Sebelum jam sepuluh, aku sudah sampai di rumah orang tua. Hari ini aku mengenakan kaos abu-abu dilapisi blazer navy hadiah dari Gayatri, mantanku. Bahawan jeans berwarna navi serasi dengan warna blazzer yang kubeli di mall dengan harga diskon saat jelang hari raya idul fitri tahun lalu. Meskipun aku ini anak orang kaya, aku dituntut hidup hemat oleh Papa.
Di ruang tamu, Mama dan Papa duduk berdampingan di kursi kayu dengan sandaran berpatri ukiran khas Bali bermotif burung merak. Kami duduk berhadapan.
“Erika mana?” tanya Papa, sembari menoleh ke arah pintu masuk rumah. Berharap sosok calon menantunya itu segera datang.“Mungkin gak akan datang karena sibuk,” jawabku.Walaupun aku ingin membantu Erika di dapur, aku tidak bisa melakukannya karena Papa berkata kalau urusan dapur adalah urusan para wanita. Padahal, Papa sudah tahu kalau aku, putranya ini pandai memasak. Akhirnya aku terpaksa hanya duduk di sebelah Papa yang memainkan smarthphonenya. Bukan untuk bermain jejaring sosial tapi, Papa lebih banyak menggunakan benda pipih itu untuk urusan bisnis.“Papa, memangnya bisnis Papa masih lancar?”“Lancar!” Papa menjawab dengan santai. “Sebenarnya Pras cuma mau tahu, kenapa Papa mau saja mengikat janji dengan Om Jayanta untuk menikahkan anak kalian?” ta
“Asin!” komentar Mama. Dia bergegas ke dapur kemudian dalam sekejap keluar dengan membawa dua gelas air. Satunya disodorkan kepada Papa yang terlihat megusap bibir dengan lidah. Kemudian mengapusnya dengan punggung tangan. Perlahan Papa meneguk cairan bening, merasakan kelegaan di mulutnya setelah rasa di mulut papaku itu tersapu oleh cairan bening. “Ayam sayurmu keasinan,” komentarnya kemudian. Mama bersedekap, mengela napas berat.“Kalau makanannya begini, tekanan darah papa bisa naik terus. Kamu gak pakai takaran, ya?” Nada mama terdengar kesal. Kulirik Erika. Tangan kanannya embali me
Papa sudah memberitahu apa yang terjadi kepada bisnisnya sehingga aku harus menikahi Erika. Meski sebelumnya aku sudah menduga bahwa pertunanganku ini bukan semata-mata janji antar orang tua. Papa bukanlah sosok yang memaksa kehendaknya kepadaku sejak aku beranjak remaja. Akan tetapi, kali ini sepertinya aku dipaksa membuang cinta demi menyelamatkan bisnisnya. Aku melajukan kendaraanku dengan kecepatan standar, di tengah matahari yang sudah mulai membiaskan cahaya kekuningan, menerpa dahan pohon perindang kota. Bayang wajah dingin Erika pun mendadak melintas di kepalaku, wajah kecil dengan bentuk bibir indah itu. Mendadak harga diriku sebagai seorang lelaki seperti seolah ditampar oleh karisma Bu Manajer.
Sudah berapa lama sejak aku memeratikan dua orang di balik konter itu tahu-tahu, tanpa kusadari Dwi sudah duduk di depanku, menopang dagunya dengan kedua tangan. Dalam balutan kaos putih polos yang ditutupi oleh bomber jacket berwarna gelap, Dwi memandangku seperti sebuah benda antik dengan senyum imut. Senyumnya bertambah lebar saat aku menunjukkan ekspresi kaget. “Manis sekali kalau bengong begitu!” kelakarnya sembari melebarkan senyum. “Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku. Dwi kemudian menurunkan tangan, memerikasa benda yang melingkar di tangannya.“Sekitar lima menit yang lalu, sih.”
Secara tidak langsung, Dwi sudah mengembalikanku ke dunia postugram sejak postingan mi ayam bercaption Bahasa Jepang. Hari ini aku menyuruh Yus dan Dita untuk memasak semua menu yang ada. Tanganku tidak berhenti mengabadikan setiap menu yang sudah tersaji , satu-persatu. Dari minuman dan makanan. Satu makanan bisa memakan waktu sampai lima menit hanya untuk dipotret dengan menggunakan kamera ponsel.“Sebaiknya ubah akunmu menjadi akun bisnis!” saran Yus. “Memang apa bedanya dengan akun pribadi?” tanyaku. Sesaat kemudian terdengar suara ‘cekrek’ setelah aku menekan tombol captured. Mataku memeriksa kembali kualitas foto mulai dari resulosi hingga pencahayaan. “Nih, bedanya!” Yus memperlih
Tahu-tahu sore sudah merangkak menjadi malam. Setelah menutup kedai dan pulang ke rumah, aku merebahkan badan di atas kasur. Hari ini, penjualan dari kedai masih mengkhawatirkan seperti kata Dita. Pelanggan kami pun hanya Erika dan pacarnya. Aku membuka Postugram, melihat kembali postingan profil. Ada sekitar dua puluh tanda hati di pojok kanan atas, itu berarti yang menyukai postinganku masih sedikit. Sekarang, isi Postugramku hanya makanan dari kedai. Terlihat seperti iklan akun bisnis profesional saja. Mataku menangkap komentar pada postingan mi ayam, menu andalan kedai kami. Ada seseorang yang menulis komentar di bawah gambar. Dia tak lain adalah Dwi. ‘Mie ayam rasa kecamuk itu kayak gimana? Pasti cocok dimakan saat sedang cemburu kare
Jam biologisku selalu diatur oleh tubuhku untuk bangun jam sembilan pagi. Tapi, kali ini aku memaksakan diri untuk bangun lebih pagi. Memasak sarapan sebelum bersiap. Hari ini aku harus datang lebih pagi ke kantor Erika. Akan gawat kalau aku sampai terlambat di hari pertama. Tidak bisa kubayangkan bagaimana Erika akan mendampratku jika semenit saja aku telat. Selain jam biologis yang harus kuatur, aku juga harus memerhatikan penampilanku. Aku mengenakan kaos turtle neck warna putih dilapisi dengan blazzer warna biru cerah. Agar senada dengan atasan aku juga memilih celana kain berwarna sama dengan warna blazzer. Sebagai sentuhan terakhir aku melingkarkan jam tangan tanpa merk yang kubeli dengan harga diskon di mall. Setelah menyisir rambut potongan undercut, aku duduk di meja mak
Aku dan Bu Dewi serius menganailisa kadar siklamat di dalam sampel bersama beberapa rekan lainnya. Pekerjaan kami selesai sebelum masuk jam makan siang. Hasilnya pun ditemukan beberapa sampel bahan yang positif mengandung siklamat.“Lagi-lagi dari sampel ini. Kemarin juga sama!” seru Bu Dewi.“Apa sampel ini datang dari suplier yang diragukan itu?” tanyaku. Bu Dewi mengangguk pelan. Memandang jejeran sampel di dalam tabung reaksi yang dipenuhi gumpalan putih di dasarnya.“Jadi, selanjutnya bagaiamana?”“Ini harus dilaporkan kepada Bu Erika sebagai Mana