Di sebuah ruangan yang astetik, mata Anita membulat melihat pemandangan sekelilingnya. Dia takjub dengan ruangan sang direktur. Banyak barang antik yang tersusun rapi di sisi ruangan beserta tembok yang sengaja dibalut dengan emas.
"Hei! Apa yang kau lihat? Apa kau masih terpukau disaat anakku barusaja kau racuni?" ucap direktur dengan nada suara yang arogan.
"Aku santai begini karena tidak merasa bersalah. Aku tidak meracuni anak kecil itu." balas Anita dengan suara tegas.
"Benarkah? Apa aku harus percaya denganmu? Lihat saja apa yang terjadi padamu, jika Jaya tidak sadarkan diri. Aku buat hidupmu hancur, lebih hancur diriku." ucapnya dengan tegas.
"Kau sudah selesai mengancam? Apa boleh aku pergi?" tanya Anita sambil bangkit. Sebelum direktur menjawab, salah satu asisten pribadinya datang dan langsung berbisik padanya.
"Jaya sudah sadarkan diri. Mari kita pergi melihatnya bersama!" titahnya sambil berjalan lebih dulu sebelum mendapat persetujuan dari Anita.
"Aku banyak pekerjaan, aku tidak bisa mengikuti kemauanmu hari ini. Sampai jumpa dan jangan bertemu kembali!" ujar Anita yang berlari keluar dengan terburu-buru. Dia menarik ponselnya segera dan menghubungi temannya dengan wajah panik.
Sesampai di kafe, Anita segera masuk dan berlari kecil menuju ruangan khusus pemilik kafe. Rani Fatma, salah satu anak konglomerat, rekan sekaligus sahabat baik Anita. Rani tersenyum saat temannya langsung masuk menemuinya.
"Bagaimana hasil wawancaranya? Kau diterima? Kau harus berterima kasih padaku karena aku yang membantumu sampai bisa mendapat pekerjaan itu. Aku dengar, direktur disana wajahnya sangat tampan melebihi tampannya sang malaikat." Goda Rani sambil berjalan menghampiri Anita.
"Kau serius? Tidak ada wawancara disana. Darimana kau dapat informasi itu? Aku malah mendapat kesialan di tempat itu." Jelas Anita yang kesal. Dia membuang dirinya di sofa empuk milik Rani.
"Benarkah? Aku tidak mungkin salah. Biar aku cek dulu. Seharusnya wawancaranya hari ini. Apa kau tidak dapat email baru? Bisa saja mereka mengubah tempatnya atau waktunya?" ucap Rani yang kebingungan. Anita menepuk kepalanya melihat tingkah sahabatnya.
"Oh, aku rupanya salah. Seharusnya jadwalnya sudah usai. Ini jadwal lama. Aku salah mengira, maklum sudah tua tetapi masih perawan." ucap Rani sambil tertawa seorang diri. Anita bangkit, memukul kepala Rani lalu bergegas keluar dengan wajah memerah. Dirinya dipermainkan seperti boneka.
"Sial. Dia pikir siapa, berani mengejekku. perawan tua? Kata itu lebih cocok untuknya." Umpat Anita yang menunggu taksi di depan kafe Rani.
Ting..
Ponselnya berdering tandanya mendapat pesan masuk. Tangan Anita bergerak cepat membuka pesan. Matanya memutar malas membaca pesan yang tidak penting menurutnya.
[Kau, dimana? Pulang lebih awal hari ini. Nenek sudah mengatur jadwal kencanmu. Kali ini, kau harus datang dan mencoba membuka hati untuk laki-laki. Nenek tidak kuat melihatmu terus berjalan seorang diri tanpa pasangan.]
"Nenek! Nenek! Kenapa semua orang semakin menyebalkan hari ini. Apa hari ini adalah hari terburukku?" tanya Anita yang berteriak di pinggir jalan membuat orang lewat menoleh ke arahnya.
**
****Malam semakin larut, Anita baru pulang setelah menduga neneknya sudah tidur lebih awal. Lampu padam di ruang tamu, semakin terukir senyum manis Anita. Baru beberapa langkah menaiki tangga, lampu yang tadinya mati mendadak menyala dengan terang. Anita berhenti berjalan dan menoleh ke belakang dimana seseorang yang tengah dihindari, sedang berdiri sambil melipat kedua tangannya dan menatap Anita tajam.
"Oh, nenek! Nenek membuatku jantungan. Kenapa belum tidur? Ini sudah lewat larut malam. Seharusnya nenek tidur lebih awal. Tidak baik dengan kondisi kesehatan nenek." Omel Anita dengan wajah frustasi.
"Kau mengkhawatirkan nenekmu? Kau seharusnya mengikuti saran nenekmu ini. Sebentar lagi, keluarga kita akan berkumpul. Para sepupumu datang dan membawa pasangan mereka. Lalu, kau? Apa yang kau bawa? Sampai sekarang belum menikah ataupun mendapat pacar." Kata nenek Anita yang menampilkan wajah sedihnya.
"Aku tidak akan datang sendiri." jawab Anita dengan santai.
"Benarkah? Kau sudah punya pacar? Itu bagus, kenalkan pada nenek lebih dulu. Biar nenek nilai, dia orang seperti apa." ucap nenek Anita yang mengubah raut wajahnya dengan senyum senang.
"Aku tidak mengatakan jika aku punya pacar. Aku bisa pergi ke sana bersama nenek kan?" jelas Anita yang sekilas kembali memunculkan amarah neneknya. Anak itu berlari cepat menaiki tangga sebelum mendengar teriakan jahannam neneknya.
"Anita!!!!"
Di dalam kamar, Anita masih mendengar teriakan neneknya meski sudah menutup pintu dengan rapat. Neneknya sudah tua, tetapi teriakannya tidak berubah sama sekali. Dengan menghela nafas kasar, Anita membuang dirinya ke tempat tidur. Dirinya lelah hari ini dan sangat lelah sampai tidak bisa bangun. Matanya terpejam sempurna hingga pagi mendatang.
Ting.. Ting.. Ting..
Alarm ponsel Anita berdering membuat gadis perawan itu bangun dengan mata masih tertutup. Setelah menghentikan alarmnya, dia kembali berbaring, berniat melanjutkan tidurnya. Namun keponakan manisnya yang berusia sembilan tahun, mengejutkan Anita.
"Aunty, antar aku ke sekolah!" ucapnya sambil menarik tangan Anita. Saat Anita tidak bangun, dia malah menarik kaki Anita membuat Anita terjatuh ke lantai.
"Hei! Kau!!" tunjuk Anita yang menghentikan mulutnya berbicara kasar pada anak kecil. Dia mengelus dadanya, menenangkan amarahnya yang hampir mencapai ubun-ubun.
"Aunty sangat lelah, bisakah kau menyuruh nenek saja yang mengantarmu?" ucap Anita dengan suara lemah lembut dan tersenyum manis.
"No! Aku maunya aunty yang melakukannya." ucapnya sambil mengibas rambut panjangnya yang sengaja dikuncir dua.
"Baiklah! Tunggu beberapa menit!" Hela Anita yang tidak bisa mengalah ketika dirinya melihat wajah cemberut sang keponakan.
"Hore! Hore!" teriaknya dengan senang.
Setelah mengantar keponakannya ke sekolah, Anita singgah ke rumah sakit dimana temannya sedang dirawat disana. Dia menghubungi Rani di tengah perjalanan. Namun, tanpa sengaja Anita bertemu lagi dengan anak kecil yang memeluknya kemarin.
"Loh, anak itu, kenapa bisa ada disini. Apa dia terluka parah atau benar-benar keracunan?" tanya Anita yang berhenti berjalan ketika melihat Jaya dibawa suster dengan kursi roda. Wajah Jaya tampak pucak dan dirinya terus saja menunduk seolah tak bersemangat.
"Hei! Anak kecil! Apa yang kau..." Anita berteriak memanggilnya sambil berjalan menghampiri Jaya, namun anak itu langsung berlari ke arahnya setelah mendengar teriakan Anita. Jaya bahkan bisa berlari cepat memeluk Anita, padahal kondisi tubuhnya sedang lemah.
"Mama! Mama! Kau akhirnya datang!" ucap Jaya yang menangis memeluk Anita.
"Mama? Kenapa kau selalu memanggilku dengan sebutan mama? Apa aku benar mirip dengan mama mu?" tanya Anita yang berjongkok melepas pelukan Jaya.
"Mama, tolong Jaya. Apa mama tidak kasihan melihat Jaya menangis memanggil mama?" ucap Jaya yang terisak di depan Anita.
Suster yang merawat Jaya, berdiri mematung dibelakang Jaya sambil menatap tajam ke arah Anita. Dia memeriksa penampilan Anita dari atas sampai bawah.
"Anda benar istri sang direktur?" tanya suster sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
"Bu.. Bukan. Sejujurnya, aku hanya kenal.." Kata Anita terhenti ketika Jaya tiba-tiba menyahut.
"Dia benar, mamaku. Kau tidak lihat, wajah kami sangat mirip?" balas Jaya yang kini tersenyum bahagia. Anita dibuat pusing, bagaimana bisa wajahnya tampak mirip dengan Jaya. Menurutnya, sangat berbeda dan jauh berbeda.
Anita sibuk bermain dengan Jaya hingga tidak sadar, orang yang membuatnya kesal setelah melihatnya sudah datang. Alis Anita sempat tertaut ketika melihat orang menyebalkan itu tersenyum ke arahnya."Kau salah makan? Apa barusaja kau keracunan?" Tanya Anita sambil bangkit. Jaya yang berada di sampingnya ikut berdiri dengan senyum manisnya."Papa sudah tiba? Mama dan aku dari tadi menunggu disini." Adu Jaya dengan wajah riang."Aku sudah bilang, berhenti memanggilku dengan sebutan mama. Aku benar-benar bukan mama mu!" Teriak Anita sambil menekan perkataannya."Ah, mama tidak perlu malu-malu didepan papa. Jaya tahu kok, hati mama selalu merindukan papa." Ujar Jaya sambil menyenggol tubuh Anita. Mata Anita membulat, dia menunjuk dirinya sendiri. Tidak percaya dengan perkataan anak kecil yang barusaja ditolongnya."Aku? Merindukan orang menyebalkan ini? Apa tidak ada pria lain di dunia ini?" Sahut Anita sambil melipat kedua tangannya."Wah, wajah mama semakin manis. Sama waktu itu." Ucap J
Belum juga Anita bangun, dia sudah mendapat pesan dari Wira untuk mengantar Jaya ke sekolah. Jaya tidak mau pergi, jika bukan Anita yang mengantarnya. Hal ini membuat Anita pusing berkeping-keping. Mana dia juga punya keponakan cantik yang harus diantar tiap pagi."Ya ampun, beban bertambah lagi." Umpat Anita yang merenungkan nasibnya.Setelah selesai sarapan pagi bersama Lilis, Anita berangkat membawa Lilis ke sekolah. Namun dia singgah ke rumah Jaya terlebih dahulu untuk membawa anak itu juga. Lilis yang melihat aunty nya melewati jalan berbeda, mulai berkomentar."Aunty! Kau salah jalan!" Teriak Lilis dengan keras."Tidak, ini jalan yang benar." Balas Anita."Benarkah?" Lilis kebingungan dan semakin bingung setelah Anita berhenti di depan sebuah rumah megah. Anita turun dan membuka pagar sambil menarik Lilis."Aunty, kita mau merampok di rumah orang?" Tanya Lilis yang tidak mau berhenti berbicara."Aunty mau memperkenalkan kamu dengan teman baru." Ujar Anita tersenyum ramah. Kebetu
Di ruang tamu, Nenek Anita menatap tiga orang di depannya dengan tatapan menusuk, termasuk Anita. Cucu yang selama ini dijaga baik malah pulang membawa anak."Berapa usiamu?" Tanya nenek Anita menunjuk Jaya."Sepuluh tahun," jawab Jaya singkat sambil mengibas senyum manisnya."Ayahmu?""Aku tidak punya ayah, hanya papa yang menjagaku selama ini." "Umur papamu!" Teriak nenek Anita yang masih kesal dengan Anita. Amarahnya belum mereda."Papaku berumur sekitar empat puluh tahunan. Apa nenek mau bicara dengan papaku? Aku bisa menghubunginya," ujar Jaya menarik ponselnya dari saku celana."Tidak perlu, aku tidak tertarik. Papamu jauh lebih tua dari cucuku, bagaimana bisa.." Nenek Anita memegang kepalanya yang terasa nyut-nyut menyelesaikan masalah cucu kesayangannya. Dengan menghela nafas perlahan, nenek Anita berusaha menenangkan dirinya."Ayahmu rupanya sudah tua," sahut nenek Anita dengan suara ditekan. Hatinya tidak bisa menerima, cucunya yang masih lajang dekat dengan seorang duda me
Satu keluarga besar berkumpul di rumah nenek Anita. Kakak Anita, Yuni ikut pulang menemui sepupu dan bibinya. Mereka memang selalu membuat acara berkumpul setelah tiga bulan."Bu, cucu tersayang ibu belum juga nikah? Apa takut menikah karena akan seperti kakaknya?" sahut Umi, menantu kedua nenek Rani yang angkuh dan sombong. Suaminya bekerja sebagai asisten kantor hingga mendapat gaji yang tinggi membuat harga dirinya juga tinggi."Apa maksud kamu? Kalau punya mulut dijaga dengan baik!" titah Nenek Anita melirik dengan tatapan sinis. Selalu saja berkata seperti itu ketika datang ke rumah mertuanya."Kau harus punya sopan santun ketika bertemu mertua. Bukan karena Anita trauma dengan kerusakan rumah tangga kakaknya, tetapi dia tidak laku. Tidak ada lelaki yang minat dengannya." ejek Sulis, bibi Anita yang selalu membanggakan dirinya."lihat anakku, dia sudah cantik, punya suami polisi lagi. Aduh, kalau dibandingkan dengan Anita, mana bisa mengalahkan anakku?" ucap Sulis menunjuk anakny
Setelah membawa Jaya ke rumah Wira untuk sementara, kini Anita dihakimi sepupu dan bibinya ketika kembali. Mereka dengan sengaja menunggu Anita di depan ruang tamu dan langsung menyinggung Anita terang-terangan."Ya ampun, sudah lelah cari uang, sudah lelah merepotkan keluarga, kini bermimpi jadi isteri sang dudu yang kaya. Kalau aku, jelas tidak mau beda usia kan mereka?!" tanya Anjar, sepupu Anita yang paling cerewet."Itu bukan cinta yang tumbuh, mata yang bersinar ketika melihat uang. Dari dulu, Anita itu mirip banget sama kakaknya. Mau juga berhubungan dengan orang lebih tua darinya, setelah diceraikan nanti, baru sadar diri!" tambah Umi yang sengaja mengeraskan suaranya.Anita membanting pintu, lalu masuk dengan tatapan tajam mengarah pada semua orang yang duduk di sofa. Tangan Anita pun terlipat di depan dada dengan angkuh."Lagi nggak ada pekerjaan, emak-emak?" tanya Anita menaikkan kakinya di atas meja membuat para bibinya terkejut."Kamu selalu kurang ajar, tidak punya sopan
Pagi sekali, Lilis selesai bersiap dengan pakaian olahraga. Dia ingin ikut dengan Anita dan Yuni yang akan pergi ke pusat olahraga. Hari ini, Anita libur bekerja. Anita hanya mengirim pesan pada Wira jika dirinya akan sibuk hari ini."Tante! Jaya ikut nggak?" tanya Lilis sambil berbisik. Lilis tahu, neneknya tidak suka jika nama Jaya di ucap."Nggak, nenek bisa jantungan nanti kalau kau terus membahas Jaya. Sudah, biarkan saja Jaya menghabiskan waktu bersama papa nya!" jawab Anita yang mengambil air minum di kulkas.Wajah Lilis langsung murung, kepalanya menunduk membuat Yuni heran melihat tingkah putrinya. "Ada apa sayang?" tanya Yuni sambil berjongkok menyetarakan tinggi tubuh Lilis. Wajah sedih anaknya semakin terlihat jelas."Anak tante nggak ikut kita olahraga, nanti Lilis main sama siapa disana?" ucap Lilis membuat Yuni tercengang."Lilis tahu nggak? nenek tidak suka jika kita bahas Jaya. Kemarin saja, Anita ketahuan habis dari rumah Jaya, hari ini dilarang keluar. Andai bukan
Air mata Anita tidak hentinya mengalir, hatinya semakin sakit di usir oleh neneknya. Bahkan Anita belum menjelaskan pun, Neneknya sudah masuk dan mengunci pintu. Yuni masih setia menemani adiknya di depan rumah nenek Anita."Aku akan bicara dengan nenek, kamu tetap disini. Aku yakin, nenek hanya kesal saja!" ucap Yuni yang berniat masuk ke dalam rumah, namun tangannya di tahan oleh Anita."Nggak apa-apa, Kak. Lebih baik kakak tidak perlu ikut campur atau kakak juga bisa di usir. Apalagi, si setan masih ada di dalam rumah. Mereka pasti akan memanas-manasi nenek lagi." ujar Anita yang mengusap air matanya."Lalu, kau sekarang mau kemana?" tanya Yuni."Aku tidak punya tempat lain selain tinggal dengan Jaya." jawab Anita. Mata Yuni membulat, setelah adiknya di usir, Anita semakin menjadi-jadi."Kalau nenek tahu, dia akan semakin marah. Dia melarang kami berhubungan dengan keluarga Jaya!" teriak Yuni tidak percaya dengan pengakuan Anita. Tetapi Anita malah tersenyum."Aku akan buktikan, ap
Malam hari yang panjang, semuanya tampan berbeda bagi Wira. Pemandangan lain yang belum pernah terjadi, malah dilihatnya malam ini. Senyum Jaya tidak hentinya bersinar ketika bermain dengan Lilis dan Anita. Wira diam-diam memperhatikan mereka dari kamera cctv yang dia pasang di kamar Jaya."Mereka tampak seperti keluarga!" ucap Wira tersenyum sambil fokus memperhatikan laptopnya dimana wajah Anita dan Jaya tidak hentinya membuat matanya takjub."Lilis senang punya sepupu kaya Jaya. Lilis juga mau, Jaya selalu jadi anak aunty!" ucap Lilis yang melompat di kasur super king Jaya."Tentu saja, aku sudah bilang diriku ini akan selalu menjadi anak mama, benarkan Ma?" tanya Jaya menoleh ke arah Anita. Tatapan dua anak itu terlihat polos membuat Anita terpaksa menyetujuinya."Jadi, kapan aunty ku punya hubungan dengan papa tua itu? Aku bahkan belum pernah bertemu dengannya selama ini?" tanya Lilis dengan mulut ceplosnya."Sebelum aku lahir tentu saja, karena itu aku jadi lahir kan? kalau tid