"... Cuma Heni wanita yang pernah kamu tiduri atau masih ada lagi yang lain, hah?"Brian mendesah, "Heni the one and only, Pa. Tolong percaya Brian, kalo cuma sama dia Brian berani macam-macam." jawab Brian mantab. Sebuah jawaban yang membuat hati Heni berdesir hebat, ada secercah perasaan hangat yang menelusup jauh hingga ke dalam relung hati Heni yang paling dalam. Jawaban Brian begitu mantab, sebuah jawaban yang sama sekali tidak terdengar berbohong di telinga Heni. "Oke! Kali ini papa percaya, Yan. Tolong cukup sekali ini saja kau kecewakan papamu ini!" desis suara itu mantab. "Kapan kamu balik ke rumah?""Secepatnya, Brian mau minta izin cuti.""Oke, papa tunggu!"Tut. Sambungan telepon terputus. Brian dan Heni saling berpandangan dan menghela napas bersamaan. Ponsel itu kembali masuk ke dalam saku Brian. Mereka masih membisu, Heni nampak syok luar biasa. Padahal sejak tadi Brian yang dimaki-maki oleh papanya. "Harusnya kita jelaskan semua, Mas. Bukannya diam saja dan pasrah
"Bunda balik, inget loh kalian berdua belum boleh macam-macam lagi!" ujar Irma memperingatkan setelah dua hari mengunjungi Heni di Solo, sudah waktunya dia harus balik. "Iya-iya, Bun! Heni paham." Heni melirik ibunya yang duduk di jok belakang dari kaca mobil. Memang mau macam-macam yang kayak gimana sih? Dia bahkan belum berbuat yang tidak-tidak sama sekali! Kecuali ya saling menikmati bibir satu sama lain. "Brian janji jaga Heni, Tan. Nanti kalau mama sama papa sudah ajukan cuti, Brian kabari kapan akan ketemu sama Tante. " Brian ikut menjelaskan, intinya setelah ini dia harus membawa Heni bertemu dengan mama dan papanya sebelum membahas kapan akan kerumah Irma untuk melamar Heni. "Tante pegang janji kamu, ya?" desis Irma tegas. "Siap, Tan. Brian janji nggak akan bikin Tante kecewa lagi." Brian tersenyum manis, sementara Heni mencebik dengan bibir mengerucut. Puas sudah Heni dua hari diomeli bundanya hampir seharian. Diomeli untuk tuduhan yang sama sekali tidak Heni lakukan. Be
"Habis ini istirahat, siap-siap buat jaga malam."Mereka sudah dalam perjalanan kembali dari bandara. Heni sendiri sudah sejak kemarin aktif koas kembali. Untung saja kejadian itu tidak terlalu heboh terekspos. Pihak kampus cenderung menutupi kejadian itu dan jujur itu sangat menguntungkan Heni karena tidak harus mendengar bisik-bisik dan menjawab pertanyaan yang tentu saja akan mengembalikan Heni pada kejadian perkara. Apakah ini ada andil dari om Brian? Dokter Julius? Entah Heni sendiri tidak tahu, tetapi agaknya ia memang harus banyak-banyak berterima kasih kepada sosok internis senior itu. "Mas jaga malam juga, kan?" sebuah pertanyaan bodoh yang seharusnya tidak Heni tanyakan. Bukankah sudah menjadi peraturan tidak tertulis kalau Brian jaga, maka Heni juga harus berjaga? Kalau tidak, bisa dipastikan semua dokter, koas dan paramedis ngos-ngosan selama mereka jaga IGD. "Pertanyaan apa itu? Jodohku ya kamu, jadi di mana ada aku, harus ada kamu, Hen." jawab Brian tanpa menoleh. Hen
Karina kontan tersedak boba yang dia minum. Heni segera menepukk-nepuk punggung Karina dengan sedikit keras. Wajah Heni yang semula sedu berubah panik setengah mati. Boba yang Karina minum tidak sampai masuk ke tenggorokan dan menutupi saluran napas Karina, kan? Kalau iya, bisa gawat! Karina bisa gagal napas!“Rin ... woles kenapa sih, Rin?” Heni mencoba memberikan pertolongan pertama, hingga batuk-batuk itu reda. Ia menghela napas panjang saat Karina mulai menghirup udara banyak-banyak dan menghembuskannya perlahan-lahan.Karina menoleh, wajah dan matanya memerah. Menatap Heni yang masih nampak sangat khawatir kepadanya.“Kenapa kamu tidak cerita perihal itu, Hen? Terus gimana itu si residen radiologi itu?” tanya Karina penasaran.Heni hampir diperkosa dan dia malah baru tahu? Sahabat macam apa Karina ini?Kini Heni yang menghela napas panjang, wajahnya kembali berubah sedu, membuat Karina mengelus bahu itu dengan perlahan dan lembut.“Kamu tidak keberatan untuk cerita kepadaku, kan?
Heni merasakan cubitan itu, ia hanya menepis tangan Karina yang mencubit perutnya tanpa menoleh. Matanya masih menatap setengah terkejut sosok dengan setelan scrub warna biru yang membungkus tubuh tinggi tegap dokter bedah senior itu. "Taruhan apa sih? Kalian nggak taruhan brondong, kan?" Yudha melangkah menghampiri mereka, kini ia sudah berdiri tepat di depan kursi tempat Heni dan Karina duduk. Karina sontak nyengir lebar, tangannya terus berusaha mencubit Heni. Sementara Heni, terus menimpuki tangan Karina yang masih berusaha kembali mencubitnya.Alis Yudha berkerut, ia melipat tangannya di dada sambil menatap dua sahabat itu bergantian. "Ah ... eng-enggak kok, Mas. Bercanda doang." Karina nyengir, sebuah senyum dan tingkah laku yang membuat Yudha makin curiga. "Nah, Hen, coba ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi? Pengen lulus stase bedah tepat waktu, kan?" ancam Yudha sambil menatap Heni lekat-lekat. "Pe-pengen, Dok. Masa iya sih pengen ngulang?" Heni merasakan tangan itu ma
"Pe-penawaran apa, Mas?" tanya Karina yang sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya dia sudah yakin kalau penawaran ini sama sekali tidak akan pernah menguntungkan dirinya. "Pilih dua kali melahirkan atau empat kali melahirkan?"Mata Karina membelalak, benar apa yang tadi dia katakan, bukan? Penawaran yang Yudha berikan tidak akan pernah menguntungkan dirinya! Apa-apaan ini? Tadi bukanya Yudha mempertanyakan Karina yang tidak mau punya lima anak? Kalau begini caranya, sama saja! Karina mengerucutkan bibir, menggebuk lengan Yudha dengan gemas. Lelaki itu memang menyebalkan semua! Suka cari untung sendiri apalagi kalau yang berbau-bau mesum. Otak mereka seperti bekerja dia kali lebih gesit. "Apa bedanya sih? Sama aja!" protes Karina kesal. Mata Yudha membelalak, "Tentu beda, Rin. Kan dua sama empat, sejak kapan angka dua sama empat itu sama?" jawab Yudha dengan sangat menyebalkan. Karina mendesah, ia menepuk jidatnya dengan sangat gemas. Ditatapnya Yudha yang nampak masih begitu berb
Brian menoleh sekilas, kepalanya kontan menggeleng. Ia kembali serius dengan kemudinya. Mengabaikan sejenak pertanyaan yang Heni lontarkan beberapa detik yang tadi. Apa tadi Heni bilang? Rasanya dalam rongga perut Brian seperti ada jutaan kupu-kupu yang berterbangan. Setelah sekian lama, bukankah baru kali ini Heni terang-terangan mengatakan kata cinta kepadanya? Apakah Brian perlu mendaftarkan momen ini untuk di catat di buku rekor dunia?Jantung Brian berdegup dua kali lebih cepat. Bukan suatu hal yang lebay kan kalau sekarang dia begitu bahagia? Rasanya semua penantian dan kesabaran Brian membuahkan hasil!"Mas ... kok gantian kicep? Kenapa?" tanya Heni yang mengejutkan Brian dari euforia yang tengah dirasakan oleh Brian."Ah ... eng-enggak kok." AC mobil Brian dalam kondisi baik-baik saja, dia tidak pernah telat menservis mobil kesayangannya ini, tetapi kenapa keringat Brian bercucuran macam tengah berhadapan dengan konsulen paling mengerikan dalam sejarah pendidikan kedokteran
Heni melongo, Brian kontan terkekeh melihat bagaimana wajah Heni menatapnya dengan tatapan terkejut itu. Brian menghentikan tawanya, balas menatap Heni dengan sorot mata serius. "Aku serius tanyanya. Kamu besok pengen kita punya anak berapa?" kembali Brian mengulang pertanyaan itu, membuat Heni tersentak lalu memijit kepalanya perlahan-lahan. "Mas, kejauhan ah bahas itu. Yang di depan mata aja belum di bahas dan kamu sudah mengajakku membahas anak?"Brian bersandar di kursi dengan sangat santai. Matanya tidak berpaling menatap Heni yang masih menampakkan wajah terkejut setengah kesal. "Apa salahnya? Toh ini juga harus kita pikirkan. Kamu tidak berniat untung free child, kan?" tanya Brian dengan sangat santai. Heni mendesah, matanya terbuka, ia membalas tatapan yang sejak tadi sama sekali tidak mau pergi dari wajahnya itu. Tentu Heni protes dengan pembahasan yang Brian sodorkan, ini jauh sekali! Hal detail tentang pernikahan dan lain sebagainya saja mereka belum membahas sama sekal