Share

Keluarga Baru Alice

Setelah mobil berhenti, supir membukakan pintu. Gadis yang akhirnya Alice ketahui bernama Selena itu keluar terlebih dahulu. Dengan tidak sabar dia menarik paksa tangan Alice agar segera keluar dari mobil.

Alice mengikuti langkah kedua wanita itu dan masuk ke dalam rumah. Ketika kedua wanita itu duduk di kursi sofa, Alice juga akan duduk di kursi sofa yang ada di sisi lainnya.

"Hei, siapa yang memperbolehkan kamu duduk di atas kursi? Tempatmu adalah di bawah, bukan duduk sejajar dengan kami," ujar Laura, wanita paruh baya itu, menunjuk ke arah lantai.

Alice diam sejenak. Seumur hidupnya, baru kali ini ia diperlakukan sehina ini. Lalu, mungkin karena Alice terus diam, Selena menarik Alice untuk duduk di lantai, di dekat kaki kedua wanita itu seperti pelayan.

"Kemari, pijat kakiku sekarang juga!" Selena menyodorkan kakinya.

Alice mengepalkan tangannya. ‘Apa-apaan ini?! Kalau benar Elisa menikah dengan Gavin, itu artinya Elisa adalah kakak iparnya. Kurang ajar sekali gadis muda ini," ujar Alice dalam pikirannya merasa sangat geram.

Namun Alice berusaha tetap sabar. Ia mengangkat kakinya dan meletakkannya di pangkuan Alice. Alice mengerti, dia kemudian langsung meremas kaki ramping itu.

“Argh, sakiit!”

Mendengar teriakan Selena, Laura mendekat dengan marah, dan langsung menampar kuat pipi Alice. Tidak lupa, ia mendorong tubuh wanita itu sampai terguling di lantai.

PLAK!

“Apa yang kamu lakukan pada Selena?!” amuk Laura.

“Aku tidak melakukan apapun. Lihatlah, kakinya juga tampak baik-baik saja,” ujar Alice sambil menunjuk ke arah kaki Selena.

“Pergi kamu dari pandanganku! Semakin lama aku melihatmu, semakin aku muak!” perintah Laura.

Alice pun memilih pergi dengan melangkah sembarangan mengelilingi satu per satu tempat di rumah itu. Sampailah Alice pada sebuah pintu yang posisinya cukup strategis sebagai kamar utama di rumah itu.

“Jika Elisa dan Gavin menikah, seharusnya ini adalah kamar mereka berdua kan?” pikir Alice.

Alice membuka pintu kamar itu. Seperti dugaannya, kamar itu begitu besar dengan wallpapernya berwarna serba abu-abu putih. Desain dan juga dekorasi perabotan kamar itu menunjukkan bahwa identitas pemiliknya adalah seorang pria.

Alice melangkah masuk. Walaupun sebagian hatinya berkata kalau ini tidak sopan, tapi ia tidak berhenti. Lagipula, mereka sendiri yang menganggap Alice adalah Elisa.

Tanpa sengaja Alice melihat sebuah lembaran kertas terjulur setengah keluar dari nakas di dekat tempat tidur. Karena penasaran, Alice membuka laci nakas itu dan mengambil lembaran kertas itu.

Ketika Alice membuka lembaran kertas itu, sebuah foto keluar dari sana. Foto itu menampakkan seorang anak kecil perempuan berusia empat atau lima tahun, dengan gaun bercorak bunga anyelir berwarna merah muda. Di sebelahnya berdiri seorang anak laki-laki berusia sepuluh atau sebelas tahunan.

“Ini… gadis kecil di foto ini adalah aku?” gumam Alice terkejut.

Alice membaca tulisan pada kertas yang terlihat usang itu.

“Gavin, suatu saat kamu harus menikahi Alice Rayes, putri dari Roland Rayes. Dengan dia kelak menjadi istrimu, maka kedudukanmu di dalam perusahaan, maupun sebagai kepala keluarga Welbert tidak akan digoyahkan oleh siapa pun.”

‘Aku tidak mengingat kapan foto ini diambil, apalagi kapan pernah bertemu dengan pria itu.’ Alice hanya mengingat kata-kata ayahnya yang ingin menjodohkannya dengan keluarga Welbert. Alice pun sudah menolak waktu itu.

'Jangan-jangan... Elisa menikah dengan Gavin untuk menggantikanku? Dan dia masih menggunakan namaku agar tidak ketahuan?'

Satu per satu kepingan puzzle mulai tersusun. Alice mulai paham kenapa Elisa tampak gelisah saat bertemu dengannya tadi. Namun, ia masih tidak paham, kenapa keluarga Welbert memperlakukan Elisa dengan kasar?

'Apa Elisa sudah ketahuan? Tidak, sepertinya ada hal lain... kecelakaan Elisa juga terasa janggal,' Alice terus memikirkan kemungkinan.

“Sedang apa Nyonya di sini?”

Alice terkejut dan berbalik badan. “Aku… hmmm.” Tangan Alice di balik punggungnya kembali memasukkan kertas itu ke nakas.

“Nyonya, ayo kita kembali ke kamar Nyonya. Jika Tuan tahu Nyonya di sini, Tuan Gavin akan sangat marah.”

Alice bersyukur karena pelayan itu tidak bertanya lagi. Ia segera mengikuti langkahnya, mengantarkan Alice ke kamar di ujung yang agak jauh dari kamar tadi.

“Nyonya, sepertinya pipi Anda membengkak, aku akan mengambilkan kompres hangat dan salep untuk Nyonya.”

Pelayan itu segera pergi dan setelah beberapa menit kemudian dia kembali dengan membawa kompres dan salep.

“Terima kasih… Emm… Maaf aku lupa siapa namamu?” ujar Alice.

Sejenak pelayan itu menatap keheranan melihat tingkah aneh Alice. “Namaku Weni, Nyonya, kepala pelayan di rumah ini.”

“Terima kasih, Weni.”

Setelah Weni berlalu pergi dari kamarnya. Alice duduk termenung sambil mengompres wajahnya. Dia memikirkan serangkaian peristiwa hari ini.

“Apa mungkin ketika aku pergi ke Casia, Elisa menggantikan aku untuk menikah dengan Gavin? Itulah sebabnya dia menggunakan identitasku?”

Hanya itu satu kesimpulan yang bisa Alice pikirkan sekarang. Keluarga Welbert cukup berpengaruh, tidak mungkin juga keluarga Rayes bisa menolaknya begitu saja. Apalagi berkata kalau Alice yang asli sudah melarikan diri.

“Elisa yang malang, dia harus masuk ke keluarga yang berisi orang-orang jahat ini. Mereka hanya memanfaatkannya….”

Semua jadi masuk akal bagi Alice. Dia juga mulai berpikir kalau kecelakaan Elisa hari ini ada hubungannya dengan keluarga Welbert.

“Aku harus tetap tinggal disini dan menyelidikinya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status