Zana terlihat mengangkat wajah, yang tadinya tertunduk. Tampak di bibirnya, senyum yang di paksakan.
Tak butuh waktu lama, hanya beberapa hari saja Zana sudah bisa menerima Harry dengan baik. Zana merawat Harry tak ubahnya seperti anak sendiri.Namun, ada kekhawatiran di hatiku. Semua bermula dua bulan lalu, saat aku dan Rania makan di sebuah restoran khas Bangka. Rania merangkul tanganku seperti biasa. Saat kami tengah bersama, perempuan itu memang selalu menempel padaku. Sikap manja itulah yang membuatku selalu merindukannya. Aku selalu merasa dibutuhkan saat bersama Rania. Tanpa kusadari seseorang mencengkram bagian atas kerah baju yang kugunakan. Aku berusaha memberontak, menarik paksa kerah baju bagian depan dengan kasar, agar tak tercekik. Rania sibuk mencengkram tangan lelaki itu, berusaha membebaskanku. Aku terbatuk-batuk setelah tangan itu terlepas. Spontan aku menoleh ke belakang, dengan emosi meluap. Pun dengan Rania. "Apa maksud semua ini?" Makian yang sempat ku persiapkan tadi, seakan tercekat di tenggorokan tak dapat keluar. Aku tak ubahnya seperti maling yang tertangkap pihak keamanan, dan bersiap diamuk massa. Bibirku kelu, diam seribu bahasa, dengan kepala tertunduk dalam. Bang Fikri dan seorang temannya menatapku tajam, seolah ingin menelanku hidup-hidup. "Jawab aku!"Kali ini bentakanlah yang keluar dari bibir lelaki yang sangat menyayangi Zana itu."Kalian tak berhak memperlakukan suamiku seperti itu, dasar tak punya adab!" ucap Rania penuh emosi. Aku mencengkram pergelangan tangan Rania cukup kuat, memberi kode untuk menyuruhnya diam, hingga ia mengaduh kesakitan. Bukk! Tanpa kusadari, bogem mentah milik teman Bang Fikri mendarat tepat pada pipiku bagian bawah, hingga membuatku terjengkang. Darah segar mengalir dari sudut bibirku. Rania berusaha membantuku untuk bangkit. Semua mata yang hadir tertuju menatapku dan Rania.Entah apa maksud lelaki itu? Bukankah aku tak ada urusan dengannya. Ingin rasanya kubalas tinjunya barusan, kalau saja tak ada Bang Fikri di hadapanku. "Apa? Suami? Pantas saja, perempuan murahan sepertimu, memang pantas untuk lelaki seperti dia," ucap lelaki itu. Aku bangkit dan berlutut kepada Bang Fikri agar tak mengatakan kejadian ini pada Zana. Aku mengatakan, kebersediaanku meninggalkan Rania saat itu juga. Setelah Bang Fikri pergi, aku berusaha meyakinkan Rania, bahwa itu hanya akal-akalanku saja. Tak mungkin juga, aku meninggalkan perempuan yang telah memberiku keturunan itu. Setelah kejadian itu, di hatiku ada rasa khawatir akan kehilangan Zana. Aku benar-benar tak ingin kehilangan perempuan sebaik Zana. Perempuan lembut, yang dengan tulus mengabdikan baktinya untukku. Namun, hari ini, Zana yang kukenal seakan telah pergi. "Cucu, Yah!" rengek Harry meminta susu padaku, aku yang tengah sibuk membuat mi rebus, untuk pengganjal perutku yang mulai keroncongan, menghentikan gerakan tanganku. Kutinggalkan mi yang masih berada di dalam panci dengan api yang sudah kukecilkan, beralih membuatkan susu untuk Harry. Aku menyodorkan sebotol susu untuk Harry, kemudian beralih melanjutkan pekerjaan semula. Setelah merasa perut kenyang, aku kembali mencoba menelpon Zana, tapi masih tak tersambung. Sepertinya, Zana sengaja mematikan ponselnya, agar tak mendapat telpon dariku. Padahal, aku hanya ingin bertanya, bagaimana caranya mengurus Ibu, karena aku sama sekali belum pernah melakukannya. Hari ini adalah hari terkacau dalam hidupku. Hingga jam sembilan pagi, Harry masih belum mandi, demikian juga dengan Ibu. Tentang rumah, jangan ditanya, rumah lebih mirip kapal pecah, dengan beraneka mainan milik Harry berhamburan memenuhi penjuru ruangan. Piring kotor memenuhi wastafel. Baju di mesin cuci membubung tinggi hingga meluber keluar. Zana memang biasanya mencuci dua hari sekali. Perasaan kacau membuat rasa Maluku hilang. Dengan memasang muka tebal, aku pergi meminta bantuan Kak lila untuk mengurus Ibu. "Tumben! Memangnya, Zana kemana, Kal?" tanya Kak Lila saat kuutarakan niatku. Mukaku memerah. Tiba-tiba perasaan bersalah pada Zana memenuhi kepalaku. Zana bahkan tak pernah meminta bantuan tetangga untuk mengurus tubuh renta Ibu dan bayi kecil Harry. Padahal, Ibu hanyalah mertua bagi Zana, sedangkan Harry hanyalah anak angkat. Tepatnya, putraku dan Rania. Jika sesekali Harry berada di rumah Kak Lila, itu bukan keinginan Zana, tapi Kak Lila yang meminta. Sedangkan aku, belum genap dua jam Zana pergi, aku sudah meminta bantuan orang lain untuk mengurus Ibu—ibuku sendiri. Kata-kata sinis yang keluar dari bibir Zana pagi tadi, kembali berputar di kepalaku. Apa maksud Zana berkata, jika dia menikah denganku bukan untuk dijadikan babu? Mungkinkan Zana sudah mengetahui semuanya? Apakah Zana sudah mengetahui bahwa Harry adalah anakku? Aku memang ingin punya anak, tapi aku tak ingin pisah dari Zana. Tiba-tiba kepalaku berdenyut nyeri, membayangkan Zana akan pergi dariku, dengan degup jantung yang berpacu kian cepat. Aku tak ingin kehilangan Zana. Apa pun yang terjadi, aku tak akan melepaskan Zana untuk pergi dariku. Tekadku. Jika bukan dia, siapa lagi yang akan merawat Ibu dan Harry? aku harus bisa membuatnya tetap bersamaku.Pukul Setengah satu siang, setelah melakukan kewajiban seorang hamba, dan memenuhi hak perut untuk diisi. Aku mengikuti Farah, kemana ia akan membawaku hari ini. Kami mulai melaju di jalanan ramai, meski tak seramai ibu kota. Aku duduk di samping kursi kemudi, dengan debar hati tak karuan, memikirkan akan seperti apa takdir yang tengah menungguku di depan sana. Farah duduk di depan kemudi, melajukan kendaraan roda empat berwarna putih, yang ia beli dari hasil kerja kerasnya bulan lalu. "Kamu kenapa sih, Na? Gak usah tegang gitu, Na," ucap Farah berusaha mencairkan hatiku. "Entah lah, Fa."Aku mengedarkan pandangan, menyapu jalanan kota, memindai setiap yang kami lalui dengan tatapan kosong. Kepalaku terasa penuh sesak, hingga tak mampu lagi berpikir tentang hal-hal di sekelilingku. "Nih, minum dulu!" Farah menjulurkan tangan kirinya yang berisi sebotol air mineral kemasan, untukku. Sedang tangan kanannya memegang kemudian. Aku menerimanya, dan langsung meminumnya sedikit. "Makas
"Cukup banyak!""Kok bisa?""Aku udah bergerak satu langkah di depanmu, Na! Sekarang kau tinggal katakan, kita mau apa sekarang? Kau harus kuat, dan tak boleh cengeng, Na. Zana yang kukenal orangnya kuat, gak lembek!" ujar Farah terdengar seperti sindiran. Aku tersenyum kecut mendengar kata-kata terakhir Farah. Apakah diri ini benar-benar sudah berubah menjadi cengeng sekarang? "Apakah kita harus masuk, Fa?" Aku bertanya. "Tak harus sekarang, Na. Perempuan itu pun sedang tak ada di rumah jam segini."Belum sempat aku bertanya banyak hal ke Farah. Mataku membulat utuh, saat pandanganku tertuju pada seseorang yang sangat kukenal, baru saja keluar dari rumah yang sedari tadi jadi objek pembicaraan kami. Perempuan itu duduk di kursi teras yang menghadap taman, sebelah kanan rumah. Seperti menunggu seseorang. "Fa! Liat tuh!"Aku menunjuk ke arah yang sejak tadi menyita perhatianku. Farah mengikuti ke mana arah telunjukku terarah. Pandangan kami terhenti pada sosok yang sama. "Kua ken
Aku menarik bahu Sinta yang berada di genggamanku, memutar posisi tubuhnya untuk kembali menghadap ke arahku. Sinta tak menolak, entah karena apa, dia hanya menurut dengan semua perlakuanku. Kutatap Sinta dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sintia berusaha menghindar tatapanku. Ada yang tak biasa dengan tubuh gadis berstatus belum menikah itu. Perut Sinta seperti wanita yang tengah memasuki kehamilan usia tua.Aku mengangkat dagu Sinta, agar menatap tepat pada mataku, "Kamu ngapain di sini?" tanyaku dengan menatap tajam netra Sinta. "A—aku kerja di sini, Kak!" jawab Sinta terbata-bata. Aku tersenyum sinis mendengarnya, sambil melepas kasar pegangan tanganku pada dagu Sinta. Setelah melihat Sinta dengan wajah piasnya tadi, aku bisa menebak jika ada yang mereka tutupi dariku. Sedangkan Farah hanya bergeming, dengan posisi duduk santai di lantai teras menghadap ke arah kami. Sesekali mengecek posisi benda yang di pasangnya tdi, agar tetap dalam posisi tepat. "Jawab jujur pertanyaan
Aku melirik sinis ke arahnya. Perempuan itu seakan tak memiliki rasa bersalah sedikit pun saat melihatku. Farah terlihat mengepal tangannya, dengan deru napas naik turun"Iya, Bu! Coba Ibu lebih cepat datang, pasti aku gak bakal kena maki-maki dari tadi, huh!" adu Sinta pada Rania yang kini sudah duduk di kursi teras, yang tadi didudukinya. Rania mengangkat satu kaki dan menimpakan pada kaki lainnya, menyender punggungnya pada sandaran kursi. Wajahku serasa tebakar, mendengar ucapan Sinta barusan. Bisa-bisanya perempuan dengan wajah polosnya tadi kini bak ular berbisa. Emosi di kepalaku kian meletup-letup. Jika bukan sebagai tamu, maka sudah kupastikan tanganku ini akan mendarat di bibir perempuan licik itu. Plak! Plak! "Auu!" teriak Sinta kesakitan. Tangannya spontan mengusap pipi yang mulai tampak kemerahan. Aku tersentak, lalu menoleh ke arah Farah. Dua kali tamparan mendarat dengan sempurna di kedua pipi Sinta. Entah kapan Farah bangkit dari duduk santainya. Kini mata sahabatk
Mentari sudah semakin condong ke arah barat, sebentar lagi waktu ashar akan menyapa. Di dapur rumah orang tuanya, Haikal berjalan mondar-mandir dengan tangan menggenggam ponsel miliknya. Wajahnya tampak gusar, menanti Sang istri yang tak kunjung pulang. Beberapa kali menelpon pun hasilnya masih sama, Sang operatorlah yang menjawab sambungan telponnya. Pesan yang ia kirimkan sejak siang tadi masih centang satu, pertanda belum masuk Dari pagi tadi, Harry sudah dititipkannya di rumah Kak Lila, hingga sekarang belum dijemputnya. Beberapa kali terlihat Haikal mengusap wajahnya dengan kasar. Jika bukan karena ibunya, mungkin Haikal tak akan segusar ini menunggu kepulangan Zana. Ya, perempuan renta itu masih belum makan hingga sore ini. Beberapa kali ibunya hanya membasahi kerongkongannya dengan air putih saja.Haikal begitu khawatir dengan ulah Sang Ibu. Beberapa kali membujuk pun tak ada hasil. Beberapa kali Haikal melihat ibunya, perempuan itu tengah menyeka air mata dengan tangan kiri
Aku kembali menatap Farah dengan tatapan tak paham, sembari mengayunkan langkah berjalan beriringan dengannya. "Jangan khawatir, setelah sampai rumahku nanti, akan kuceritakan semuanya!" ujar Farah setelah duduk di kursi belakang kemudi, membuat bibirku berhenti melempar tanya. Mobil yang Farah kendarai, kembali melaju di jalanan aspal. Selang beberapa menit suara adzan terdengar bersahutan, dari satu masjid ke masjid lainnya di tengah kota tempat di mana kami berada. "Fa, kita berhenti di masjid di depan saja, ya?" ucapku dengan telunjuk terangkat, menunjuk ke arah sebuah masjid dengan menara yang sudah nampak dari sini. "Siap!" jawab Farah singkat dengan tangan dalam posisi 'hormat'. Tak lama setelahnya, mobil sudah terparkir sempurna di depan bangunan masjid besar yang didominasi warna hijau di tengah kota. Kuhirup dalam-dalam aroma ketenangan, setelah tubuh ini berada di dalam masjid, seusai berwudhu. Kali ini, aku ingin menunaikan kewajibanku di masjid. Meluahkan segala luka
Mataku membulat utuh, dengan mulut menganga lebar. Rasa tak percaya dengan apa yang kulihat. Ternyata Pak Hartono yang disebut-sebut Farah tadi adalah suami Tante Nadia—tantenya Farah. Beberapa foto hingga video yang memperlihatkan keintiman dua orang berbeda jenis, dan terpaut usia yang cukup jauh. Ya, Om Hartono sudah berusia lebih dari setengah abad, sedangkan Rania lebih muda dariku. "Asli, Fa. Gil*! Demi apa coba, dalam waktu bersamaan menjalin hubungan dengan dua lelaki beristti." Berkali-kali kugelengkan kepala dengan dahi berkerut. Rasa tak habis pikir, jika di dunia ini ada perempuan separah Rania. Aku sampai merinding melihat Rania yang dengan santainya, menggelendot di bahu Om Hartono, lelaki yang hampir seumuran ayahku. "Kok, bisa punya rasa ya, Fa?" Aku bertanya kurang yakin dengan apa yang kulihat. "Demi uang, Na, semuanya bisa terjadi," ucap Farah terdengar santai. Aku mengangguk pelan, mengiyakan jawaban Farah barusan. Om Hartono memang seorang pengusaha di bidan
"Aku ingin pulang saja, Fa!" ucapku, seraya bergegas berdiri. "Ke mana? Tadi, katanya lelah?" "Ke rumah mertuaku saja."Farah terlihat mengerutkan dahinya, lalu menghembuskan napas panjang dari mulutnya. "Ibu membutuhkan aku, Fa! Aku tak tega membiarkannya bersedih terlalu lama." Tak terasa mataku mengembun. Kebencianku kepada Bang Haikal semakin menggunung. Karena ulahnya, lah, Ibu jadi begini. "Apakah kau masih akan bertahan dengan lukamu, Na? Haikal bukanlah orang yang tepat untuk kau perjuangkan!" tanya Farah tak bersemangat. Kuraih pundah Farah, menatap lekat mata sahabatku itu, "Beri aku waktu, Fa! Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk pergi.""Baiklah!" ucap Farah, setelah beberapa saat terdiam. "Jangan menangis lagi!" Lanjutnya, seraya tertawa kecil. "Iya, iya … semoga kau berjodoh dengan lelaki yang menjaga kuat kepercayaan, supaya kau tak mengalami nasib sepertiku." Farah merangkul tubuhku, mengusap lembut punggungku, "Aku tak ikhlas kau diperlakukan begini," uc