"Ngomong apa aja tadi sama mas Bagas? Kok cerah amat sih wajahnya?" selidik Heni dengan mata menatap Brian dengan saksama. Brian tidak langsung menjawab, ia menjalankan mobil meninggalkan depan kost Heni. Memang apa yang harus Brian jawab? Bilang kalau Brian sukses membujuk mas Bagas untuk menyetujui pernikahan mereka dipercepat? Bisa gagal rencana makan malam mereka hari ini! "Banyak, kita cerita banyak hal tadi." dusta Brian dengan senyum merekah. "Mas Bagas asyik ya, sama kayak bunda." gumam Brian mencoba membuat Heni tidak curiga. Heni lantas mencebik. Sama kayak bunda? Apakah itu artinya Brian secara tidak langsung mengatakan bahwa Heni ini tidak asyik? "Samanya cuma sama bunda aja nih? Sama aku enggak? Kan aku adeknya, anak bunda juga!" protes Heni sedikit tidak terima. Dia asyik juga kok, tapi memang kalau dengan Brian, Heni agak sedikit berbeda. Ditanya seperti itu, Brian malah garuk-garuk kepala sambil nyengir. Membuat kerucutan bibir Heni makin lancip. Tidak perlu Brian
Brian benar-benar tidak percaya! Akhirnya setelah berulang kali mencoba menyatakan dan mengajak Heni menikah, kini ia mendapatkan jawaban dari mulut Heni langsung! Heni setuju dan bersedia menikah dengan Brian? Agaknya Brian harus catat tanggal ini sebagai tanggal spesial! "Serius! Masa iya aku bercanda? Aku mau nikah sama kamu, Mas. Tapi janji, tetep boleh lanjut sekolah sama buka praktek, kan?"Mendengar itu senyum Brian makin merekah, mata Brian sampai memerah bahkan. Sebuah kebahagiaan yang tidak terkira untuk Brian. Bagaimana tidak? Sempat tersia-siakan cintanya, kini dia mendapatkan balasan atas perasaan cinta yang begitu dalam ia miliki pada Heni. "Tentu, kamu sekolah sampai S3-pun bakalan aku support, Sayang! Selalu!"Tangan Brian kembali meraih tangan Heni, ia meremas lembut tangan gadis itu dengan mata berkaca-kaca. Tidak lebay, kan, kalau Brian sampai menangis? Dia begitu bahagia hari ini. Heni pun juga nampak menyembunyikan air mata. Ia memalingkan wajah menatap keluar
"Bentar-bentar!" Heni menatap gemas ke arah Brian. "Konsep nikahan kita ini mau gimana sih?"Mereka tengah duduk di meja kerja seorang desainer undangan, membicarakan bagaimana desain undangan pernikahan mereka yang sudah disepakati oleh ke dua belah pihak akan dilaksanakan dua bulan lagi. Pertemuan sudah dilakukan, dan semua sepakat merujuk pada tanggal itu. Kini disela-sela kesibukan mereka berdua, baik Heni maupun Brian harus kejar target mengurus pernikahan mereka. Dadakan sih, cuma untuk segala macam hal harus tetap diupayakan sempurna, bukan? "Ya konsepnya pokoknya kawin." balas Brian santai, karena yang terpenting bagi Brian adalah itu, kan? Heni mendesah, menatap Brian dengan tatapan gemas. Sementara di desainer undangan nampak sekuat tenaga menahan tawanya. Untuk dekorasi dan lain-lain, sudah diurus bunda yang kebetulan free. Sponsorship terbesar mereka, mas Bagas dan mama-papa Brian, sudah mengatakan bahwa siap menggelontorkan Dana berapapun untuk pesta pernikahan ini. A
“Cebong?”Sebenarnya Heni sudah bisa menebak siapa orang yang Brian maksud, tetapi dia hendak memastikan apakah benar orang yang dimaksud Cebong oleh calon suaminya ini adalah Kelvin, kakak nomor dua Karina.“Iya, si Cebong, abangnya Karin itu loh. Yang somplak dan otaknya agak geser.” Sahut Brian yang kini mulai mengaduk-aduk makanannya.Hampir saja tawa Heni pecah. Ngatain orang somplak dan otaknya geser, memang Brian ini tidak, apa? Brian pun sama somplak dan gesernya kok. Pakai ngatain orang lain. Heni menggeleng perlahan, ia kembali fokus pada makanan di piring ketika panggilan itu begitu lembut keluar dari mulut Brian.“Sayang ....”Jika dulu Heni terkesima dan sedikit kikuk dipanggil ‘Sayang’ oleh Brian, kini panggilan itu sudah terdengar sangat familiar di telinganya. Bahkan tidak sekali dua kali Heni memanggil Brian dengan panggilan yang sama. Sebuah panggilan yang membuat senyum Brian merekah sempurna dan bonus peluk kadang kecupan di pipi kalau tempat mereka memungkinkan Br
Brian mendesah panjang begitu Heni turun dari mobil dan melangkah masuk ke bangunan kost yang masih akan dia tempati sampai beberapa bulan ke depan, ya setidaknya sampai kemudian mereka menikah dan Brian bisa memboyong Heni ikut tinggal di kontrakannya.Jantung Brian sudah berangsur normal setelah pertanyaan mematikan tadi dia dapatkan. Untungnya dia bisa tetap tenang dan berpikir jernih. Jadi Brian bisa menjawab pertanyaan itu tanpa membuat Heni curiga. Bagaimana kalau Heni tahu Brian pernah bertahun-tahun lamanya jatuh hati pada Karina? Bisa-bisa Heni membatalkan rencana pernikahan mereka!“Huh!” Brian menghembuskan napas berat, ia lantas turun dan mengejar langkah Heni masuk ke dalam bangunan itu.Baru beberapa langkah Brian menapakkan kaki, ponsel dalam sakunya berdering. Dengan wajah masam, Brian segera merogoh ponsel itu. Ia sangat berharap bahwa itu bukan panggilan dari rumah sakit, dan benar saja! Bukan dari rumah sakit, tetapi dari mamanya. Apa bedanya ini?“Halo ... kenapa,
“Sumpah, orang tuanya loyal banget, Rin.”Pagi itu, Heni sudah nangkring di rumah Karina, tentu saja setelah suami dari sahabatnya itu pergi ke rumah sakit. Kalau tidak? Mana berani Heni pagi-pagi begini sudah mengapeli istri orang? Karina yang nampak tengah menyantap salad buah yang Heni bawakan kontan mengangguk sambil mengacungkan sendok.“Bener, emang dari dulu om Ridwan sama tante Astrid ini loyal banget kalo sama bang Brian, maklum dia kan anak terakhir. Sama kayak kamu.” Jelas Karina lalu kembali menyuapkan buah berlumur saus mayonaise yang dipadu dengan susu kental manis ke dalam mulutnya.“Tapi duit jutaan loh, Rin. Kayak cuma recehan itu asal ngasih aja.”Karina menghela napas panjang, ia meletakkan sendok lalu menipuk lengan Heni dengan gemas.“Ya gimana nggak receh kalau dua-duanya spesialis, anak-anak udah mandiri semua. Kecil lah kalo cuma duit segitu, Hen! Gaji spesialis berapa coba? Belum jasa sama insentifnya, itung aja sendiri.” Gumam Karina bersunggut-sunggut.Heni
Senyum Heni tidak bisa dia tahan lagi ketika pintu kayu berwarna cokelat gelap itu di buka oleh pak Rusman. Dia adalah salah seorang dari developer yang hari ini khusus mengantarkan Heni dan Brian survey rumah dua lantai yang kebetulan sekali mendadak pemesannya yang terdahulu mendadak membatalkan rencanan pembelian rumah tersebut.Hawa sejuk langsung menyapa Heni, jendela kaca di beberapa bagian menyinari ruangan yang masih kosong melompong itu. Sebuah rumah penuh cahaya yang hangat dan sesuai dengan impian Heni. Mata Heni menyapu ke seluruh penjuru ruangan, kakinya melangkah menyusuri lantai bawah yang hanya terdiri dari dapur, kamar mandi dan ruang tamu serta ruang keluarga.“Untuk kamarnya ada dua kamar di lantai atas plus satu kamar mandi lagi, Mbak. Semua sudah ready siap pakai. Entah kenapa dulu mendadak dibatalkan pemesan, padahal dia sendiri sudah cukup banyak keluar uang untuk ini-itu.” Jelas pak Rusman yang bisa melihat betapa calon client-nya ini bergitu tertarik dengan ru
“Eh ... ini udah sebar seragam bridesmaid, nih?”Hampir saja Karina melonjak gembira ketika mendapati paper bag di tangan Heni ternyata berisi kain berwarna cokelat muda, salah satu warna favorit Heni.“Iya lah, kalo mepet, ntar ribet kamu yang cari penjahit. Jadi udah aku sebar aja dari sekarang.” Heni tersenyum, pendangan dan fokusnya kini beralih pada Arjuna yang entah kenapa makin lama wajahnya begitu mirip dengan sang bapak.Anak lelaki loh ini! Katanya anak lelaki cenderung akan mirip ke ibu, kenapa Arjuna plek ketiplek wajah bapaknya begini? Ah ... mau bertanya pun Heni takut, bisa-bisa Karina ngamuk kalau dia permasalahkan wajah Arjuna yang makin mirip bapaknya. Pasalnya Karina selalu dengan lantang meng-klaim bahwa wajah Arjuna begitu mirip dengan dirinya. Ini yang dimaksud mirip dari mana sih? Nggak ada miripnya sama sekali dengan Karina!“Iya bener sih, pengalaman kamu dulu seragam bridesmaid kamu masih belum seratus persen jadi,kan?” gumam Karina yang menatap lekat-lekat k