"Ngomong apa aja tadi sama mas Bagas?" tanya Heni menyelidik.Mereka sudah dalam perjalanan ke rumah sakit, seperti biasa, Brian dan Heni pasti selalu dijadwalkan jaga bersama. Entah bagaimana caranya, teman-teman yang lain pasti selalu mengusahakan mereka agar bisa jaga berdua."Kepo amat. Ini obrolan lelaki dewasa." balas Brian dengan senyum geli.Heni mencebik, melirik gemas ke arah Brian yang wajahnya begitu sumringah. Obrolan lelaki dewasa? Memang apa yang mereka obrolkan tadi? "Obrolan pria dewasa yang bagaimana?" Heni yakin, ketika ia pergi ke toilet tadi pasti mereka berdua membicarakan banyak hal.Brian kembali melirik Heni, senyum setengah menggoda tergambar di wajah itu. Membuat Heni mengerucutkan bibirnya setengah gemas."Apaan, kepo nih, Mas!" kejar Heni yang masih sangat penasaran dengan apa yang tadi dibahas."Astaga, penasaran banget sih? Bahas gimana caranya bahagiain istri, bikin seneng istri dan sejenisnya." jawab Brian dengan senyum merekah.Mata Heni membulat, ap
"Dadakan banget sih, Mas? Baru juga dateng main mau balik aja!" gerutu Heni dengan bibir mengerucut.Bagas terkekeh, diacaknya rambut Heni dengan gemas. Matanya tidak lepas menatap Heni yang masih mengajukan protes dengan ekspresi wajah yang dia tunjukkan. "Ada yang ajak reunian temen-temen SMA, Mas. Toh urusan di sini udah kelar, kan? Mas tunggu kabar aja kapan Brian bawa orang tuanya ketemu sama Mas dan bunda. Oke?"Heni menghela napas dalam-dalam, mau tidak mau dia tidak bisa melarang kakaknya untuk kembali pulang, kan? Toh benar apa yang Bagas katakan tadi, urusannya di sini sudah beres. "Biar Heni ant--""Ah tidak perlu! Sudah ada yang akan megantar Mas ke bandara." potong Bagas dengan senyum merekah.Alis Heni berkerut, ia menatap Bagas yang tersenyum lebar. Heni baru hendak buka mulut untuk bertanya ketika mendadak ketukan dan panggilan itu menyapa telinganya. "Mas Bagas, jadi diantar, kan?"Mata Heni membulat, ia tentu kenal betul dengan pemilik suara. Sementara Bagas ia ha
"Kalo begitu ... biar nanti Mas bilang sama bunda, ya?"PLONG! Lega sekali hati Brian mendengar jawaban dari Bagas. Meskipun belum fix juga karena katanya masih hendak dibicarakan dengan Irma. Tapi bukankah harusnya Brian sudah bisa bernapas lega? Dia lihat begitu bagaimana Irma begitu antusias dengan dirinya saat berkunjung kemari. "Serius, Mas?" mata Brian berbinar cerah, senyumnya merekah sempurna. Sama dengan senyum yang tergambar di wajah Bagas. "Mas bohong buat apa sih, Yan? Nggak ada untungnya juga." Bagas terkekeh, tidak perlu bertanya pada Irma sebenarnya, bundanya itu pasti sudah setuju dengan rencana percepatan pernikahan Brian dan Heni. Brian mengangguk, rasanya kalau tidak malu, Brian ingin berteriak sekencang-kencangnya sekarang ini juga. Tapi tentu dia harus jaga image, kan? Dia tengah bersama calon kakak iparnya! "Terima kasih banyak, Mas. Brian ucapkan banyak Terima kasih." ucap Brian tulus dengan mata memerah, saking bahagianya dia rasanya sampai ingin menangis.
"Ngomong apa aja tadi sama mas Bagas? Kok cerah amat sih wajahnya?" selidik Heni dengan mata menatap Brian dengan saksama. Brian tidak langsung menjawab, ia menjalankan mobil meninggalkan depan kost Heni. Memang apa yang harus Brian jawab? Bilang kalau Brian sukses membujuk mas Bagas untuk menyetujui pernikahan mereka dipercepat? Bisa gagal rencana makan malam mereka hari ini! "Banyak, kita cerita banyak hal tadi." dusta Brian dengan senyum merekah. "Mas Bagas asyik ya, sama kayak bunda." gumam Brian mencoba membuat Heni tidak curiga. Heni lantas mencebik. Sama kayak bunda? Apakah itu artinya Brian secara tidak langsung mengatakan bahwa Heni ini tidak asyik? "Samanya cuma sama bunda aja nih? Sama aku enggak? Kan aku adeknya, anak bunda juga!" protes Heni sedikit tidak terima. Dia asyik juga kok, tapi memang kalau dengan Brian, Heni agak sedikit berbeda. Ditanya seperti itu, Brian malah garuk-garuk kepala sambil nyengir. Membuat kerucutan bibir Heni makin lancip. Tidak perlu Brian
Brian benar-benar tidak percaya! Akhirnya setelah berulang kali mencoba menyatakan dan mengajak Heni menikah, kini ia mendapatkan jawaban dari mulut Heni langsung! Heni setuju dan bersedia menikah dengan Brian? Agaknya Brian harus catat tanggal ini sebagai tanggal spesial! "Serius! Masa iya aku bercanda? Aku mau nikah sama kamu, Mas. Tapi janji, tetep boleh lanjut sekolah sama buka praktek, kan?"Mendengar itu senyum Brian makin merekah, mata Brian sampai memerah bahkan. Sebuah kebahagiaan yang tidak terkira untuk Brian. Bagaimana tidak? Sempat tersia-siakan cintanya, kini dia mendapatkan balasan atas perasaan cinta yang begitu dalam ia miliki pada Heni. "Tentu, kamu sekolah sampai S3-pun bakalan aku support, Sayang! Selalu!"Tangan Brian kembali meraih tangan Heni, ia meremas lembut tangan gadis itu dengan mata berkaca-kaca. Tidak lebay, kan, kalau Brian sampai menangis? Dia begitu bahagia hari ini. Heni pun juga nampak menyembunyikan air mata. Ia memalingkan wajah menatap keluar
"Bentar-bentar!" Heni menatap gemas ke arah Brian. "Konsep nikahan kita ini mau gimana sih?"Mereka tengah duduk di meja kerja seorang desainer undangan, membicarakan bagaimana desain undangan pernikahan mereka yang sudah disepakati oleh ke dua belah pihak akan dilaksanakan dua bulan lagi. Pertemuan sudah dilakukan, dan semua sepakat merujuk pada tanggal itu. Kini disela-sela kesibukan mereka berdua, baik Heni maupun Brian harus kejar target mengurus pernikahan mereka. Dadakan sih, cuma untuk segala macam hal harus tetap diupayakan sempurna, bukan? "Ya konsepnya pokoknya kawin." balas Brian santai, karena yang terpenting bagi Brian adalah itu, kan? Heni mendesah, menatap Brian dengan tatapan gemas. Sementara di desainer undangan nampak sekuat tenaga menahan tawanya. Untuk dekorasi dan lain-lain, sudah diurus bunda yang kebetulan free. Sponsorship terbesar mereka, mas Bagas dan mama-papa Brian, sudah mengatakan bahwa siap menggelontorkan Dana berapapun untuk pesta pernikahan ini. A
“Cebong?”Sebenarnya Heni sudah bisa menebak siapa orang yang Brian maksud, tetapi dia hendak memastikan apakah benar orang yang dimaksud Cebong oleh calon suaminya ini adalah Kelvin, kakak nomor dua Karina.“Iya, si Cebong, abangnya Karin itu loh. Yang somplak dan otaknya agak geser.” Sahut Brian yang kini mulai mengaduk-aduk makanannya.Hampir saja tawa Heni pecah. Ngatain orang somplak dan otaknya geser, memang Brian ini tidak, apa? Brian pun sama somplak dan gesernya kok. Pakai ngatain orang lain. Heni menggeleng perlahan, ia kembali fokus pada makanan di piring ketika panggilan itu begitu lembut keluar dari mulut Brian.“Sayang ....”Jika dulu Heni terkesima dan sedikit kikuk dipanggil ‘Sayang’ oleh Brian, kini panggilan itu sudah terdengar sangat familiar di telinganya. Bahkan tidak sekali dua kali Heni memanggil Brian dengan panggilan yang sama. Sebuah panggilan yang membuat senyum Brian merekah sempurna dan bonus peluk kadang kecupan di pipi kalau tempat mereka memungkinkan Br
Brian mendesah panjang begitu Heni turun dari mobil dan melangkah masuk ke bangunan kost yang masih akan dia tempati sampai beberapa bulan ke depan, ya setidaknya sampai kemudian mereka menikah dan Brian bisa memboyong Heni ikut tinggal di kontrakannya.Jantung Brian sudah berangsur normal setelah pertanyaan mematikan tadi dia dapatkan. Untungnya dia bisa tetap tenang dan berpikir jernih. Jadi Brian bisa menjawab pertanyaan itu tanpa membuat Heni curiga. Bagaimana kalau Heni tahu Brian pernah bertahun-tahun lamanya jatuh hati pada Karina? Bisa-bisa Heni membatalkan rencana pernikahan mereka!“Huh!” Brian menghembuskan napas berat, ia lantas turun dan mengejar langkah Heni masuk ke dalam bangunan itu.Baru beberapa langkah Brian menapakkan kaki, ponsel dalam sakunya berdering. Dengan wajah masam, Brian segera merogoh ponsel itu. Ia sangat berharap bahwa itu bukan panggilan dari rumah sakit, dan benar saja! Bukan dari rumah sakit, tetapi dari mamanya. Apa bedanya ini?“Halo ... kenapa,