Share

Bab 2: Anak Nakal

Di sebuah ruangan yang astetik, mata Anita membulat melihat pemandangan sekelilingnya. Dia takjub dengan ruangan sang direktur. Banyak barang antik yang tersusun rapi di sisi ruangan beserta tembok yang sengaja dibalut dengan emas.

"Hei! Apa yang kau lihat? Apa kau masih terpukau disaat anakku barusaja kau racuni?" ucap direktur dengan nada suara yang arogan.

"Aku santai begini karena tidak merasa bersalah. Aku tidak meracuni anak kecil itu." balas Anita dengan suara tegas.

"Benarkah? Apa aku harus percaya denganmu? Lihat saja apa yang terjadi padamu, jika Jaya tidak sadarkan diri. Aku buat hidupmu hancur, lebih hancur diriku." ucapnya dengan tegas.

"Kau sudah selesai mengancam? Apa boleh aku pergi?" tanya Anita sambil bangkit. Sebelum direktur menjawab, salah satu asisten pribadinya datang dan langsung berbisik padanya.

"Jaya sudah sadarkan diri. Mari kita pergi melihatnya bersama!" titahnya sambil berjalan lebih dulu sebelum mendapat persetujuan dari Anita.

"Aku banyak pekerjaan, aku tidak bisa mengikuti kemauanmu hari ini. Sampai jumpa dan jangan bertemu kembali!" ujar Anita yang berlari keluar dengan terburu-buru. Dia menarik ponselnya segera dan menghubungi temannya dengan wajah panik.

Sesampai di kafe, Anita segera masuk dan berlari kecil menuju ruangan khusus pemilik kafe. Rani Fatma, salah satu anak konglomerat, rekan sekaligus sahabat baik Anita. Rani tersenyum saat temannya langsung masuk menemuinya.

"Bagaimana hasil wawancaranya? Kau diterima? Kau harus berterima kasih padaku karena aku yang membantumu sampai bisa mendapat pekerjaan itu. Aku dengar, direktur disana wajahnya sangat tampan melebihi tampannya sang malaikat." Goda Rani sambil berjalan menghampiri Anita.

"Kau serius? Tidak ada wawancara disana. Darimana kau dapat informasi itu? Aku malah mendapat kesialan di tempat itu." Jelas Anita yang kesal. Dia membuang dirinya di sofa empuk milik Rani.

"Benarkah? Aku tidak mungkin salah. Biar aku cek dulu. Seharusnya wawancaranya hari ini. Apa kau tidak dapat email baru? Bisa saja mereka mengubah tempatnya atau waktunya?" ucap Rani yang kebingungan. Anita menepuk kepalanya melihat tingkah sahabatnya.

"Oh, aku rupanya salah. Seharusnya jadwalnya sudah usai. Ini jadwal lama. Aku salah mengira, maklum sudah tua tetapi masih perawan." ucap Rani sambil tertawa seorang diri. Anita bangkit, memukul kepala Rani lalu bergegas keluar dengan wajah memerah. Dirinya dipermainkan seperti boneka.

"Sial. Dia pikir siapa, berani mengejekku. perawan tua? Kata itu lebih cocok untuknya." Umpat Anita yang menunggu taksi di depan kafe Rani.

Ting..

Ponselnya berdering tandanya mendapat pesan masuk. Tangan Anita bergerak cepat membuka pesan. Matanya memutar malas membaca pesan yang tidak penting menurutnya.

[Kau, dimana? Pulang lebih awal hari ini. Nenek sudah mengatur jadwal kencanmu. Kali ini, kau harus datang dan mencoba membuka hati untuk laki-laki. Nenek tidak kuat melihatmu terus berjalan seorang diri tanpa pasangan.]

"Nenek! Nenek! Kenapa semua orang semakin menyebalkan hari ini. Apa hari ini adalah hari terburukku?" tanya Anita yang berteriak di pinggir jalan membuat orang lewat menoleh ke arahnya.

**

**

**

Malam semakin larut, Anita baru pulang setelah menduga neneknya sudah tidur lebih awal. Lampu padam di ruang tamu, semakin terukir senyum manis Anita. Baru beberapa langkah menaiki tangga, lampu yang tadinya mati mendadak menyala dengan terang. Anita berhenti berjalan dan menoleh ke belakang dimana seseorang yang tengah dihindari, sedang berdiri sambil melipat kedua tangannya dan menatap Anita tajam.

"Oh, nenek! Nenek membuatku jantungan. Kenapa belum tidur? Ini sudah lewat larut malam. Seharusnya nenek tidur lebih awal. Tidak baik dengan kondisi kesehatan nenek." Omel Anita dengan wajah frustasi.

"Kau mengkhawatirkan nenekmu? Kau seharusnya mengikuti saran nenekmu ini. Sebentar lagi, keluarga kita akan berkumpul. Para sepupumu datang dan membawa pasangan mereka. Lalu, kau? Apa yang kau bawa? Sampai sekarang belum menikah ataupun mendapat pacar." Kata nenek Anita yang menampilkan wajah sedihnya.

"Aku tidak akan datang sendiri." jawab Anita dengan santai.

"Benarkah? Kau sudah punya pacar? Itu bagus, kenalkan pada nenek lebih dulu. Biar nenek nilai, dia orang seperti apa." ucap nenek Anita yang mengubah raut wajahnya dengan senyum senang.

"Aku tidak mengatakan jika aku punya pacar. Aku bisa pergi ke sana bersama nenek kan?" jelas Anita yang sekilas kembali memunculkan amarah neneknya. Anak itu berlari cepat menaiki tangga sebelum mendengar teriakan jahannam neneknya.

"Anita!!!!" 

Di dalam kamar, Anita masih mendengar teriakan neneknya meski sudah menutup pintu dengan rapat. Neneknya sudah tua, tetapi teriakannya tidak berubah sama sekali. Dengan menghela nafas kasar, Anita membuang dirinya ke tempat tidur. Dirinya lelah hari ini dan sangat lelah sampai tidak bisa bangun. Matanya terpejam sempurna hingga pagi mendatang.

Ting.. Ting.. Ting..

Alarm ponsel Anita berdering membuat gadis perawan itu bangun dengan mata masih tertutup. Setelah menghentikan alarmnya, dia kembali berbaring, berniat melanjutkan tidurnya. Namun keponakan manisnya yang berusia sembilan tahun, mengejutkan Anita.

"Aunty, antar aku ke sekolah!" ucapnya sambil menarik tangan Anita. Saat Anita tidak bangun, dia malah menarik kaki Anita membuat Anita terjatuh ke lantai.

"Hei! Kau!!" tunjuk Anita yang menghentikan mulutnya berbicara kasar pada anak kecil. Dia mengelus dadanya, menenangkan amarahnya yang hampir mencapai ubun-ubun.

"Aunty sangat lelah, bisakah kau menyuruh nenek saja yang mengantarmu?" ucap Anita dengan suara lemah lembut dan tersenyum manis.

"No! Aku maunya aunty yang melakukannya." ucapnya sambil mengibas rambut panjangnya yang sengaja dikuncir dua.

"Baiklah! Tunggu beberapa menit!" Hela Anita yang tidak bisa mengalah ketika dirinya melihat wajah cemberut sang keponakan.

"Hore! Hore!" teriaknya dengan senang.

Setelah mengantar keponakannya ke sekolah, Anita singgah ke rumah sakit dimana temannya sedang dirawat disana. Dia menghubungi Rani di tengah perjalanan. Namun, tanpa sengaja Anita bertemu lagi dengan anak kecil yang memeluknya kemarin.

"Loh, anak itu, kenapa bisa ada disini. Apa dia terluka parah atau benar-benar keracunan?" tanya Anita yang berhenti berjalan ketika melihat Jaya dibawa suster dengan kursi roda. Wajah Jaya tampak pucak dan dirinya terus saja menunduk seolah tak bersemangat.

"Hei! Anak kecil! Apa yang kau..." Anita berteriak memanggilnya sambil berjalan menghampiri Jaya, namun anak itu langsung berlari ke arahnya setelah mendengar teriakan Anita. Jaya bahkan bisa berlari cepat memeluk Anita, padahal kondisi tubuhnya sedang lemah.

"Mama! Mama! Kau akhirnya datang!" ucap Jaya yang menangis memeluk Anita.

"Mama? Kenapa kau selalu memanggilku dengan sebutan mama? Apa aku benar mirip dengan mama mu?" tanya Anita yang berjongkok melepas pelukan Jaya.

"Mama, tolong Jaya. Apa mama tidak kasihan melihat Jaya menangis memanggil mama?" ucap Jaya yang terisak di depan Anita.

Suster yang merawat Jaya, berdiri mematung dibelakang Jaya sambil menatap tajam ke arah Anita. Dia memeriksa penampilan Anita dari atas sampai bawah. 

"Anda benar istri sang direktur?" tanya suster sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Bu.. Bukan. Sejujurnya, aku hanya kenal.." Kata Anita terhenti ketika Jaya tiba-tiba menyahut.

"Dia benar, mamaku. Kau tidak lihat, wajah kami sangat mirip?" balas Jaya yang kini tersenyum bahagia. Anita dibuat pusing, bagaimana bisa wajahnya tampak mirip dengan Jaya. Menurutnya, sangat berbeda dan jauh berbeda.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status