“Selamat pagi.”“Se-selamat pagi, Bu Embun.”Embun tersenyum pada para pegawai yang ia temui saat ia melangkah ke kantornya di lantai 2, di Kafe Senjakala. Mereka tampak terkejut dan Embun bisa menduga sebabnya. Wanita berambut sebahu itu pun tidak dapat menyalahkan mereka, karena setelah beberapa waktu, mungkin baru kali inilah Embun bisa menyapa mereka dengan senyum seperti sekarang ini.Ringan, dan cerah.Tiga minggu sudah Embun menjalani program di bawah Dion, hampir satu bulan. Badannya memang terasa remuk, apalagi dengan segala jalan dan waktu yang harus ia tempuh agar bisa bolak-balik lokasi ke rumah, rumah ke lokasi. Ditambah lagi, tidak mulusnya jalan dari stasiun lokal ke bangunan utama peternakan, serta betapa keras dan tegak lurusnya kursi kereta yang diduduki Embun. Badan Embun lelah. Tapi Embun tidak ingin beristirahat karena aktivitas itulah yang membuatnya bisa merasa senang dan bisa tersenyum seperti sekarang ini.Ada kemungkinan karena Embun berada di lokasi yang sa
“Embun. Kamu kok diam saja?” Wanita paruh baya dengan gaya nyentrik itu bertanya. “Tidak rindu dengan Paman dan Bibi?” Tidak langsung bereaksi, Embun masih diam. Otaknya seperti berhenti memproses segalanya untuk memikirkan jawaban dari sebuah pertanyaan: Kenapa paman dan bibinya ada di sini? Bagaimana mereka tahu tentang keberadaan Em– “Ah.” Embun bergumam. Ia menutup matanya dan menghela napas pelan. Jelas saja. Skandalnya pasti sudah meluas kemarin. Dengan semua pemberitaan yang ada, serta profil Embun sudah tersebar di mana-mana, paman dan bibinya pasti bisa menemukannya dengan mudah di Kafe Senjakala. “Kamu dari mana saja, Embun?” tanya wanita yang memanggil dirinya sebagai bibi Embun tersebut. “Selama bertahun-tahun, Bibi mencari kamu dan Rindang, tapi tidak ketemu. Ternyata kamu sudah sukses sendiri begini.” Bohong. Embun tidak memercayai apa pun yang keluar dari bibir bibinya. “Betul.” Sang paman menimpali. “Baru setelah melihat berita kamu, kami jadi tahu soal kamu.” Ah
Beberapa jam yang lalu …. “Kamu terlihat berbeda dari biasanya hari ini, Embun.” Embun mendongak ketika mendengar suara Dion saat ia mengemasi barang-barangnya. Tampaknya ia sempat melamun lagi, hingga Dion kemudian menegurnya. Di belakang pria itu, ada beberapa orang rekan Embun yang mencuri-curi pandang ke arah mereka. “Selamat malam, Pak Dion,” ucap Embun. Ia memasang senyum formal seperti biasanya. Sejak menerima pekerjaan dari Dion dan menjadi pengajar di sini, Embun memperlakukan Dion seperti atasannya. Wanita itu berpikir bahwa itulah pilihan terbaik untuk membatasi dirinya dan pria yang tidak pernah bisa Embun ketahui motivasinya tersebut. Dion mengangguk. “Kamu ada masalah? Mungkin kelelahan?” tanyanya lagi. “Tidak, Pak.” Embun menggeleng. “Tidak ada masalah. Tapi memang mungkin sedikit lelah.” Bohong. Kemunculan bibi dan pamannya di kafe tempo hari benar-benar membebani pikiran Embun. Ia jadi mengkhawatirkan segala jenis hal, sekaligus berasumsi banyak tentang motivasi
“Jadi. Selarut ini, dan kamu bersama Dion?”Kaisar menatap Embun. Wanita itu tampak seperti mengurungkan niatnya untuk berjalan pergi lebih dulu dan balas memandang Kaisar. “Tadi aku ketinggalan kereta dan ia menawarkan tumpangan,” jawab Embun. Pikirnya, mungkin Kaisar tidak melihat para rekannya yang juga berada di mobil yang sama dengannya. Namaun, mungkin hal itu tidak perlu dikatakan. Mungkin ia tidak perlu mengoreksi Kaisar, karena toh benar; ia tadi bersama Dion dan ini sudah larut.Ditambah lagi, sejujurnya, setelah mengobrol sepanjang jalan, energi Embun terasa seperti sudah tersedot habis. Ia sudah membayangkan kasurnya dan mungkin saja, ia akan tertidur tepat ketika tubuhnya menyentuh kasur.“Jadi. Proyek yang kamu jalankan beberapa minggu ini. Di luar kota, ternyata melibatkan pria itu?”Embun mengernyit. Pertanyaan Kaisar penuh penekanan. Akan tetapi, Embun yang terlalu lelah untuk berpikir mengenai hal itu dan menebak-nebak, hanya menjawab, “Iya.”Hening sejenak.“Apaka
Prang!“Astaga!”Tidak hanya Embun, tapi dua puluh murid wanita dengan mata cokelat tersebut memandang si pengajar dengan syok, seakan Embun secara sengaja membanting botol kaca 500 ml tersebut.“Maaf, maaf.” Embun buru-buru berjongkok usai melihat ekspresi keterkejutan dari para muridnya untuk memunguti pecahan kaca yang berceceran. Permintaan maaf terukir jelas di wajahnya saat ia menoleh ke arah samping, pada para rekannya yang justru tampak khawatir pada Embun.Sekalipun Embun selalu banyak pikiran, wanita itu selalu profesional dan fokus jika sedang di depan kelas. Ini adalah pertama kalinya Embun berulah, dan itu adalah di depan 25 orang manuusia yang ditemuinya tiga kali seminggu.“Maaf ya semua.”Usai mengatakan itu, Embun mulai membersihkan pecahan kaca.Kini, Embun sedang berada di peternakan, di tempat milik Dion, sedang mengajar seperti biasa. Sudah beberapa hari lewat sejak perdebatan terakhirnya dengan Kaisar, tapi ucapan pria itu masih menghuni kepalanya dengan segar.“
“Embun? Ada apa?”Sepertinya Embun terlalu lama melamun sambil menatap Dion hingga pria itu kemudian bertanya dan membuat Embun mengalihkan pandangannya.Namun, tentu saja, Embun tidak menjawab pertanyaan tersebut dan justru berkata, “Sepertinya saya harus segera kembali ke kelas.”Wanita itu bergegas berdiri, tapi Dion menghentikannya dengan memegang kedua bahu Embun dan memaksa istri Kaisar itu untuk kembali duduk.“Hei, santai saja dulu. Aku yakin yang lain bisa mengurusi kelas tadi, meski kamu istirahat di sini,” ucap Dion. Pria itu kemudian berjalan ke rak yang ada di pojok ruangan dan mengambil dua kemasan botol air mineral. Dion kemudian memberikan salah satunya pada Embun setelah ia membuka tutupnya untuk wanita itu.“Terima kasih, Pak.” Embun berucap pelan dan meminum air tersebut.Mendengar itu, Dion menghela napas. “Kamu benar-benar tegas sekali ya, soal panggilan itu,” katanya.Embun mendongak. “Ya?”“Aku pikir,” Dion menjeda kalimatnya untuk minum langsung dari botol mili
“Jelaskan, dengan singkat, apa yang terjadi di sini.”Suasana hening langsung menyertai begitu Kaisar mengucapkan kalimat tersebut. Suara pria itu terdengar dingin hingga menusuk ke tulang, membuat para peserta rapat yang sedang hadir di ruangan tersebut menggigil.Padahal beberapa menit yang lalu, para peserta rapat itu masih sibuk berbicara dan mengobrol. Namun, begitu Kaisar memasuki ruangan rapat, semuanya terdiam.“Kenapa semuanya diam?” ucap Kaisar lagi. Mata hitamnya mengamati wajah para peserta rapat yang sedang setengah menunduk. “Tidak ada yang berniat menjelaskan pada saya?Kali ini, agenda rapat adalah membahas pembangunan pusat perbelanjaan yang akan menyatu dengan Asthana Hotel. Seharusnya proyek ini sudah bisa diresmikan di akhir bulan. Akan tetapi, ada beberapa kendala yang membuat proyek ini belum bisa diresmikan.“Pak Kaisar, mohon maaf. Dua investor besar proyek ini tiba-tiba saja mundur,” ucap salah satu peserta rapat yang duduk di sebelah Nicholas. Pria itu menje
“Dengan Tante Embun? Yang benar saja!”Nicholas menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir pikiran aneh tersebut dari kepalanya.Sang paman jarang sekali terlibat masalah dengan orang, sekalipun sikapnya datar senantiasa seperti itu. Yah, memang Kaisar lebih sering bertemu dengan orang-orang untuk urusan bisnis, tapi–“Oh, Paman tidak bersikap terlalu formal pada Tante Embun, kan?” ucap Nicholas. Namun, dengan segera, ia menepis pikiran buruknya lagi. “Tidak mungkin. Aku lihat ekspresi Paman tiap kali menyingggung soal bekal dari Tante Embun.”Pria muda itu mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan singkat untuk Kaisar.Saat sudah berada di kantornya, barulah Kaisar membuka pesan tersebut.[Tenang saja, Paman. Serahkan semuanya padaku. Paman Kaisar istirahat saja.]Suami Embun tersebut mengizinkan Nicholas untuk membantunya, sebab Kaisar percaya pada kemampuan Nicholas. Meskipun keponakannya itu masih sangat muda, tapi ia adalah pemuda yang cerdas. Nicholas hanya perlu diberik