Heni merasakan cubitan itu, ia hanya menepis tangan Karina yang mencubit perutnya tanpa menoleh. Matanya masih menatap setengah terkejut sosok dengan setelan scrub warna biru yang membungkus tubuh tinggi tegap dokter bedah senior itu. "Taruhan apa sih? Kalian nggak taruhan brondong, kan?" Yudha melangkah menghampiri mereka, kini ia sudah berdiri tepat di depan kursi tempat Heni dan Karina duduk. Karina sontak nyengir lebar, tangannya terus berusaha mencubit Heni. Sementara Heni, terus menimpuki tangan Karina yang masih berusaha kembali mencubitnya.Alis Yudha berkerut, ia melipat tangannya di dada sambil menatap dua sahabat itu bergantian. "Ah ... eng-enggak kok, Mas. Bercanda doang." Karina nyengir, sebuah senyum dan tingkah laku yang membuat Yudha makin curiga. "Nah, Hen, coba ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi? Pengen lulus stase bedah tepat waktu, kan?" ancam Yudha sambil menatap Heni lekat-lekat. "Pe-pengen, Dok. Masa iya sih pengen ngulang?" Heni merasakan tangan itu ma
"Pe-penawaran apa, Mas?" tanya Karina yang sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya dia sudah yakin kalau penawaran ini sama sekali tidak akan pernah menguntungkan dirinya. "Pilih dua kali melahirkan atau empat kali melahirkan?"Mata Karina membelalak, benar apa yang tadi dia katakan, bukan? Penawaran yang Yudha berikan tidak akan pernah menguntungkan dirinya! Apa-apaan ini? Tadi bukanya Yudha mempertanyakan Karina yang tidak mau punya lima anak? Kalau begini caranya, sama saja! Karina mengerucutkan bibir, menggebuk lengan Yudha dengan gemas. Lelaki itu memang menyebalkan semua! Suka cari untung sendiri apalagi kalau yang berbau-bau mesum. Otak mereka seperti bekerja dia kali lebih gesit. "Apa bedanya sih? Sama aja!" protes Karina kesal. Mata Yudha membelalak, "Tentu beda, Rin. Kan dua sama empat, sejak kapan angka dua sama empat itu sama?" jawab Yudha dengan sangat menyebalkan. Karina mendesah, ia menepuk jidatnya dengan sangat gemas. Ditatapnya Yudha yang nampak masih begitu berb
Brian menoleh sekilas, kepalanya kontan menggeleng. Ia kembali serius dengan kemudinya. Mengabaikan sejenak pertanyaan yang Heni lontarkan beberapa detik yang tadi. Apa tadi Heni bilang? Rasanya dalam rongga perut Brian seperti ada jutaan kupu-kupu yang berterbangan. Setelah sekian lama, bukankah baru kali ini Heni terang-terangan mengatakan kata cinta kepadanya? Apakah Brian perlu mendaftarkan momen ini untuk di catat di buku rekor dunia?Jantung Brian berdegup dua kali lebih cepat. Bukan suatu hal yang lebay kan kalau sekarang dia begitu bahagia? Rasanya semua penantian dan kesabaran Brian membuahkan hasil!"Mas ... kok gantian kicep? Kenapa?" tanya Heni yang mengejutkan Brian dari euforia yang tengah dirasakan oleh Brian."Ah ... eng-enggak kok." AC mobil Brian dalam kondisi baik-baik saja, dia tidak pernah telat menservis mobil kesayangannya ini, tetapi kenapa keringat Brian bercucuran macam tengah berhadapan dengan konsulen paling mengerikan dalam sejarah pendidikan kedokteran
Heni melongo, Brian kontan terkekeh melihat bagaimana wajah Heni menatapnya dengan tatapan terkejut itu. Brian menghentikan tawanya, balas menatap Heni dengan sorot mata serius. "Aku serius tanyanya. Kamu besok pengen kita punya anak berapa?" kembali Brian mengulang pertanyaan itu, membuat Heni tersentak lalu memijit kepalanya perlahan-lahan. "Mas, kejauhan ah bahas itu. Yang di depan mata aja belum di bahas dan kamu sudah mengajakku membahas anak?"Brian bersandar di kursi dengan sangat santai. Matanya tidak berpaling menatap Heni yang masih menampakkan wajah terkejut setengah kesal. "Apa salahnya? Toh ini juga harus kita pikirkan. Kamu tidak berniat untung free child, kan?" tanya Brian dengan sangat santai. Heni mendesah, matanya terbuka, ia membalas tatapan yang sejak tadi sama sekali tidak mau pergi dari wajahnya itu. Tentu Heni protes dengan pembahasan yang Brian sodorkan, ini jauh sekali! Hal detail tentang pernikahan dan lain sebagainya saja mereka belum membahas sama sekal
Bagas menghela napas panjang begitu ia melangkah keluar dari terminal kedatangan. Akhirnya, sesuai jadwal, Bagas dapat menginjakkan kaki di kota ini dan bisa bertemu dengan adik sekaligus lelaki yang disebut sebagai calon menantu oleh bundanya.Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada yang menjemputnya, karena memang Bagas tidak memberitahu Heni perihal kedatangannya yang tiba-tiba ini. Semacam kejutan lah, dan tentunya ingin menginspeksi Heni secara dadakan apakah setelah kejadian itu dia masih suka membawa pacarnya itu ke dalam kamar kost.Langit masih gelap, sudah ada semburat jingga di ufuk timur, dan dengan mantab Bagas melangkah keluar. Ia hendak mencari tempat untuk memesan dan menunggu ojek online. Adiknya ini apakah di kost? Atau dia tengah jaga di IGD? Bagas tidak tahu, yang jelas dia ingin segera sampai di kost adiknya dan bicara banyak hal dengan pasangan itu."Bagas bakalan ingat semua pesan bapak, Pak. Maaf, Heni jadi bablas karena kesalahan Bagas yang terlalu p
PLAKK!! "HENI!"Dua orang lelaki itu kontan berteriak kencang, sementara tubuh Heni terhuyung dengan satu tangan memegang pipi kiri. Brian dengan sigap menangkap tubuh itu, sementara Bagas pun sama paniknya dan berusaha menarik tubuh Heni agar tidak tersungkur. "KAU INI GILA! SEGITU CINTANYA SAMA DIA SAMPAI MAS MAU GAMPAR DIA AJA KAMU NGGAK RELA, HEN?!"Suara Bagas melengking, ia nampak begitu murka. Sudut bibir Heni mengeluarkan darah, nampak mata Heni memerah menahan tangis. Brian membantu Heni duduk, tangannya merengkuh tubuh itu seolah tidak mau sampai Heni terluka kembali. Wajahnya nampak panik, khawatir dan bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Siapa lelaki ini? Kenapa dia hendak memukul dirinya? Atau jangan-jangan .... "Karena mas Brian nggak salah, Mas. Dia bahkan belum melakukan apapun ke Heni. Dia jaga Heni betul-betul, Mas." jawab Heni dengan isak tertahan, ia mencoba melepaskan diri dari delapan Brian yang terasa begitu posesif. Pipinya terasa panas, sudut bibirn
Bagas tertegun di tempatnya duduk. Kini dia dan dua sejoli itu duduk di salah satu warung bubur ayam yang cukup ramai. Ia masih syok dan benar-benar tidak menyangka bahwa ternyata ada sesuatu hal yang disembunyikan adiknya ini dari Bagas dan bunda.Agaknya Heni benar. Bunda akan sangat syok jika tahu anak perempuan kesayangannya ini hampir dilecehkan oleh seniornya di rumah sakit. Bahkan Heni harus rutin mengunjungi psikiater dan sesekali dibekali obat untuk diminum agar bisa sedikit menghilangkan trauma psikis yang Heni alami atas kejadian itu.‘Untung kemarin ada mas Brian, Mas. Kalau enggak, Heni nggak tahu Heni bakal jadi apa nanti.’Tentu kalimat itu masih Bagas ingat dan terekam jelas dalam otaknya.‘Dia baru nyentuh bagian atas tubuh aku, Mas. Lecet dan sedikit memar di bagian dada yang kemarin dijadikan alat bukti, baju aku yang dia sobek dan tentu saja mas Brian dan beberapa orang polisi yang lihat dengan mata kepala bagaimana kondisi aku ketika mereka datang.’Mata Bagas mem
"Ngomong apa aja tadi sama mas Bagas?" tanya Heni menyelidik.Mereka sudah dalam perjalanan ke rumah sakit, seperti biasa, Brian dan Heni pasti selalu dijadwalkan jaga bersama. Entah bagaimana caranya, teman-teman yang lain pasti selalu mengusahakan mereka agar bisa jaga berdua."Kepo amat. Ini obrolan lelaki dewasa." balas Brian dengan senyum geli.Heni mencebik, melirik gemas ke arah Brian yang wajahnya begitu sumringah. Obrolan lelaki dewasa? Memang apa yang mereka obrolkan tadi? "Obrolan pria dewasa yang bagaimana?" Heni yakin, ketika ia pergi ke toilet tadi pasti mereka berdua membicarakan banyak hal.Brian kembali melirik Heni, senyum setengah menggoda tergambar di wajah itu. Membuat Heni mengerucutkan bibirnya setengah gemas."Apaan, kepo nih, Mas!" kejar Heni yang masih sangat penasaran dengan apa yang tadi dibahas."Astaga, penasaran banget sih? Bahas gimana caranya bahagiain istri, bikin seneng istri dan sejenisnya." jawab Brian dengan senyum merekah.Mata Heni membulat, ap