Share

Pacaran Halal

Seperti yang sudah disepakati, Imam membawa motor dengan santai. Salsa merasa nyaman dan menikmati semilir angin yang tidak terlalu kencang. Dilihatnya sepasang muda-mudi menikmati dinner di kedai yang dilewati pada sabtu malam ini. Ada juga yang sama sedang di perjalanan seperti dirinya. 

Gadis itu tersenyum kecil sambil merapatkan jaket. Tidak buruk menyetujui ajakan Imam, Salsa dapat menikmati keindahan malam yang langka dia rasakan. 

Tidak ada obrolan, masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri. Imam terus fokus berkendara mencari tempat yang hendak ditujunya dan Salsa diam memperhatikan pemandangan asing sekitar. 

"Aku baru pertama kali loh, A, jalan kayak gini sama lawan jenis." Salsa mencolek es durian dengan sendok kecil, kemudian dimasukkan dalam mulut. 

"Oh, ya?" Imam menoleh padanya. 

"Iya. Selama ini aku kebanyakan diem di asrama. Dari SMP hingga lulus SMA pun masih di sana." Salsa kemudian mengambil satu telur gulung dalam plastik lalu memakannya. Menunda wadah esnya. Imam diam memperhatikan. 

"Kalo Aa Mpi sendiri gimana?" Salsa menoleh sambil menggigit lagi makanan dari pegangan tusuk satai itu. "Udah sering yah?"

Laki-laki itu hanya tersenyum kikuk sambil mengalihkan lagi pemandangan. Melihat motor dan mobil melaju pelan, juga pejalan kaki yang lewat. Kemudian terlempar ke gedung stadion di sebrang yang merupakan icon ciri has tempat ramai pengunjung ini.

"Pernah." 

"Pernah atau sering?" 

Imam kembali tersenyum tak enak. "Ya, dulu." 

"Yee, ditanya pernah atau sering jawabannya gitu."

"Sering dulu."

"Pasti sama pacarnya. Ngaku aja, ya kan?" Salsa terus mendesak dengan pertanyaan yang membuat Imam tak nyaman.

"Udahlah, Sa. Ngapain sih bahas itu. Mending bahas masa depan." 

"Huh." Gadis itu kembali menyendok es duriannya yang dibelikan Imam dari salah satu penjual di sini.

Banyak penjual makanan di sekitar, penjual pakaian, sepatu, hingga aksesori hape dan helem motor. Sepanjang jalan dipenuhi pedagang. Ada juga tempat bermain anak-anak seperti odong-odong dan rumah balon.

Imam dan Salsa sendiri berada duduk bersila di atas karpet milik pedagang kopi yang sengaja disediakan untuk pembeli yang mengaso di tempatnya. 

Imam menyeruput minuman kopinya dalam cup. "Boleh Aa ngerokok di sini?" 

"Asapnya jangan di keakuin." 

"Iya." Imam pun menyalakan sebatang rokok dengan korek gas. Dia menghisapnya. Berpaling ke samping untuk menjauhkan asap yang diembuskan. 

"Mama ... huhuu ... Mamaa." 

Salsa menunda telur gulung yang baru akan dimakan. Memasukkan kembali dalam plastik. Gadis itu kemudian berdiri. 

"Ya ampun, itu mamanya kemana anak kecil nangis ...." Dia bergumam, lalu menghampirinya. Juga orang-orang sekitar berdatangan.

Menyadari istrinya tidak ada di sampingnya Imam pun beranjak menunda batang rokok. Dia menghampiri Salsa yang mencoba menangkan anak gadis kecil itu. 

"Mamanya mana?" Salsa mengusap rambut sebahu anak balita itu. Kemudian berjongkok menyeka tangisnya dan memandang Iba.

"Gak tau ...." Anak itu terus menangis. 

"Tadinya di mana emang, dek?" 

"Adek sampai sini sama siapa?" 

"Mamanya lengah jadi gak tau anak ini pergi." 

Orang-orang yang berkerumun saling melempar tanya dan menerka-nerka. 

"Duh, kasian, ya."

"Hubungin keamanan setempat aja kalau begitu."

Mereka terus berbisik-bisik. Salsa kembali menyeka air mata gadis kecil itu yang membanjiri pipi. 

"Cup, cup, adek jangan terus nangis. Pasti mamanya ke sini kok."

Namun, anak itu terus saja menangis sambil memanggil Ibunya. Salsa tidak tega melihatnya. 

Di saat orang lain fokus pada si anak, Imam justru fokus pada Salsa. Terenyuh menyaksikan sikap welas asihnya. Jika anak sendiri mungkin lebih-lebih dari itu. Imam malah berpikir ke sana. 

"Rara! Raa!" Perempuan berhijab fasmina cream senada dengan celana panjangnya menembus kerumunan. 

"Mamaa!" Anak kecil itu menyahut kencang dan memeluknya. 

"Ya ampun, sayang ... Mama nyari-nyari." 

Gadis kecil itu tidak mengatakan apapun selain menangis saja. Salsa berdiri memperhatikan keduanya yang saling berpelukan erat. Takut kehilangan satu sama lain. 

"Nah, ini dia Mamanya datang."

"Punya anak kecil di tempat seperti ini jangan lengah, Bu."

"Iya, jagain tuh anaknya hati-hati."

"Jangan sampe diculik orang."

Orang-orang mencibir si ibu sebelum kemudian satu persatu membubarkan diri. Ibu muda itu menyeka tangis anaknya yang baru reda, kemudian beranjak melihat Salsa. Di bawah anaknya masih memeluk lututnya.

"Terimakasih sudah jagain Rara."

"Sama-sama." 

Dia lalu menoleh pada Imam di belakangnya. Sedikit terkejut saat melihatnya. 

"A Imam?" 

Gumaman itu dapat didengar Salsa. Dia melirik suaminya. Laki-laki itu mematung kaku sejak kedatangan sosok ibu muda tersebut. 

"Anita ...."

Salsa melirik keduanya bergantian. Mereka saling kenal? 

"Ini istri A Imam, ya?" Perempuan itu berusaha mencairkan suasana. 

Imam tersenyum kaku. "Iya. Salsa istriku." Dia  meraih tangan Salsa. Anita melihat itu sekilas. 

"Maaf, kemarin gak bisa datang ke pernikahan kalian." 

"Gak apa-apa." 

Salsa terdiam menyimak interaksi keduanya. "Ke sini sama siapa?" Imam balas berbasa-basi pada Anita.

"Sama Bibi!" Anaknya yang menyahut lantang.

"Oh, gak sama Ayahnya?"

"Ayah gak ada. Udah lama gak pulang-pulang."

"Sst, Raa." Anita tampak tak enak dengan ucapan putrinya. "Kita ke sana, ya. Itu Bibi nunggu."

Perempuan itu melihat kembali pada Imam dan Salsa. "Duluan." Kemudian pergi membawa anaknya. 

"Siapa?" Salsa melihat dia yang menjauh menyusuri trotoar, kemudian pada Imam yang tak lepas darinya.

"Teman, Sa."

"Oh, ya?" Gadis itu menyangsikan. Sebab yang dia lihat Imam tak seperti biasanya saat bertemu orang lain. Pandangannya seperti menyiratkan ada sesuatu dengan Anita. 

"Kok dia manggil Aa sih? Kayak sodara aja." 

"Ke tempat lain, yuk."

Lelaki itu jadi tampak tak nyaman dan menghindar saat Salsa tatap. Dia bahkan mengalihkan pembicaraan. 

"Aa!" 

Imam tidak mendengarkan, pergi dari hadapan Salsa, membayar kopi yang belum habis juga mengabaikan sebatang rokoknya. Lalu ke motor yang terparkir tidak jauh. Salsa buru-buru mengambil sisa jajanannya di karpet dan menghampiri Imam. 

"Kok pergi sih?" 

"Cuma pindah. Kamu bisa jajan lagi nanti. Ayo, naik." Mau tidak mau gadis itu pun naik ke motor. 

*** 

Malam menjelang larut. Salsa belum bisa tidur. Gadis itu membelakangi Imam, matanya mengerjap-ngerjap setelah melirik sudut ruangan. Dia merindukan kamar di rumah orang tuanya. Sungguh, suasana kamar ini asing.

Sementara Imam masih melek bukan karena itu. Dia ingat Anita. Sudah lama mereka berpisah dan baru bertemu kembali. Perempuan itu sudah punya anak. Penampilannya berbeda dari terakhir yang dia lihat. Anita kini sudah berhijab. 

"Ayah gak ada. Udah lama gak pulang-pulang." Ucapan gadis kecilnya, membuat Imam sedikit terusik. Merantaukah atau ....

Imam mengusap wajah dan menghela napas. Tak seharusnya dia memikirkan sosok masa lalu. Mencoba mengenyahkan pertemuan tadi juga celotehan anaknya. 

Kini, dia pun sudah berkeluarga. Ada Salsa di sampingnya. Dia menghadapnya dan tersenyum. Gadis itu sudah dikenalnya lebih lama, bahkan sejak orok. Salsa lebih menyedot perhatiannya. Meski baru sedekat ini. 

"Aa ish!" Gadis itu menepis tangan Imam saat menyentuh bahunya.

"Eh, kirain udah tidur."

"Belum."

"Kenapa, jajannya belum kenyang? Atau, mau kupeluk?" 

Salsa menghadapnya. Dia melemparkan guling pada Imam. "Tuh, peluk." 

Imam terkekeh pelan sudah menangkap guling. Salsa buru-buru berbalik lagi. Menutupi selimut hingga kepalanya. 

"Jangan ganggu aku." Dia mencoba untuk bisa benar-benar tidur sekarang. 

Imam membiarkan. Dia juga mencoba untuk bisa tidur. Matanya dipejam. 

"Jangan lupa baca doa."

"Iyaa."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status