Share

Bab 6. Perpisahan

~Takdir sengaja dibuat rahasia di luar batas mampu manusia, agar yang berjuang tidak kehilangan semangatnya, dan yang berhasil tidak kehilangan rendah hatinya~

Sheyra sudah duduk di kursi panjang berjajar yang disediakan di area terminal keberangkatan internasional untuk menunggu Kafka yang saat ini tengah melakukan check-in. Pesawatnya akan take off tiga jam lagi, tetapi kekasihnya itu harus sudah berada di bandara untuk melakukan berbagai prosedur penerbangan.

Sejak tadi, Sheyra tak henti-hentinya menatap ke arah di mana tubuh Kafka menghilang. Dia merasa resah dan gelisah, karena laki-laki itu sudah pergi hampir setengah jam lamanya dan belum juga kembali.

Dia hela napasnya kasar untuk kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi. Gerak kakinya juga masih mengetuk-ngetuk lantai disertai giginya yang menggigit ujung-ujung kuku guna menghilangkan kegelisahan yang sedang menderanya.

Sekitar lima belas menit kemudian, sosok Kafka akhirnya muncul dan hal itu mampu membuat Sheyra bisa bernapas dengan lega. Dia tegakkan punggungnya saat sosok kekasihnya itu sudah mendekat, menghampirinya.

"Aku lama ya? Maaf ya," ucap Kafka tampak menunjukkan raut bersalahnya.

"Nggak papa. Wajar kok," jawab Sheyra yang kemudian mendapatkan usapan lembut di puncak kepalanya.

Saat Kafka berniat duduk di sebelahnya, Sheyra pun bergeser dari duduknya untuk sedikit memberikan ruang bagi Kafka. Setelah keduanya duduk bersebelahan, hening pun mengisi suasana di antara mereka. Entah Sheyra maupun Kafka, keduanya sama-sama sibuk dengan jalan pikirannya sendiri. Tak lupa, tatapan keduanya juga tampak kosong, menatap lalu-lalang orang-orang yang lewat di depan mereka.

"Mau beli camilan nggak?" tawar Kafka yang memecahkan keheningan.

Sheyra menggeleng sebagai jawaban. "Aku masih kenyang," jawabnya tanpa menoleh pada Kafka.

Namun, hal itu tak berlangsung saat Sheyra merasakan sebuah tangan dingin yang menggenggam telapak tangannya. Sejenak, Sheyra menunduk untuk kemudian menoleh dan dia bisa melihat Kafka yang kini sedang melemparkan tatapan sendu ke arahnya.

"Nanti habis dari sini, kamu bisa pesan taksi sendiri 'kan? Soalnya, Arya nggak bisa datang karena katanya ada acara penting." Pertanyaan itu membuat Sheyra tersenyum tipis. Dalam hati, dia pun berkata, 'Cuma pesan taksi sih, bisa. Yang nggak bisa tuh nahan rindu terlalu lama.'

"Bisa kok." Dan kata yang Sheyra keluarkan nyatanya tidak sesuai dengan apa yang benaknya katakan.

"Shey?" panggil Kafka sambil membingkai salah sisi wajah Sheyra karena kini, Sheyra telah berpaling muka dan tak mau menatapnya.

"Hm?" Sheyra bergumam sambil mengulas senyumnya.

"Aku bisa batalin semuanya kalau kamu nggak setuju aku lanjut S2 ku di luar negeri," ucap Kafka.

Tentu saja ucapan Kafka langsung membuat Sheyra membelalakkan mata. "Aku nggak pernah bilang gitu ya, Ka," elak Sheyra yang memang tak pernah menentang keputusan dari Kafka.

Kafka menganggukkan kepalanya beberapa kali dengan bibinya yang mengulas senyuman manis. "Kamu memang nggak ngomong apa-apa, tetapi sikap kamu udah bisa menjelaskan semuanya."

"Serius, Shey, kamu boleh cegah aku kalau memang kamu nggak setuju. Karena sorot mata kamu itu nggak bisa bohong. Kamu kaya nggak rela aku pergi," lanjut Kafka lagi.

Dengan kelopak mata yang mengerjap lemah, Sheyra pun menggeleng pelan. Dia tidak mungkin mencegah kepergian Kafka karena menyadari bahwa dirinya tidak bisa menjamin masa depan sang Kekasih. Namun, Sheyra juga tidak rela melepas kepergian Kafka dalam kurun waktu yang tidak sebentar dan akan berada di jarak yang sangat jauh dari jangkauannya.

"Jangan korbankan apapun demi aku, Ka. Kamu berhak mendapatkan apapun yang kamu inginkan di dunia ini selagi kamu berusaha sendiri untuk mencapainya. Jangan jadikan aku sebagai alasan karena status kita yang masih sebatas pacaran—"

"Kamu bilang hanya sebatas?" Dengan nada hampir tak percaya, Kafka pun menyela ucapan Sheyra sebelum perempuan itu berhasil menyelesaikan kalimatnya.

"Memang benar 'kan? Semuanya bisa berubah seiring dengan berjalannya waktu."

Kafka menggeleng cepat. "Tapi nggak dengan cintaku, Shey. Kamu sedang meragukan aku?" tanya Kafka terdengar tidak terima.

Karena tidak ingin memperpanjang perdebatan yang mungkin akan membuat hubungannya dengan Kafka merenggang, Sheyra pun menghembuskan napasnya pelan untuk menekan egonya kuat-kuat. Untuk saat ini, dia tidak boleh menunjukkan rasa keberatannya yang akan membuat Kafka ragu mengejar mimpi-mimpinya.

"Nggak, Ka. Aku percaya sama kamu. Percaya sama cintamu ke aku. Aku yakin, kita bisa lalui semua ini dengan berhasil," jawab Sheyra dan tak lupa untuk memaksa sudut-sudut bibirnya agar mau tertarik ke atas, membentuk senyuman seperti bulan sabit.

Sontak, ucapannya itu membuat Kafka langsung menarik tubuhnya agar masuk ke dalam pelukan Kafka. Sheyra juga merasakan kecupan beberapa kali di puncak kepalanya diikuti dengan dekapan Kafka yang semakin erat dan hangat.

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Sheyra pun membalas pelukan tersebut dengan tak kalah hangat. Dia sembunyikan wajahnya pada dada bidang milik Kafka yang selalu menjadi tempat ternyaman untuk pulang setelah menghadapi beratnya kehidupan yang menghampirinya. "Aku pasti bakal kangen banget," ucap Sheyra manja.

Kafka pun merenggangkan jarak untuk menatap wajah kekasihnya tanpa melepas pelukannya. "Nanti kita teleponan terus. Kalau perlu, kita mesti video call setiap jam."

Dan Sheyra pun pada akhirnya terkekeh pelan, walau kekehannya itu tak mampu mengurangi sedikitpun kecemasan yang dirasakannya. Setidaknya, sikapnya itu tak membuat Kafka merasa berat hati untuk meninggalkan dirinya.

"Janji ya? Video call setiap waktu?" ucap Sheyra sambil mengangkat jari kelingkingnya agar Kafka mau berjanji padanya.

"Janji," jawab Kafka yang kini bergerak menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Sheyra.

Dan di waktu yang sudah tak lama itu, keduanya pun memanfaatkannya untuk mengobrol dan membicarakan hal-hal yang membahagiakan. Sampai tak terasa, suara operator pun terdengar dan meminta para penumpang pesawat untuk masuk ke gate penerbangan, pertanda jika pertemuan Sheyra dan Kafka harus segera berakhir.

"Udah, sana masuk! Nanti ketinggalan pesawat loh," suruh Sheyra seperti tak membutuhkan kehadiran Kafka lagi di sana.

Hal itu pun membuat bibir Kafka mencebik kesal. Namun, pada akhirnya Kafka pun mengangguk patuh sambil berusaha bangkit dari duduknya yang gerakannya itu segera diikuti oleh Sheyra.

Setelah sama-sama berdiri dengan posisi saling berhadapan dan menatap netra satu sama lain, Kafka pun berujar pelan. "Tunggu aku pulang ya, Shey. Aku janji, dalam waktu kurang dari dua tahun itu harus udah bisa menyelesaikan pendidikan ku. Kamu ... Mau 'kan nunggu aku selama itu?"

Sheyra mengangguk yakin dengan bibir yang tak pernah luntur untuk mengulas senyum. "Iyaa.." jawab Sheyra gemas.

"Udah, pergi sana!" usir Sheyra yang membuat Kafka tertawa.

Sebelum benar-benar pergi, Kafka pun mendekatkan bibir untuk kemudian melabuhkan kecupan di kening Sheyra dengan penuh kelembutan.

Sheyra bisa merasakan cinta yang sangat besar saat bibir Kafka itu menyentuh keningnya dan ada juga rasa hangat sekaligus sesak yang mendadak mengisi relung kalbunya setelah menyadari jika hari-hari Sheyra ke depan mungkin tak akan lagi sama seperti dulu.

Kafka yang biasanya akan menemani kemana pun Sheyra pergi, mulai hari ini tidak akan ada lagi Kafka yang seperti itu karena raganya dan raga Kafka sudah terpisah jarak dan waktu.

"Aku pergi. Tetaplah mencintaiku walau aku berada jauh dari jarak pandang mu." Itu merupakan kalimat terakhir dari Kafka sebelum laki-laki itu benar-benar melangkah meninggalkan Sheyra.

Laki-laki itu melambaikan tangan yang segera Sheyra balas dengan hal serupa. "Selamat sampai tujuan, Kafka! Jangan lupa kabari aku kalau udah sampai!" teriak Sheyra sambil tersenyum lebar, tak memedulikan tatapan orang lain kepadanya.

Setelah Kafka tak terlihat lagi, senyum yang semula menghias bibirnya seketika luntur, berganti dengan bibir yang melengkung ke bawah dan bergetar karena menahan tangis. Tanpa bisa dibendung lagi, air matanya luruh begitu saja membasahi pipinya yang mulai memerah.

Kafka sudah jauh dari jangkauannya dan hal itu harus membuat Sheyra terbiasa. Mulai hari ini, dia harus berusaha sendiri dengan apapun yang akan dirinya lakukan karena sosok penyelamat itu sudah tak lagi ada.

Semakin dia teringat hal itu, maka semakin sesenggukan pula tangisnya saat ini. "Kenapa cengeng banget sih, aku," gerutu Sheyra pada dirinya sendiri.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status