di tangan kanannya. Ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Ardi sekaligus memberi kejutan. Arumi membawakan makan siang spesial untuk Ardi. Kebetulan kemarin Arumi mendapat bonus dari Pak Kasim, pemilik pabrik tempat ia mengambil pekerjaan borongan. Dengan uang itu, Arumi bisa membeli daging dan memasak rendang kesukaan Ardi.

Namun rupanya, justru Arumi yang dibuat terkejut oleh Ardi. Ia melihat Ardi tengah duduk di coffee shop depan kantornya bersama dengan seorang wanita. Kira- kira wanita itu seumuran dengannya. Namun penampilannya sangat menarik. Pakaiannya terlihat sangat modis. Rambut panjangnya tergerai rapi, menambah aura kecantikan wanita itu.

Sangat berbeda dengan penampilan Arumi yang sedikit lusuh. Bukannya tidak ingin berpenampilan cantik, tapi Arumi harus menyesuaikan penampilannya dengan uang belanjanya. Bagaimana mungkin Arumi bisa berpenampilan cantik jika hanya lima ratus ribu, uang belanja yang diberikan Ardi kepadanya.

"Kamu menuduhku selingkuh, tapi ternyata kamu sendiri yang bermain api di belakangku, Mas," gumamnya lirih.

Mata Arumi mulai memerah. Ketika gelombang rasa cemburu itu datang. Hatinya terasa perih saat melihat betapa bahagianya mereka. Wajah Ardi nampak sumringah, ia terus menyunggingkan senyum manis pada wanita itu. Bahkan beberapa kali Ardi menggenggam jemari lentik wanita itu.

Tiba- tiba Arumi teringat dengan kata-kata Bu Sri. Benarkah Ardi akan menikah lagi. Apa wanita itu yang akan dinikahi Ardi?

Dengan berat, Arumi menyeret langkah kakinya menghampiri mereka.

"Mas, jadi kamu benar-benar sudah melupakan aku dan Dinda?" ucap Arumi.

"Arumi …! Ngapain kamu kemari?" Ardi beranjak dari tempat duduknya, lalu menghampiri Arumi yang masih berdiri memegang rantang di tangannya.

"Mas aku …." Baru saja Arumi hendak menyampaikan maksud kedatangannya, Ardi sudah memotong kata-katanya.

"Kamu kalau ke kantorku yang rapi sedikit kenapa?" Ardi mendengus kesal sebelum melanjutkan kata-katanya, "Lihat pakaian dan kerudung lusuhmu ini, apa kau ingin membuatku malu?" Ardi memegang baju Arumi dengan ujung jarinya, matanya menatap istrinya itu dengan jijik.

Hati Arumi hancur berkeping-keping, mendengar hinaan dari suaminya. Arumi memperhatikan penampilannya sendiri. Memang pakaian Arumi terlihat sedikit lusuh. Tapi tidak seharusnya Ardi berkata seperti itu pada istrinya sendiri. Apalagi Ardi memang tidak pernah membelikan pakaian bagus untuknya.

Jangankan untuk membeli pakaian baru. Uang belanjanya, untuk makan sebulan saja kurang. Ia telah merelakan sebagian nafkah yang seharusnya diberikan Ardi padanya, untuk ibu mertua dan adik iparnya. Namun nyatanya hanya penghinaan yang ia dapatkan.

"Maaf, Mas. Kau tahu sendiri kalau aku memang tidak punya baju bagus," ucap Arumi lirih.

"Ya, kalau begitu jangan datang ke kantorku!" Ardi masih saja membentak Arumi.

Arumi menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya kasar. Arumi menyodorkan rantang berisi nasi dan rendang masakannya kepada Ardi. "Aku kesini ingin mengantar makan siang untukmu."

"Aku sudah makan siang! Bawa pulang saja lagi makanan ini!" Ardi kembali mendorong rantang makanan itu ke arah Arumi.

"Mas, apa kau benar-benar tidak mau pulang ke rumah?" tanya Arumi dengan suara lembutnya.

Ardi tak menjawab. Ia hanya memutar bola matanya malas. Sepertinya ia memang enggan untuk pulang ke rumah. Hatinya masih kesal setelah memergoki Arumi dan dokter Andrean kemarin.

"Mas, aku dan dokter Andrean tidak ada hubungan apa-apa?" Pelan-pelan Arumi mencoba menjelaskan apa yang terjadi, agar tidak ada lagi kesalahpahaman. "Dinda menelpon dokter itu karena dia panik saat melihat aku pingsan," lanjutnya.

Ardi tetap tak bergeming. Sepertinya ia sudah menutup mata dan telinganya untuk Arumi.

"Mana mungkin aku membiarkan Dinda berada di sana, kalau memang aku benar-benar selingkuh. Tolong percaya padaku, Mas," ucap Arumi lirih.

"Ya sudah, aku percaya padamu. Tapi sebaiknya kamu pulang sekarang. Aku tidak mau teman-temanku melihatmu!" tegas Ardi.

Lagi-lagi, kata-kata Ardi membuatnya sakit hati. Dulu suaminya mengejar cintanya mati-matian. Memperjuangkan cinta mereka di tengah penolakan yang Bu Hilda lakukan. Tapi sekarang, bahkan suaminya malu memperlihatkan wajah istrinya ke teman- temannya.

"Baik, Mas. Aku akan pulang. Tapi ada yang ingin aku tanyakan padamu," Arumi menjeda kalimatnya, "Apa benar, kamu akan menikah lagi?"

"Apa wanita itu yang akan kau nikahi lagi, Mas?"

Arumi masih berdiri mematung, menunggu jawaban yang keluar dari mulut Ardi. Ia berharap apa yang dikatakan Bu Sri tidak benar. Ia tahu betul bagaimana sikap mertuanya, yang sangat membencinya itu. Bisa saja yang dikatakan Bu Sri itu hanya harapan Bu Hilda saja. Ia ingin memastikan jawaban Ardi.

"Siapa yang bilang aku akan menikah lagi?" Ardi justru tertawa, saat matanya melihat wajah murung Arumi.

"Aku mendengarnya dari Bu Sri. Ibumu mengatakan itu pada Bu Sri. Apa benar yang dikatakannya, Mas?" Arumi menautkan kedua alisnya, menatap suaminya dengan penuh harap. Ia berharap suaminya akan membantah semua itu.

"Arumi … Arumi, kamu seperti baru tahu sifat Ibuku," Ardi terkekeh. "Aku dan dia hanyalah teman kerja," ucapnya lagi sembari menunjuk ke arah wanita yang tadi duduk satu meja dengannya.

Arumi menatap mata suaminya, seolah ingin memastikan ucapan suaminya.  Tiba-tiba Arumi merasakan kehangatan yang mengalir dari tatapan suaminya. Sejenak, kebekuan hati Arumi mulai mencair.

"Arumi, sekarang kamu pulang ya! Nanti sore aku akan pulang ke rumah," ucap Ardi sembari mengelus kepala Arumi. Arumi mengangguk pelan. Ia  mencium takzim telapak tangan  suaminya, lalu berbalik badan. Meski perasaannya kecewa karena Ardi menolak makan siang yang dibawakannya, tapi di sisi lain Arumi bahagia. Ardi akan pulang ke rumah sore nanti. Dinda pasti akan sangat senang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status