Lelaki mana yang tak bahagia, jika memiliki tempat berlabuh lebih dari satu. Itulah yang kurasakan sekarang.
Aku memiliki dua istri sejak tiga tahun terakhir. Ya, setelah aku menikahi Rania—seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta yang kukenal, lewat temanku, Kamal. Sampai sekarang aku tak mengerti, apa alasan Rania bersedia menikah dengan pria beristri sepertiku. Awalnya, aku tak begitu tertarik dengan Rania, perempuan dengan tinggi badan tak lebih dari 150 senti meter itu. Wajahnya pun terkesan biasa saja menurutku, karena Zana jauh lebih cantik dibandingkan Rania. Tapi sikap manja Rania akhirnya membuatku luluh. Sikap yang tak dimiliki Zana, istri pertamaku. Zana seorang gadis cantik dengan kulit putih, berfostur tubuh ideal. Sungguh aku sangat beruntung memilikinya. Selain itu, Zana istri penurut, yang selalu melayaniku dengan baik. Bahkan tak pernah terdengar kata-kata kasar yang keluar dari bibir indahnya. Tak hanya itu, Zana bahkan dengan ikhlas merawat ibuku yang terkena stroke tiga tahun terakhir ini. Merawat penderita stroke bukanlah hal mudah. Namun, Zana melakukannya dengan baik. Tak sia-sia Ibu memperlakukan Zana bak ratu saat beliau masih sehat dulu, hingga aku merasa seperti anak angkat saat melihat keakraban mereka. Ternyata, Ibu melakukan semua itu pada orang yang tepat. Tak pernah kudengar Zana mengeluh, atau memintaku untuk mencarikan pembantu untuknya. Hanya saja, Zana tak kunjung memiliki tanda-tanda ada manusia baru yang tumbuh di rahimnya. Itulah salah satu alasanku menikah dengan Rania, pastinya secara siri. Aku memiliki usaha sebagai pengepul hasil panen sawit dan karet, di beberapa kampung. Dengan pekerjaan tanpa terikat jam kerja, membuatku lebih mudah mengatur jadwal, kapan bersama Rania dan kapan harus pulang, tanpa harus terikat waktu. Ilman anak buah sekaligus kaki tanganku, siap menghandle pekerjaanku, saat jadwalku bersama Rania. Zana tak pernah curiga denganku, karena tak ada perubahan mencolok yang kutampilkan. Perasaanku tak jauh berbeda padanya, pun dengan nafkah lahir. Tak ada yang berkurang dari jatah belanjanya, karena Rania tak butuh uangku. Begitulah yang ia katakan saat berusaha menaklukkan hatiku dulu. Nyatanya memang benar, Rania hanya butuh nafkah batin dariku. wajar saja Rania tak meminta harta apapun padaku, karena secara materi Rania hidup berlebih. Terlihat dari rumah megah berlantai dua yang dihuni Rania di pinggir kota, bersama seorang pembantunya. Bukankah aku termasuk lelaki yang beruntuk, memiliki istri pertama dengan penuh cinta merawat keluargaku, dan istri kedua yang hidup mandiri tanpa menyusahkanku.Belum genap sebulan menikah, Rania dinyatakan positif hamil. Aku sangat bahagia, karena akan segera memiliki anak, meski bukan dari Zana. Aku semakin yakin, kalau sebenarnya Zana memang mandul. Genap sembilan bulan menikah, Rania melahirkan Harry. Anak laki-laki yang tak mirip aku ataupun ibunya, Rania bilang, Harry lebih mirip adik lelakinya yang tengah kuliah di Bandung. Aku pun tak ambil pusing, yang penting aku sudah memiliki anak. Saat usia Harry baru empat bulan, Rania meminta hal tak tak biasa padaku. Rania memintaku untuk membawa Harry putra kami ke rumahku, agar Zana yang merawatnya, dengan alasan dirinya tak punya cukup waktu untuk merawat Harry. Ada rasa tak tega pada Zana. Istriku itu sudah terlalu lelah seharian mengurus keperluanku, dan merawat ibuku. Kini harus bertambah lagi harus mengurus Harry. Awalnya aku menolak keinginan Rania yang tak masuk akal, karena di rumahnya juga ada pembantu. Tapi perempuan itu mengancam, akan menitipkan Harry di panti asuhan. Ah, kurasa Rania sudah tak waras. Akhirnya aku menyetujui permintaannya itu. Aku membawa Harry ke rumahku bersama Ilman waktu itu. Ilman tahu persis kisahku dengan Rania, tapi ia sudah kuancam, aku akan membongkar rahasia besarnya, jika berani membongkar perselingkuhanku. "Kenapa gak bilang dulu sama Zana, Bang?"Tanya Zana, saat aku pulang bersama Harry dan Ilman. Nampak wajahnya terlihat kurang bersahabat. Zana pasti merasa tak nyaman dengan keberadaan bayi mungil yang tengah kugendong."Ini anak sepupu temen Abang, Na. Ibunya meninggal saat melahirkannya," ucapku berbohong, dengan menampilkan wajah sendu. Kebohongan yang diajarkan Rania saat menyuruhku membawa Harry. Ya, Ranialah yang telah merancang semuanya dan aku hanya sebagai pelakon dari setiap rencananya.Zana terdiam cukup lama, matanya terlihat berkabut. Sebenarnya, tak tega menyakiti perempuan sebaik Zana. Namun, apa boleh buat, dari pada Harry dititip di panti asuhan. "Tak perlu sedih, Na, semoga dengan ini, kita bisa benar-benar dikasih kepercayaan nantinya."Aku berusaha meyakinkan istriku agar dia bersedia menerima Harry persis anak sendiri.Zana terlihat mengangkat wajah, yang tadinya tertunduk. Tampak di bibirnya, senyum yang di paksakan. Tak butuh waktu lama, hanya beberapa hari saja Zana sudah bisa menerima Harry dengan baik. Zana merawat Harry tak ubahnya seperti anak sendiri.Namun, ada kekhawatiran di hatiku. Semua bermula dua bulan lalu, saat aku dan Rania makan di sebuah restoran khas Bangka. Rania merangkul tanganku seperti biasa. Saat kami tengah bersama, perempuan itu memang selalu menempel padaku. Sikap manja itulah yang membuatku selalu merindukannya. Aku selalu merasa dibutuhkan saat bersama Rania. Tanpa kusadari seseorang mencengkram bagian atas kerah baju yang kugunakan. Aku berusaha memberontak, menarik paksa kerah baju bagian depan dengan kasar, agar tak tercekik. Rania sibuk mencengkram tangan lelaki itu, berusaha membebaskanku. Aku terbatuk-batuk setelah tangan itu terlepas. Spontan aku menoleh ke belakang, dengan emosi meluap. Pun dengan Rania. "Apa maksud semua ini?" Makian yang sempat ku persi
Pukul Setengah satu siang, setelah melakukan kewajiban seorang hamba, dan memenuhi hak perut untuk diisi. Aku mengikuti Farah, kemana ia akan membawaku hari ini. Kami mulai melaju di jalanan ramai, meski tak seramai ibu kota. Aku duduk di samping kursi kemudi, dengan debar hati tak karuan, memikirkan akan seperti apa takdir yang tengah menungguku di depan sana. Farah duduk di depan kemudi, melajukan kendaraan roda empat berwarna putih, yang ia beli dari hasil kerja kerasnya bulan lalu. "Kamu kenapa sih, Na? Gak usah tegang gitu, Na," ucap Farah berusaha mencairkan hatiku. "Entah lah, Fa."Aku mengedarkan pandangan, menyapu jalanan kota, memindai setiap yang kami lalui dengan tatapan kosong. Kepalaku terasa penuh sesak, hingga tak mampu lagi berpikir tentang hal-hal di sekelilingku. "Nih, minum dulu!" Farah menjulurkan tangan kirinya yang berisi sebotol air mineral kemasan, untukku. Sedang tangan kanannya memegang kemudian. Aku menerimanya, dan langsung meminumnya sedikit. "Makas
"Cukup banyak!""Kok bisa?""Aku udah bergerak satu langkah di depanmu, Na! Sekarang kau tinggal katakan, kita mau apa sekarang? Kau harus kuat, dan tak boleh cengeng, Na. Zana yang kukenal orangnya kuat, gak lembek!" ujar Farah terdengar seperti sindiran. Aku tersenyum kecut mendengar kata-kata terakhir Farah. Apakah diri ini benar-benar sudah berubah menjadi cengeng sekarang? "Apakah kita harus masuk, Fa?" Aku bertanya. "Tak harus sekarang, Na. Perempuan itu pun sedang tak ada di rumah jam segini."Belum sempat aku bertanya banyak hal ke Farah. Mataku membulat utuh, saat pandanganku tertuju pada seseorang yang sangat kukenal, baru saja keluar dari rumah yang sedari tadi jadi objek pembicaraan kami. Perempuan itu duduk di kursi teras yang menghadap taman, sebelah kanan rumah. Seperti menunggu seseorang. "Fa! Liat tuh!"Aku menunjuk ke arah yang sejak tadi menyita perhatianku. Farah mengikuti ke mana arah telunjukku terarah. Pandangan kami terhenti pada sosok yang sama. "Kua ken
Aku menarik bahu Sinta yang berada di genggamanku, memutar posisi tubuhnya untuk kembali menghadap ke arahku. Sinta tak menolak, entah karena apa, dia hanya menurut dengan semua perlakuanku. Kutatap Sinta dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sintia berusaha menghindar tatapanku. Ada yang tak biasa dengan tubuh gadis berstatus belum menikah itu. Perut Sinta seperti wanita yang tengah memasuki kehamilan usia tua.Aku mengangkat dagu Sinta, agar menatap tepat pada mataku, "Kamu ngapain di sini?" tanyaku dengan menatap tajam netra Sinta. "A—aku kerja di sini, Kak!" jawab Sinta terbata-bata. Aku tersenyum sinis mendengarnya, sambil melepas kasar pegangan tanganku pada dagu Sinta. Setelah melihat Sinta dengan wajah piasnya tadi, aku bisa menebak jika ada yang mereka tutupi dariku. Sedangkan Farah hanya bergeming, dengan posisi duduk santai di lantai teras menghadap ke arah kami. Sesekali mengecek posisi benda yang di pasangnya tdi, agar tetap dalam posisi tepat. "Jawab jujur pertanyaan
Aku melirik sinis ke arahnya. Perempuan itu seakan tak memiliki rasa bersalah sedikit pun saat melihatku. Farah terlihat mengepal tangannya, dengan deru napas naik turun"Iya, Bu! Coba Ibu lebih cepat datang, pasti aku gak bakal kena maki-maki dari tadi, huh!" adu Sinta pada Rania yang kini sudah duduk di kursi teras, yang tadi didudukinya. Rania mengangkat satu kaki dan menimpakan pada kaki lainnya, menyender punggungnya pada sandaran kursi. Wajahku serasa tebakar, mendengar ucapan Sinta barusan. Bisa-bisanya perempuan dengan wajah polosnya tadi kini bak ular berbisa. Emosi di kepalaku kian meletup-letup. Jika bukan sebagai tamu, maka sudah kupastikan tanganku ini akan mendarat di bibir perempuan licik itu. Plak! Plak! "Auu!" teriak Sinta kesakitan. Tangannya spontan mengusap pipi yang mulai tampak kemerahan. Aku tersentak, lalu menoleh ke arah Farah. Dua kali tamparan mendarat dengan sempurna di kedua pipi Sinta. Entah kapan Farah bangkit dari duduk santainya. Kini mata sahabatk
Mentari sudah semakin condong ke arah barat, sebentar lagi waktu ashar akan menyapa. Di dapur rumah orang tuanya, Haikal berjalan mondar-mandir dengan tangan menggenggam ponsel miliknya. Wajahnya tampak gusar, menanti Sang istri yang tak kunjung pulang. Beberapa kali menelpon pun hasilnya masih sama, Sang operatorlah yang menjawab sambungan telponnya. Pesan yang ia kirimkan sejak siang tadi masih centang satu, pertanda belum masuk Dari pagi tadi, Harry sudah dititipkannya di rumah Kak Lila, hingga sekarang belum dijemputnya. Beberapa kali terlihat Haikal mengusap wajahnya dengan kasar. Jika bukan karena ibunya, mungkin Haikal tak akan segusar ini menunggu kepulangan Zana. Ya, perempuan renta itu masih belum makan hingga sore ini. Beberapa kali ibunya hanya membasahi kerongkongannya dengan air putih saja.Haikal begitu khawatir dengan ulah Sang Ibu. Beberapa kali membujuk pun tak ada hasil. Beberapa kali Haikal melihat ibunya, perempuan itu tengah menyeka air mata dengan tangan kiri
Aku kembali menatap Farah dengan tatapan tak paham, sembari mengayunkan langkah berjalan beriringan dengannya. "Jangan khawatir, setelah sampai rumahku nanti, akan kuceritakan semuanya!" ujar Farah setelah duduk di kursi belakang kemudi, membuat bibirku berhenti melempar tanya. Mobil yang Farah kendarai, kembali melaju di jalanan aspal. Selang beberapa menit suara adzan terdengar bersahutan, dari satu masjid ke masjid lainnya di tengah kota tempat di mana kami berada. "Fa, kita berhenti di masjid di depan saja, ya?" ucapku dengan telunjuk terangkat, menunjuk ke arah sebuah masjid dengan menara yang sudah nampak dari sini. "Siap!" jawab Farah singkat dengan tangan dalam posisi 'hormat'. Tak lama setelahnya, mobil sudah terparkir sempurna di depan bangunan masjid besar yang didominasi warna hijau di tengah kota. Kuhirup dalam-dalam aroma ketenangan, setelah tubuh ini berada di dalam masjid, seusai berwudhu. Kali ini, aku ingin menunaikan kewajibanku di masjid. Meluahkan segala luka
Mataku membulat utuh, dengan mulut menganga lebar. Rasa tak percaya dengan apa yang kulihat. Ternyata Pak Hartono yang disebut-sebut Farah tadi adalah suami Tante Nadia—tantenya Farah. Beberapa foto hingga video yang memperlihatkan keintiman dua orang berbeda jenis, dan terpaut usia yang cukup jauh. Ya, Om Hartono sudah berusia lebih dari setengah abad, sedangkan Rania lebih muda dariku. "Asli, Fa. Gil*! Demi apa coba, dalam waktu bersamaan menjalin hubungan dengan dua lelaki beristti." Berkali-kali kugelengkan kepala dengan dahi berkerut. Rasa tak habis pikir, jika di dunia ini ada perempuan separah Rania. Aku sampai merinding melihat Rania yang dengan santainya, menggelendot di bahu Om Hartono, lelaki yang hampir seumuran ayahku. "Kok, bisa punya rasa ya, Fa?" Aku bertanya kurang yakin dengan apa yang kulihat. "Demi uang, Na, semuanya bisa terjadi," ucap Farah terdengar santai. Aku mengangguk pelan, mengiyakan jawaban Farah barusan. Om Hartono memang seorang pengusaha di bidan