Zahra menganga, begitu pula dengan Jihan. Dia tidak menyangka jika Calista bisa sejahat itu. "Lo nggak papa?" tanya Jihan kepada sahabatnya."Nggak papa, cuma baju gue aja basah sama jilbab," jawab Zahra sambil membersihkan air di jilbabnya.Jihan menggeser kursi, kemudian dia mendekat ke arah Calista."Maksud Kakak apa sih datang ke sini marah-marah, menuduh aku yang tidak-tidak, hanya untuk membuat keributan? Kalau kakak ke sini hanya untuk melakukan itu, lebih baik pergi Kak! Aku juga mau ke kampus sekalian mau ke rumah sakit. Dan jangan pernah Kakak menuduhku menghasut Mas Fadli untuk pergi ke sini! Apa Kakak lupa, bahwa Kakak yang meminta aku untuk menikahi Mas Fadli, sebab Kakak tidak bisa hamil? Lupa!" tekan Jihan yang sudah capek dan Jengah dengan sikap sang kakak.Calista hendak menampar wajah Jihan saat mendengar ucapan wanita itu, yang mengatakan jika dirinya tidak bisa hamil.Namun belum juga tangan itu sampai di pipi mulus Jihan, wanita tersebut sudah menahannya. Dia mena
Happy reading....Sesampainya Jihan dan juga Zahra di rumah sakit, mereka melihat keadaan ibu Kulsum. Dan kebetulan di sana ada dokter yang sedang memeriksa keadaannya."Bagaimana Dok keadaan ibu saya? Apa sudah ada perubahan?" tanya Jihan dengan raut wajah yang sedih saat menatap ke arah sang ibu yang sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit."Sejauh ini belum ada perubahan apapun, Mbak," jawab dokter itu sambil menatap ke arah Jihan.Jihan menghela nafas dengan pelan, kemudian dia mendekat ke arah sang Ibu, menggenggam tangannya lalu mengecupnya dengan lembut.Besar harapan Jihan agar ibunya cepat sembuh dan pulih seperti sedia kala. Sejak Ibu Kulsum koma, Jihan seperti kehilangan sebuah sandaran. Di mana biasanya Ibu Kulsum yang selalu menantinya pulang saat kuliah.Selalu mengelus kepalanya saat Jihan akan tertidur dan selalu merengkuh tubuhnya di saat dia sedang bersedih. Namun, sekarang semua itu seakan hilang dalam hitungan detik."Ibu cepatlah bangun! Jihan begitu merinduk
Saat acara sudah selesai, saat ini semua sedang membereskan tempat yang sedikit berantakan, di mana banyak Aqua gelas yang berserakan.Jam menunjukkan pukul 16.00 sore, Jihan ingat di jika ia belum shalat ashar. Kemudian wanita tersebut pun pamit kepada yang lain untuk menunaikan kewajibannya terlebih dahulu."Hey! Gue ikut. Jangan sendirian, ayo!" Zahra menarik tangan Jihan untuk menuju mushola."Eh, tadi gue lihat Pak Afgan tahu!""Oh ya! Di mana? Kok gue nggak lihat sih?" jawab Jihan"Gimana lo mau liat? Mata lo tuh nggak jelalatan, nggak kayak gue. Kalau gue itu kayak mata elang, semua pasti kelihatan. Bahkan yang sekecil apapun pasti nampak di mata gue.""Iya deh, iya, percaya. Ya udah yuk kita ambil wudhu dulu! Nanti keburu habis waktunya kalau denger ocehan lo," kekeh Jihan."Eh, tapi sedari tadi Pak Afgan terus melirik ke arah lo tahu! Apalagi saat lo melantunkan ayat suci Al-quran? Dia sampai tidak berkedip," ujar Zahra sambil memakai mukena."Udah jangan bergosip! Mau shalat
Happy reading...."Mas Fadli," lirih Jihan yang tak menyangka jika Fadli ada di sana.Pria itu berjalan mendekat ke arah Jihan dan juga Afgan. Kebetulan Fadli adalah donatur di sana, dan dia tadi telat datang ke acara halal bihalal soalnya ada pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan.Saat mengetahui jika acara halal bihalal ada di kampus istri keduanya, ebtah kenapa Fadli ingin sekali datang. Dia ingin mengetahui bagaimana Jihan jika berada di dalam kampus.Dan saat sampai di sana dia mencari Jihan dan bertanya kepada beberapa anak kampus. Dan ternyata Jihan sedang berada di mushola.Namun, saat pria itu sampai di sana dia melihat Jihan sedang mengobrol dengan seorang pria. Entah kenapa Fadli merasa tak suka, seperti ada sesuatu yang terbakar di dalam hatinya."Siapa dia?" tanya Fadli dengan wajah yang ketus."Dia--""Saya Afgan, temannya Jihan. Anda ini siapa ya?" tanya Afgan dengan raut wajah tak senang saat melihat Fadli."Saya adalah su--""Dia adalah kakak iparku, aku lupa bilang
Jihan menerima tisu tersebut, lalu menghapus air matanya. Dan setelah itu tidak ada pembicaraan lagi. "Saya mau ke rumah sakit!" pinta Jihan setelah beberapa saat mereka terdiam.Akan tetapi Fadli tidak melajukan mobilnya menuju rumah sakit, hingga membuat Jihan merasa jika mereka akan pulang ke rumah."Saya mau minta diantarkan ke rumah sakit, Mas. Kenapa kita belok ke sini?""Saya harus mengerjakan pekerjaan dulu di kantor, nanti kita pulang ke rumah bersama.""Tapi--""Saya tidak suka dibantah!"Akhirnya Jihan pun hanya diam, karena membantah suami juga hukumnya dosa. Setelah mereka sampai di kantor, keduanya masuk ke dalam lift menuju lantai atas di mana ruangan Fadli berada.Dan saat sampai di sana, dia bertemu dengan sekretaris Fadli.Jam menunjukkan pukul 05.00 sore Jihan merasa canggung karena di ruangan itu hanya ada dia dan juga Fadli. Dirinya bingung harus melakukan apa di sana, sementara dia saat ini hanya duduk di sofa saja.'Ya ampun! Aku kayak kambing congek, hanya diam
Happy reading.....Fadli menatap ke arah orang yang saat ini tengah berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang tajam juga kesal."Papa! Papap kok ke sini tidak ngabarin aku dulu?" tanya Fadli dengan wajah yang tegang.Ya, yang datang adalah Papa Zahid. Beliau ingin membicarakan perihal bisnis dengan Fadli, tapi saat beliau akan masuk ke dalam ruangan putranya, tiba-tiba saja ditahan oleh Caca."Kenapa kamu mau minta Caca untuk menahan Papa? Apa yang kamu sembunyikan sesuatu di sini, hah?" kesal Papa Zahid sambil menatap ke arah seisi ruangan milik Fadli."Apa sih yang Papa bicarakan? Fadli nggak menyimpan siapapun. Kan Papa lihat sendiri, tidak ada siapa-siapa di sini," jawabannya dengan wajah yang terlihat begitu gugup.Walaupun dia mencoba untuk bersikap biasa saja, namun sangat nampak jelas bahwa saat ini dirinya tengah dilanda kepanikan, seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari bapak Zahid.Pria itu mengelilingi ruangan tersebut sambil menatap lekat pada putranya. Dia berhenti
"Itu ... haccim! Iya, itu tadi aku yang bersin Pah." Fadli menggosok hidungnya. "Mungkin karena cuaca yang tidak menentu, membuat kesehatan aku sedikit terganggu," jawab Fadli."Yakin itu suara bersin kamu? Tapi kenapa Papa mendengarnya lain ya?" tatapan pria itu menatap curiga ke arah putranya.Jantung Fadli sedari tadi sudah berdebar saat Papanya masuk ke dalam ruangan, karena jujur dia takut jika Papa Zahid akan mengetahui keberadaan Jihan.'Wanita itu apa tidak bisa menahan bersinnya terlebih dahulu? Kalau tidak, dibekap sama bantal atau guling kan bisa, biar tidak kedengeran ke sini. Bikin suasana makin kacau saja! Mana jantungku sudah dari tadi terus dag dig dug.' batin Fadli yang merasa kesal karena Jihan sudah keceplosan."Sudahlah Pa, itu hanya bersin dari aku aja, tidak ada yang ku bersembunyikan. Kan Papa lihat sendiri, tidak ada apapun di sini." Fadli mencoba untuk membuat Papanya percaya.Akhirnya Papa Zahid pun pergi dari sana dan sambil menghela nafas dengan kasar. Namu
bulu kuduk Jihan seketika merinding. Entah kenapa perkataan Fadli yang seperti itu membuatnya malah ketakutan."Tidak Siapa juga yang sengaja. Aku memang berganti pakaian, sebab tadi saat ke kamar mandi bajuku basah karena tidak sengaja kepeleset. Karena aku bawa baju ganti, ya sudah, aku ganti," jawab Jihan sambil memalingkan wajahnya, karena dia saat ini merasa sangat gugup.Helaan nafas hangat berbau mint, menerpa wajahnya. Apalagi jarak wajah mereka hanya beberapa senti saja, membuat Jihan benar-benar merasa amat gugup.Padahal tadi Fadli merasakan sesuatu di dalam tubuhnya yang berdesir, namun seketika rasa itu hilang saat sebuah tamparan mendarat di pipinya dengan keras."Bersiap-siaplah! Sebentar lagi kita akan pulang. Dan sebelum itu, aku ingin mengingatkan! Besok malam kau harus bersiap-siap, karena aku akan meminta jatahku! Malam ini aku akan pulang ke rumah orang tuaku," ujar Fadli. Kemudian dia pergi meninggalkan Jihan tanpa menunggu jawaban dari wanita itu.Jihan mengusap