"Kok bisa sih lo nikah sama kakak ipar lo sendiri?" Zahra berkata dengan mata yang masih membulat kaget. "Lo sama Calista kan adek kakak?"
"Bukan kandung," jawab Jihan dengan wajah sendunya."Oke ... oke, gue tau. Tapi kenapa bisa dia minta lo nikahin suaminya? Gila sih menurut gue, macam novel yang gue baca aja." Zahra mengusap wajahnya dengan kasar.Kemudian Jihan pun menjelaskan kepada Zahra kenapa sampai Calista memintanya untuk menikah dengan Fadli, sebab wanita itu kecelakaan, sementara mertuanya tidak mengetahui tentang kecelakaan tersebut, dan rahim Calista harus diangkat dan dia sudah tidak bisa mengandung lagi.Dia hanya bisa pasrah, terlebih saat ini yang membiayai kuliahnya dan juga pengobatan ibunya adalah Calista dan Fadli, sementara biaya itu sangat mahal."Tunggu deh! Jadi lo melakukan ini demi Ibu loh, begitu?""Iya, mau bagaimana lagi? gue nggak punya pilihan lain," jawab Jihan sambil menundukkan kepalanya.Zahra langsung memeluk tubuh sahabatnya, dia tidak bisa membayangkan bagaimana berada di posisi Jihan yang tertindas dan terjepit dalam sebuah masalah, sehingga tidak ada jalan keluar selain menikah dengan kakak iparnya sendiri."Terus nanti kalau semisalnya Ibu lo udah sadar, apa lo juga akan memberitahunya?" Zahra menatap lekat ke arah Jihan, dan wanita itu menggelengkan kepalanya."Tidak. Mana mungkin aku bercerita kepada Ibu bisa-bisa dia sangat terkejut dan mungkin akan marah kepadaku dan juga Kak Calista. Baginya pernikahan itu sakral, bukan sebuah main-main," jelas Jihan.Kemudian mereka pun turun untuk menuju ruangan rawat inap di mana Ibu Kulsum dirawat, dan Jihan langsung melakukan tugasnya yaitu mengelap tubuh sang ibu sementara Zahra memesankan makanan untuk mereka.Setelah dari rumah sakit, Jihan diantar oleh Zahra untuk pulang ke rumah. "Jadi ini tempat tinggal lo sekarang?" tanya Zahra."Iya, ini tempat tinggal aku bersama dengan mas Fadli. Ayo masuk!" ajak Jihan, kemudian mereka turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah.Akan tetapi saat Jihan masuk dia mendapati Fadli yang baru saja mengambil air dingin di dapur, Zahra yang melihat itu pun merasa tak enak. "Han, kayaknya gue pulang aja. Besok gue jemput lo buat ke kampus ya.""Ya udah, makasih ya kamu udah nganterin aku." Kemudian Zahra pun berpamitan.Dia menatap tak suka ke arah Fadli, karena pria itu sangat dingin dan terkesan arogan. Namun Zahra juga tidak ingin ikut campur dengan urusan rumah tangga Jihan, selagi wanita itu tidak meminta bantuan kepadanya."Dari mana kamu? Dudah malam kamu baru pulang? Apakah wanita berhijab sepertimu itu, memang suka keluyuran." sindir Fadli sambil duduk di kursi yang ada di ruang tamu."Aku baru dari rumah sakit menengok keadaan ibu," jawab Jihan.Dia tidak menyangka jika Fadli akan berada di sana, tadinya Jihan pikir pria itu akan tinggal di rumah kedua orang tuanya dan malam ini tidak ke rumah."Aku ke sini untuk meminta jatahku, karena setiap hari aku harus menanam benih. Jika tidak, bagaimana akan cepat jadi," ujar Fadli dengan nada yang dingin. "Sebaiknya kau bersihkan dirimu dulu! Baru kau persiapkan untuk memuaskanku." Pria itu berkata tanpa menoleh ke arah Jihan sedikit."Iya Mas," jawab Jihan sambil beranjak dan masuk ke dalam kamar. Dia meremas dadanya yang terasa begitu sakit saat mendapatkan perlakuan yang menurutnya seperti wanita rendah.Setelah selesai membersihkan diri, Jihan keluar dari kamar mandi dan ternyata Fadli sudah berada di kamar. Wanita itu pun mendekat dan dia masih menggunakan handuk sebatas dada, membuat Fadli menekuk ludahnya dengan kasar.'Dia memang lebih cantik, bahkan tubuhnya lebih berisi. Apalagi di bagian tertentu.' batin Fadli yang sudah tergiur, kemudian dia menarik tangan Jihan dan mulai merebahkannya di atas ranjang.Satu tangannya membuka handuk, lalu dia mulai menyatukan bibir mereka. Jihan hanya bisa menikmati dan memejamkan matanya, sementara Fadli seperti sudah dikuasai setan, dia melakukan aksinya sebagai seorang suami.Tidak Fadli pungkiri jika tubuh Jihan memang sangat nikmat. 'Aku bahkan ingin lagi dan lagi melakukannya, tapi harus terbatas dengan waktu, karena kalau pulang kemaleman bisa-bisa Papa curiga sama aku.' batin Fadli.Setelah selesai dia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu keluar dengan pakaian yang sudah rapi.Tanpa memperdulikan Jihan, Fadli pergi begitu saja. Sementara Jihan meneteskan air mata, dia seperti wanita yang tak pernah dianggap dan tak pernah dihargai sedikitpun oleh Fadli."Aku memang seorang alat untuk mencetak anak, tapi aku juga ingin dihargai." batin Jihan.Saat dia akan beranjak dari ranjang untuk membersihkan sisa-sisa pertempuran mereka, tiba-tiba ponselnya berdenting, dan ternyata sebuah pesan masuk ke dalamnya. Setelah membaca pesan itu, hati Jihan semakin teriris sakit.BERSAMBUNG.....Pagi hari Jihan menyiapkan makanan untuknya sendiri. Dia mencoba sesantai mungkin menikmati hidupnya.Tiba-tiba saja, ada suara cempreng seseorang yang mengagetkannya."Good morning my bestie!" seru Zahra saat masuk ke ruang makan."Good morning," jawab Jihan sambil tersenyum."Wah! Lo mau masak apa?""Mau masak nasi goreng seafood sama ayam goreng.""Ya udah, kalau gitu gue bantuin ya?"Zahra pun mengupas bawang dan juga bumbu yang lainnya, sementara Jihan menyiapkan nasi dan juga ayam, kemudian dia mengungkep ayam tersebut untuk digoreng."Oh iya, nanti siang lo ikut kan halal bihalal di kampus, kan?" Zahra menatap ke arah sahabatnya yang sedang mengaduk ayam di wajan."Insya Allah gue hadir kok. Lagian nggak enak juga kan kalau gue nggak hadir," jawab Jihan, sebab dia adalah salah satu panitia di sana."Syukur alhamdulillah, dan lo tau nggak ada kabar yang mengejutkan juga?""Apa itu?" Jihan melirik dari ekor matanya."Katanya, Pak Afgan juga mau datang ke sana.""Buat apaan?" kage
Happy reading...."Wow! Wow! Hebat sekali ya, pagi-pagi sedang sarapan. Hidup enak tanpa harus memikirkan tentang susahnya hidup? Tidak heran sih, kamu juga pasti memanfaatkan kesempatan ini agar bisa hidup enak kan?" sindir Calista sambil duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan, sambil menatap sinis sekarang Jihan.Mendengar perkataan dari kakaknya sekaligus madunya, Jihan meneguk air putih, kemudian dia mengelap mulutnya dengan tisu.Sebenarnya Jihan merasa hubungannya dan juga Calista merenggang saat mereka menjadi madu, akan tetapi mau bagaimana lagi? Itu semua permintaannya Calista, jadi di sini Jihan tidak bisa disalahkan karena bukan kemauan dirinya."Kenapa Kakak berbicara seperti itu?""Memangnya apa yang ku bicarakan salah ya? Bukannya itu benar? Kamu menikah dengan Mas Fadli karena memanfaatkannya juga bukan? Sudahlah, jangan munafik! Wanita berhijab itu nyatanya banyak kok yang munafik. Dan gara-gara kamu! Mas Fadli tidak pulang ke rumah semalaman. Oh, atau jangan
Zahra menganga, begitu pula dengan Jihan. Dia tidak menyangka jika Calista bisa sejahat itu. "Lo nggak papa?" tanya Jihan kepada sahabatnya."Nggak papa, cuma baju gue aja basah sama jilbab," jawab Zahra sambil membersihkan air di jilbabnya.Jihan menggeser kursi, kemudian dia mendekat ke arah Calista."Maksud Kakak apa sih datang ke sini marah-marah, menuduh aku yang tidak-tidak, hanya untuk membuat keributan? Kalau kakak ke sini hanya untuk melakukan itu, lebih baik pergi Kak! Aku juga mau ke kampus sekalian mau ke rumah sakit. Dan jangan pernah Kakak menuduhku menghasut Mas Fadli untuk pergi ke sini! Apa Kakak lupa, bahwa Kakak yang meminta aku untuk menikahi Mas Fadli, sebab Kakak tidak bisa hamil? Lupa!" tekan Jihan yang sudah capek dan Jengah dengan sikap sang kakak.Calista hendak menampar wajah Jihan saat mendengar ucapan wanita itu, yang mengatakan jika dirinya tidak bisa hamil.Namun belum juga tangan itu sampai di pipi mulus Jihan, wanita tersebut sudah menahannya. Dia mena
Happy reading....Sesampainya Jihan dan juga Zahra di rumah sakit, mereka melihat keadaan ibu Kulsum. Dan kebetulan di sana ada dokter yang sedang memeriksa keadaannya."Bagaimana Dok keadaan ibu saya? Apa sudah ada perubahan?" tanya Jihan dengan raut wajah yang sedih saat menatap ke arah sang ibu yang sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit."Sejauh ini belum ada perubahan apapun, Mbak," jawab dokter itu sambil menatap ke arah Jihan.Jihan menghela nafas dengan pelan, kemudian dia mendekat ke arah sang Ibu, menggenggam tangannya lalu mengecupnya dengan lembut.Besar harapan Jihan agar ibunya cepat sembuh dan pulih seperti sedia kala. Sejak Ibu Kulsum koma, Jihan seperti kehilangan sebuah sandaran. Di mana biasanya Ibu Kulsum yang selalu menantinya pulang saat kuliah.Selalu mengelus kepalanya saat Jihan akan tertidur dan selalu merengkuh tubuhnya di saat dia sedang bersedih. Namun, sekarang semua itu seakan hilang dalam hitungan detik."Ibu cepatlah bangun! Jihan begitu merinduk
Saat acara sudah selesai, saat ini semua sedang membereskan tempat yang sedikit berantakan, di mana banyak Aqua gelas yang berserakan.Jam menunjukkan pukul 16.00 sore, Jihan ingat di jika ia belum shalat ashar. Kemudian wanita tersebut pun pamit kepada yang lain untuk menunaikan kewajibannya terlebih dahulu."Hey! Gue ikut. Jangan sendirian, ayo!" Zahra menarik tangan Jihan untuk menuju mushola."Eh, tadi gue lihat Pak Afgan tahu!""Oh ya! Di mana? Kok gue nggak lihat sih?" jawab Jihan"Gimana lo mau liat? Mata lo tuh nggak jelalatan, nggak kayak gue. Kalau gue itu kayak mata elang, semua pasti kelihatan. Bahkan yang sekecil apapun pasti nampak di mata gue.""Iya deh, iya, percaya. Ya udah yuk kita ambil wudhu dulu! Nanti keburu habis waktunya kalau denger ocehan lo," kekeh Jihan."Eh, tapi sedari tadi Pak Afgan terus melirik ke arah lo tahu! Apalagi saat lo melantunkan ayat suci Al-quran? Dia sampai tidak berkedip," ujar Zahra sambil memakai mukena."Udah jangan bergosip! Mau shalat
Happy reading...."Mas Fadli," lirih Jihan yang tak menyangka jika Fadli ada di sana.Pria itu berjalan mendekat ke arah Jihan dan juga Afgan. Kebetulan Fadli adalah donatur di sana, dan dia tadi telat datang ke acara halal bihalal soalnya ada pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan.Saat mengetahui jika acara halal bihalal ada di kampus istri keduanya, ebtah kenapa Fadli ingin sekali datang. Dia ingin mengetahui bagaimana Jihan jika berada di dalam kampus.Dan saat sampai di sana dia mencari Jihan dan bertanya kepada beberapa anak kampus. Dan ternyata Jihan sedang berada di mushola.Namun, saat pria itu sampai di sana dia melihat Jihan sedang mengobrol dengan seorang pria. Entah kenapa Fadli merasa tak suka, seperti ada sesuatu yang terbakar di dalam hatinya."Siapa dia?" tanya Fadli dengan wajah yang ketus."Dia--""Saya Afgan, temannya Jihan. Anda ini siapa ya?" tanya Afgan dengan raut wajah tak senang saat melihat Fadli."Saya adalah su--""Dia adalah kakak iparku, aku lupa bilang
Jihan menerima tisu tersebut, lalu menghapus air matanya. Dan setelah itu tidak ada pembicaraan lagi. "Saya mau ke rumah sakit!" pinta Jihan setelah beberapa saat mereka terdiam.Akan tetapi Fadli tidak melajukan mobilnya menuju rumah sakit, hingga membuat Jihan merasa jika mereka akan pulang ke rumah."Saya mau minta diantarkan ke rumah sakit, Mas. Kenapa kita belok ke sini?""Saya harus mengerjakan pekerjaan dulu di kantor, nanti kita pulang ke rumah bersama.""Tapi--""Saya tidak suka dibantah!"Akhirnya Jihan pun hanya diam, karena membantah suami juga hukumnya dosa. Setelah mereka sampai di kantor, keduanya masuk ke dalam lift menuju lantai atas di mana ruangan Fadli berada.Dan saat sampai di sana, dia bertemu dengan sekretaris Fadli.Jam menunjukkan pukul 05.00 sore Jihan merasa canggung karena di ruangan itu hanya ada dia dan juga Fadli. Dirinya bingung harus melakukan apa di sana, sementara dia saat ini hanya duduk di sofa saja.'Ya ampun! Aku kayak kambing congek, hanya diam
Happy reading.....Fadli menatap ke arah orang yang saat ini tengah berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang tajam juga kesal."Papa! Papap kok ke sini tidak ngabarin aku dulu?" tanya Fadli dengan wajah yang tegang.Ya, yang datang adalah Papa Zahid. Beliau ingin membicarakan perihal bisnis dengan Fadli, tapi saat beliau akan masuk ke dalam ruangan putranya, tiba-tiba saja ditahan oleh Caca."Kenapa kamu mau minta Caca untuk menahan Papa? Apa yang kamu sembunyikan sesuatu di sini, hah?" kesal Papa Zahid sambil menatap ke arah seisi ruangan milik Fadli."Apa sih yang Papa bicarakan? Fadli nggak menyimpan siapapun. Kan Papa lihat sendiri, tidak ada siapa-siapa di sini," jawabannya dengan wajah yang terlihat begitu gugup.Walaupun dia mencoba untuk bersikap biasa saja, namun sangat nampak jelas bahwa saat ini dirinya tengah dilanda kepanikan, seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari bapak Zahid.Pria itu mengelilingi ruangan tersebut sambil menatap lekat pada putranya. Dia berhenti