"Semakin ke sini aku semakin merasa bersalah pada Zana. Aku tak ingin terus-terusan dihantui perasaan yang sama, atau bahkan lebih. Aku yakin, hanya dengan melihatku saja, Zana masih merasakan luka yang dulu kuciptakan, jadi kumohon, jangan membuatku merasa lebih tak nyaman karena aku sangat menikmati kehidupanku sekarang. Kehidupan yang tak lepas dari peran Zana di dalamnya."Apa yang dikatakan Rania benar adanya. Ia sangat menikmati saat sekarang, saat Harry mulai bisa menerimanya, membuat hatinya dipenuhi haru. "Jika Abang sayang aku dan Harry, maka akhirilah hubungan yang menyakiti banyak pihak ini. Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku tak ingin tersiksa saat mengingat kembali caraku menghancurkan perasaan Zana dulu."Haikal membatu. Ia tak menyangka jika Rania akan mengatakan hal yang tidak pernah ia sangka seperti saat ini. "Kau tak perlu memikirkan orang lain, pikirkan saja perasaan kita berdua. Aku tau kau masih sangat mencintaiku." Haikal berusaha membujuk, berharap Rani
"Tak apa, aku hanya heran melihatmu yang tak seperti biasa." Amar berusaha mengalih perhatian Hendri. "Apa kau sudah jatuh cinta pada pandangan pertama?" Amar menggoda anak buahnya itu. Di luar keduanya memang terlihat tak ubah seperti teman. Amar sangat pintar menempatkan posisi. Ia tak begitu suka jika di luar kantor, Hendri atau anak buah yang lain menganggapnya seformal di kantor. Meski untuk panggilan, Hendri memanggilnya dengan embel-embel yang sama. Pak. Hendri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah. Malu jika dirinya harus mengakui rasa yang tiba-tiba datang tanpa permisi. "Sudah sewajarnya kamu cari pengganti almarhumah istrimu, Hen. Kamu masih sangat muda dan memiliki seorang putri yang sangat butuh sosok ibu."Hendri begeming, hatinya membenarkan perkataan Amar barusan. Namun rasanya terlalu cepat untuk mengatakan jika dirinya menaruh hati pada perempuan bergamis hitam yang baru saja ia lihat. Ia bahkan belum tahu nama perempuan itu. "Kau menar
Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Ya, Rania akan menikah dengan Hendri. Lelaki itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Atas permintaan Rania, aku dan Bang Amar bercerita banyak tentang masa lalu beserta perubahan Rania pada Hendri, berharap Hendri bisa menerima apa adanya dan lebih mampu memahami Rania saat Hendri mengutarakan niatnya untuk serius pada Rania. Bahkan aku dan Bang Amar lah yang menjadi penyatu keduanya. Tentang Bang Haikal, kabar terakhir yang kudengar dari Kak Naima, mantan suamiku itu masih sendiri setelah Rania menolak untuk kembali. "Semoga sakinah hingga maut memisahkan." Do'a Farah. "Jujur, Na. Aku pun merasa iba pada Rania. Tapi saat mengingat wajah angkuhnya dulu, rasa itu memudar." "Semua pernah melakukan kesalahan, Fa, pun dengan Rania. Aku merasa aku masih di bawahnya. Aku tak tahu harus bagaimana jika aku yang berada di posisi Rania. Ia sangat butuh dukungan. Luka yang kurasakan karena sebuah penghianatan kurasa tak sebanding dengan luka yang ia
"Nya, minyum!"Lirih suara perempuan ringkih itu berbicara khas penderita stroke, lidahnya kesulitan melafadzkan huruf sesuai tempatnya. Namun, aku cukup tahu apa yang beliau katakan. Ya, perempuan itu tengah memintaku untuk mengambilkan minum untuknya. Bergegas aku mendekat. Tangan yang semula sibuk mengupas kentang persiapan memasak sayur sup untuk makan siang nanti, kugeletakkan begitu saja. Kuulurkan segelas air beserta sedotan panjang, untuk mempermudah saat ia meminumnya. "Minum yang banyak, Bu! Supaya ginjal Ibu selalu sehat!" ucapku menyemangati. Ibu memaksakan bibir kakunya untuk tersenyum, mata kuyunya menatap berbinar ke arahku. "Makasih, Nya." Ucapan keluar dari bibir kaku itu. Kata-kata yang puluhan kali diucapkannya dalam sehari, dan ditujukan untukku. Aku menjawabnya dengan senyuman dan usapan lembut di tangan keriputnya. Perempuan itu bernama Muslimah—ibu dari suamiku—Bang Haikal. Ibu meminum hingga habis setengahnya. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku semula, s
Aku masih sibuk membersihkan kotoran Ibu, saat Bang Haikal pulang kerja. Ibu baru saja buang air besar di popok yang belum genap dua jam kupakaikan. Tak ada rasa benci sedikit pun di hatiku untuk Ibu, meski putranya telah menoreh luka sangat dalam di hatiku. Dan tak ada yang berubah dari pelayanan ku untuk perempuan lembut itu. "Harry, di mana, Dik?"Pertanyaan pertama yang dilontarkan Bang Haikal, saat menghampiriku di dapur. Ibu memang kutempatkan di dapur saat siang hari, tujuanku agar mudah memenuhi keinginan Ibu, karena waktuku banyak kuhabiskan di dapur. Beliau akan kupindahkan ke kamarnya saat menjelang waktu tidur. "Di rumah Kak Lila, Bang!" ucapku tanpa menoleh. Kak Lila adalah tetangga samping rumah, juga merupakan keluarga jauh dari Ibu. Semenjak Harry bersama kami, Bang Haikal lebih ceria. Setiap pulang dari mana saja, Harry-lah yang pertama ditemuinya. Memang, sejak dua tahun menikah, Bang Haikal kerap menanyakan apakah ada tanda-tanda titipan itu datang, mungkin saki
[Apakah Zana masih belum tahu tentang kita, Sayang?][Kamu tenang saja, Zana perempuan penurut, dia bahkan tak pernah membuka ponselku. Zana juga mengurus Harry dengan sangat baik, persis seperti anak sendiri!][Benarkah? Oh, ya, Harry bagaimana kabarnya, Bang?"][Iya, Sayang! Harry sehat! Dia makin gemesin loh, sekarang udah mulai pinter ngomong.][Makasih, ya, udah ngerawat anak kita dengan baik.]Seluruh tubuhku terasa bergetar, kaki seakan tak kuat menopang bobot tubuh, hingga harus menyenderkannya di dinding kamar mandi agar tak ambruk. Jantung berpacu kian cepat, air mata menerobos kian deras, aku menangis dengan membekap kuat mulut agar tak bersuara. Ternyata aku hanya dimanfaatkan oleh suamiku sendiri. Lebih dari setengah jam sudah aku menangis, emosiku sulit untuk kukendalikan. Kuusap naik turun dengan kuat dada yang sesak oleh luka, berharap sedikit reda. Aku sudah tak kuat lagi untuk membaca semua tentang kelicikan mereka, yang telah memperbudakku selama ini. Segera kukir
Aku beranjak meraih kunci motor yang tergantung di pintu kamar, tanpa mempedulikan kalimat-kalimat permohonan yang keluar dari bibir manusia munafik itu. Namun, tangan kekar miliknya mencekal pergelangan tanganku. "Kau kenapa, sih, Dek? Ngobrol kalau Abang ada salah! Jangan asal pergi!" Ucapan Bang Haikal terdengar membentak. Aku mengibaskan tangannya kuat-kuat, tapi tetap aku kalah kuat. "Lepaskan! Aku juga ingin bebas! Aku menikah bukan untuk jadi babu tanpa gaji dan tak dihargai seperti ini!"Akhirnya kata-kata itu lolos begitu saja dari bibirku, tanpa mampu kutahan. Aku berucap dengan geraham mengeras menahan emosi, serta mata seakan ingin keluar. Hanya dengan melihat wajahnya saja amarahku mampu naik ke ubun-ubun. Nyali lelaki itu nampak ciut, dan melepaskan cekalan tangannya di pergelangan tanganku. Sepertinya Bang Haikal tak menyangka aku akan seberani ini padanya, muka yang tadinya emosi, sekarang terlihat menegang, aku tetap tak peduli. Aku cukup tahu, jika sikapku tak s
Aku menatap Ibu dengan tatapan heran bercampur tanya, menunggu kalimat selanjutnya dari bibir perempuan yang sangat kuhormati itu. Namun, cukup lama Ibu hanya bergeming, hingga rasa tak sabar di hatiku menyeruak. "Maksud Ibu?"Ibu menatapku lama, dengan tatapan Iba. Tangannya kini sibuk meremas jemariku, seakan inginmentransfer kekuatan agar hatiku tetap kuat. "Dua bulan lalu, Fikri telah lebih dulu mengatakanhal yang sama pada Ibu," ucap Ibu dengan hati-hati. "Kenapa Ibu dan Bang Fikri menyembunyikannya dariku, Bu?" tanyaku sedikit kesal. Kami empat bersaudara. Bang Farhan anak pertama, Bang Hamka anak kedua, dan Bang Fikri terakhir sebelum aku. Kami semua sudah berkeluarga, kecuali Bang Fikri. Meski di usia yang sudah menginjak angka 31, Bang Fikri belum juga bertemu tulang rusuknya yang hilang. Kini, abangku itu tengah meneruskan pendidikan S2-nya yang sempat tertunda, sambil membuka usaha percetakan di kota Pangkalpinang, kota yang rencananya akan kukunjungi hari ini. "Kau ma