"Tau apa Lo!" Aku membalas dengan mencengkeram Hoodie yang dikenakan Arya."Jangan Lo pikir Gue nggak tahu ya, Gue tahu semuanya!"Aku tercekat. Darimana Arya tahu Evita telah kembali, dan beberapa kali aku menghabiskan waktu bersamanya."Lo, nggak perlu tahu, Gue tahu dari mana, yang jelas, Gue nggak akan tinggal diam. Gue akan rebut Amira dari Lo, biar Gue yang bahagiain dia. Ngerti Lo!"Arya melenggang begitu saja meninggalkan teras rumahku usai mengatakan itu. Aku mengacak kasar rambutku.Aarrgghh! Kenapa semuanya jadi begini? Aku baru saja mengambil keputusan untuk melepaskan Evita dan ingin memperbaiki semuanya. Tapi justru Arya datang ingin mengambil Amira dariku.Enggak. Aku nggak akan biarkan itu terjadi. Amira adalah istriku, selama aku belum mengatakan kata talak, di masih sah istriku.Aku masuk ke dalam rumah, dengan pikiran makin tak karuan.*Esok harinya. Aku tak menyerah, hari ini aku akan datangi kembali rumah Caca, aku harus menemui Amira. Aku yakin Caca tahu diman
"Sekarang kemasi barang-barangmu, kita pulang sekarang!" titahku."Enggak. Aku masih mau di sini." Amira menolak."Aku ini suamimu, wajib hukumnya seorang istri menurut apa kata suami!" Aku bersikeras."Tadinya aku pikir kamu benar-benar sudah berubah, tapi ternyata aku salah! Kamu tetap tak pernah memperdulikan perasaanki, Raka!""Apa maksudmu! Oh, aku tahu, Kamu tak mau pulang karena di sini lebih mudah bertemu dengan Arya? Begitu kan 'kan?!" Aku dongkol bukan main, tapi aku harus bisa meyakinkan Amira agar mau kuajak pulang."Jangan asal bicara! Aku bukan wanita seperti itu!" sanggah Amira."Suami macam apa yang lebih mementingkan wanita lain ketimbang perasaan istrinya?" Amira menatapku tajam."Soal Evita? Itu– itu sudah selesai dan sekarang aku mau kita mulai semuanya dari awal," kataku bersungguh-sungguh. Aku tak sanggup jika harus berjauhan lagi dengannya. Aku tersiksa tanpanya.Amira terdiam sambil menatapku dalam, sepertinya ia masih tak percaya dengan apa yang kukatakan."Am
Setelah memastikan Evita sudah benar-benar pergi, aku memutar kembali mobilku menuju ke rumah kontrakan Amira. Aku harus bisa membujuknya untuk ikut pulang ke rumah.Aku sampai di depan rumah yang satu jam lalu aku datangi. Pintunya masih tertutup rapat."Amira! Mir!" panggilku sambil mengetuk pintu.Tak ada sahutan, sepertinya Amira masih marah padaku karena ulah Evita tadi."Mir! Buka pintunya Sayang, aku tahu kamu di dalam dan mendengarku."Senyap. Amira masih berkeras hati tak ingin membuka pintu."Amira! Buka dulu, kita perlu bicara," ucapku lagi.Satu menit.Dua menit.Lima menit.Masih tak ada tanda-tanda Amira akan membuka pintu. Sampai aku lelah menunggu."Amira! Buka dulu dong! Aku ingin kita bicara. Dengerin aku dulu."Aku terus mengetuk berkali-kali pintu rumah itu. Pintu dengan daun pintu berwarna cokelat kehitaman."Amira!"Ceklek!Pintu akhirnya terbuka. Namun aku kecewa, bukan Amira yang keluar tapi seorang perempuan berusia lebih tua dari Amira, aku taksir usainya sek
Pagi hari aku melihat Amira sedang menyapu halaman rumah itu. Dia memang selalu begitu, tak mau diam, selalu ada saja yang dikerjakan, padahal sedang hamil, harusnya dia banyak istirahat. Aku langsung melangkah mendekatinya. Tanpa bicara apapun, aku langsung meraih gagang sapu yang dipegangnya.Ia pun terkejut dan langsung menoleh."Raka!" "Kamu lagi hamil, jangan capek-capek aku nggak mau anakku kenapa-kenapa. Duduklah biar aku yang nyapu," ucapku tanpa menoleh ke arahnya, dan langsung melanjutkan menyapu daun-daun pohon mangga yang tak begitu banyak."Kamu kok udah di sini, sepagi ini?" Ia terlihat heran, apalagi aku datang tanpa membawa mobil atau motor. Ya aku memang menyewa satu kamar kos di ujung gang ini. Hanya itu satu-satunya cara untuk bisa dekat dengannya. Dan tadi pagi aku sengaja datang kemari berjalan pagi, menikmati suasana pagi di desa ini.Tak kusangka suasana di desa pagi-pagi sangat sejuk. Damai, jauh dari keramaian. Pantas saja Amira betah berlama-lama tinggal d
"Kamu aja tega sama aku, kenapa aku nggak bisa tega sama kamu?!"Amira menyendok sayur untuk dirinya sendiri lalu makan dengan tenang, tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Tak tahukah dia aku juga sebenarnya sangat lapar sekali. Apalagi makanan terlihat sangat enak."Mir, aku ikut makan ya. Please!""Aku bilang enggak ya enggak!" serunya. Aku terkejut, tiba-tiba dia seperti marah."Udah sekarang mending kamu pulang aja. Aku enek lihat muka kamu!"Aku ternganga. Ya Allah dia keserupan apa? Perasaan tadi di depan dia baik-baik saja, kenapa sekarang tiba-tiba berubah."Kamu denger nggak?" sentaknya lagi."Amira kamu ini aneh banget. Tadi kamu nggak apa-apa. Kenapa sekarang marah-marah!""Ya suka-suka aku lah! Kamu aja berbuat sesukamu sendiri, membawa mantan pacar ke rumah, mana yang lebih tega?!"Ya Salam! Ternyata dia masih dendam toh, soal itu."Amira, aku kan udah minta maaf! Aku sekarang udah sadar, aku memilih kamu. Aku udah nggak ada hubungan apapun lagi dengan dia. Aku janji akan
"Apa kau mau tetap tinggal di sini?" tanyaku padanya seraya memiringkan tubuhku, lalu mengelus perutnya. Entah mengapa sekarang aku jadi suka rela mengelus perutnya, merasakan ada calon penerusku di dalam rahimnya."Memangnya boleh aku tetap tinggal di sini?""Ya boleh saja, aku akan ikut tinggal di sini.""Lalu kerjaanmu?""Ya aku akan cari kerjaan lain di sini.""Aku rasa itu nggak mungkin Mas. Mengingat kamu adalah calon penerus perusahaan Papa.""Ya mau gimana lagi, kalau istriku maunya di sini. Masak aku di sana sendirian. Aku nggak akan kuat LDR-an sama kamu." Aku menggenggam jemari tangannya lalu mengecupnya lembut."Memangnya kamu maunya kita berjauhan lagi seperti kemarin?" tanyaku padanya. Ia hanya menggeleng.Pelan aku menarik tangannya hingga membuat tubuhnya mendekat dan semakin dekat. Kedua netra kami beradu, dan dalam hitungan detik aku mendarat sebuah civman di bibirnya yang ranum. Aku begitu merindukan bibir merah muda itu.Cukup lama kami di posisi ini, seakan salin
Bab 1. Dikatai Perawan Tua"Kapan kamu akan menikah, Mir?"Aku menggeleng-gelengkan kepala. Baru saja Ibu masuk ke rumah dengan wajah masam setelah membeli sayur di pedagang sayur keliling yang berhenti di depan rumah. Setelah mengempaskan dirinya di atas sofa ruang tamu, beliau langsung menanyakan hal tersebut."Itu lagi," keluku, tidak berminat menjawab pertanyaan tersebut."Ya iyalah!" Ibu langsung menyahut ketus. "Kamu itu sudah 27 tahun, sebentar lagi menginjak kepala tiga! Apa kamu nggak pengin nikah?!" Meskipun Ibu tampak menggebu-gebu, aku tetap menanggapinya dengan santai."Belum ada jodohnya, Bu," jawabku."Jodoh, gundulmu! Kamunya aja yang nggak niat!" sergah Ibu, akhirnya mengamuk. "Kamu itu! Dijodohkan sama anaknya Pak Lurah nggak mau, sama tentara anak Pak Mandor juga kamu tolak! Padahal mereka itu kan ganteng, mapan, kamunya aja yang selalu saja banyak alasan!"Aku diam saja dimarahi, hingga akhirnya Ibu melanjutkan dengan pertanyaan, "Kamu ini ... normal, kan?"Tata
Bab 2. Pernikahan Dadakan si Pengantin Pengganti"Izinkan putrimu menikah dengan putraku!"Tubuhku bagai tersambar petir ketika mendengar pria paruh baya yang tadinya menjadi calon mertua sahabatku itu tiba-tiba menawarkan pernikahan kepada ayahku. Tidak hanya itu, ayahku langsung mengangguk."Ayah!" Aku langsung memprotes. Niatku datang ke sini hanyalah menghadiri pernikahan sahabat lama, bukan menggantikan sahabatku menikah!Dan lagi, bagaimana bisa aku menikahi calon suami dari Evita, sahabatku sendiri!?Aku tidak mau!Namun, sebelum aku bisa menyuarakan penolakan, Ibu langsung menggenggam kedua tanganku dan menatapku penuh harap."Amira … Nak." Ibuku berbisik lembut."Sepertinya ini jalan dari Tuhan buat kamu. Mau ya, Mir."Aku menggeleng, membuat genggaman ibuku makin erat."Kamu itu sudah dewasa. Apa lagi yang kamu tunggu? Ayah dan Ibu ingin melihat kamu segera menikah." Ibu kembali berkata. "Kalau nunggu yang sempurna, tidak akan ada, Mir. Selama ini kamu sibuk merintis usah