Share

Bab 8. Off sosial media

Di Melbourne, Australia.

Kafka menatap kesal pada sepupunya karena sudah mengganggu waktunya yang sedang menelepon Sheyra.

"Kenapa sih? Mau ngomong hal penting apa sampai kamu masuk ke kamarku tanpa ketuk pintu dulu?" ketus Kafka sambil membanting ponselnya di atas kasur dengan kasar, tentunya setelah panggilan video itu terputus.

"Gitu aja kok marah. Lagian, aku gini juga disuruh sama Tante Diana. Katanya, Tante mau ngomong penting sama kamu," jawab Laura, sepupu dari adik sang Papa.

Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Kafka pun keluar dari dalam kamarnya dan meninggalkan Laura begitu saja. Hal tersebut tentunya membuat gadis yang saat ini sedang menjalani pendidikan kuliah semester empat itu pun mendengkus kencang melihat tingkahnya.

"Kenapa, Ma?" tanya Kafka langsung pada intinya, sesaat setelah kakinya tiba di dapur di mana sang Mama berada.

Mamanya itu tampak melirik Kafka sekilas sebelum akhirnya memintanya untuk duduk. "Duduk!" titah beliau yang tampak menunjukkan raut serius.

Kafka hela napasnya pelan, sebelum akhirnya menurut pada titah mamanya. "Kenapa sih, Ma?" tanyanya sedikit kesal.

"Setelah ada di sini, Mama amati, ternyata kamu lebih suka menghabiskan waktu kamu di dalam kamar. Bahkan, setelah kamu pulang kuliah dan entah dari mana, yang selalu kamu tuju itu kamar. Memangnya, di kamar ada apa sampai kamu dibuat betah seperti itu?" Bu Diana tampak tak suka dengan sikap yang ditunjukkan Kafka akhir-akhir ini selama beberapa Minggu tinggal di Melbourne.

"Mama dan Papa jauh-jauh dari Indonesia bahkan sampai beli apartemen dan mobil di sini, kalau bukan untuk kamu, untuk siapa lagi? Tapi, kamu yang kami perjuangkan justru seperti tak peduli dan lebih suka menghabiskan waktumu di dalam kamar, daripada bercengkerama dengan Mama dan Papa—"

"Bukan begitu maksud Kafka, Ma," sela Kafka yang membuat mamanya itu mengangkat tangan, pertanda jika Kafka tak boleh menyela ucapan beliau.

Mamanya itu tampak terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu yang tidak Kafka ketahui. Sampai beliau pun akhirnya kembali membuka suara dan membuat Kafka gelagapan sendiri. "Kamu masih berhubungan dengan perempuan itu?" tanya sang Mama terdengar mengintimidasi.

Menunduk, Kafka pun mengangguk membenarkan tuduhan sang Mama padanya. Sontak saja, beliau terkekeh sinis sebelum akhirnya kembali bersuara. "Tinggalkan perempuan seperti dia. Fokuslah dengan pendidikan kamu, Ka."

"Ma? Aku nggak bisa. Dia—"

"Baru pacar 'kan?" sela Bu Diana, seakan tahu kalimat apa yang akan putranya berikan sebagai alasan.

"Aku nggak bisa, Ma. Aku udah dewasa dan udah tahu apa yang aku butuhkan. Dan Sheyra, dia adalah seseorang yang aku butuhkan juga. Dia yang membuatku bersemangat setiap harinya," jawab Kafka tanpa menghilangkan sedikit pun rasa hormatnya pada wanita yang telah melahirkannya itu.

Bu Diana tertawa kencang mendengar penuturan Kafka. Tawa yang terdengar bagaikan sebuah ejekan, seakan ucapan Kafka hanyalah sebuah candaan semata. "Kamu bilang, perempuan itu yang buat kamu bersemangat? Dia udah kasih kamu apa aja sampai kamu bisa bilang gitu di depan Mama? Lalu, apa kabar Mama dan Papa yang rela merintis usaha di sini hanya untuk membuat kamu tak merasa sendirian tinggal di negara asing? Apa itu nggak cukup membuat kamu bersemangat?"

*****

Sekuat apapun Sheyra berusaha untuk berpikir positif tentang Kafka yang kini jauh di sana, tetap saja pikiran buruk berjejalan menghampiri. Kekhawatirannya meningkat saat menyadari bahwa dirinya sudah tak gadis lagi, karena kegadisannya itu telah ia serahkan pada Kafka.

Sheyra takut bila Kafka akan meninggalkan dirinya dalam keadaan 'seperti itu', dan itu berarti jika tidak akan ada lagi laki-laki yang mau menikahinya setelah tahu bila Sheyra sudah tak perawan lagi. Sebab, tinggal di Indonesia itu selalu menjunjung tinggi kehormatan dan martabat seorang wanita.

Kemudian, bila seorang perempuan menikah dalam keadaan masih gadis, maka hal itu merupakan pencapaian tertinggi di masyarakat yang sulit sekali di lakukan di zaman yang apa-apa sudah dianggap mitos.

"Tenang, Shey. Mungkin itu saudara jauh atau apalah. Kafka nggak mungkin cari yang baru," monolog Sheyra untuk menenangkan diri sendiri.

Keesokan harinya, Sheyra mencoba untuk kembali menghubungi Kafka karena semalaman nomor kekasihnya itu tidak aktif. Bahkan, Kafka sampai melupakan rutinitasnya setiap hari yaitu melakukan panggilan video sebelum tidur.

Di percobaan panggilan yang pertama dan kedua, nomor telepon Kafka masih belum bisa dihubungi. Namun, Sheyra tak langsung menyerah. Dia membiarkan ponselnya tergeletak untuk beberapa saat guna memberikan jeda barangkali sinyalnya buruk.

Sampai beberapa detik kemudian, ponselnya pun akhirnya menyala-nyala, menampilkan nama Kafka sebagai sang Penelepon.

Dengan mata yang berbinar cerah, Sheyra pun tergesa-gesa memencet ikon hijau sampai panggilan suara itu terhubung. "Halo, Ka? Kamu kenapa semalam nggak nelepon? Padahal, aku nungguin loh. Terus, kemarin itu, suara perempuan, dia siapa? Aku berhak tahu kan, Ka?" cecar Sheyra yang langsung memberondong Kafka dengan banyak pertanyaan.

Terdengar kekehan renyah di seberang sana yang membuat Sheyra seketika mencebikkan bibirnya kesal. Dia tidak suka Kafka yang bersikap santai padahal dirinya sudah begitu panik dan khawatir.

[Maaf karena kemarin aku banyak banget tugas. Jadi, nggak bisa sleep call.] jawab Kafka.

"Terus, suara perempuan itu ... Siapa?" lirih Sheyra takut dianggap terlalu posesif dan cemburuan.

[Dia sepupuku yang kebetulan kuliah S1 di sini. Orang tuanya juga tinggal di sini]

Sheyra tampak mengangguk-angguk walau gerakannya itu mungkin tidak akan pernah Kafka lihat. "Oh, kamu punya sepupu dan aku nggak pernah tau."

Seketika, Sheyra baru menyadari jika Kafka memang tak pernah mengenalkannya kepada keluarga Kafka. Padahal, hubungan yang terjalin antara Sheyra dan Kafka sudah berjalan sejak bertahun-tahun lamanya.

[Shey?]

Panggilan dari seberang itu membuat Sheyra tersentak dari lamunan. "Ya? Kenapa?" tanyanya refleks.

Kafka terdengar bergumam panjang, seperti bingung ingin memulai kalimatnya dari mana. Setelah menunggu beberapa saat lamanya, akhirnya Kafka pun kembali membuka suara.

[Kayaknya, aku bakal off semua sosial mediaku deh. Kata Mama, aku di suruh fokus belajar biar dalam waktu satu setengah tahun itu udah lulus.]

Butuh jeda bagi Sheyra untuk mencerna kalimat yang terucap dari Kafka di seberang sana. "Tapi, kamu nggak berniat untuk off komunikasi kita juga 'kan?" tanyanya setelah beberapa detik diam.

Tidak ada sahutan, yang membuat Sheyra langsung menyimpulkannya jika Kafka memang berniat melakukan hal tersebut. "Jawab, Ka!" tuntut Sheyra dengan tak sabaran.

[Aku bakal off segala sosial media termasuk itu.]

[Kamu jangan salah paham dulu. Aku melakukan ini agar kita bisa cepat bersama. Aku harap, kamu masih tetap menungguku selama apapun itu. Karena suatu hari nanti setelah aku pulang dari Melbourne, aku berjanji untuk menemui kamu lebih dulu. Kita akan hidup bersama dengan bahagia karena saat itu, aku berniat untuk menikahi kamu.]

Sheyra terkekeh getir mendengar penjelasan panjang lebar Kafka yang masih belum jelas kenyataannya. Satu setengah tahun? Itu masih sangat lama, dan Sheyra harus menunggu selama itu? Tanpa melakukan komunikasi apapun?

"Kamu nggak lagi ingin kabur dari hubungan kita 'kan, Ka?" tuduh Sheyra kecewa.

[Nggak, Shey. Please! Kamu harus janji untuk nunggu sampai aku pulang. Aku nggak mau saat aku pulang nanti, ternyata kamu udah sama yang lain.]

Walau Sheyra bisa mendengar nada resah yang diutarakan Kafka, tetap saja Sheyra tidak mau tahu dengan semuanya. Mungkin, dia masih bisa menerima bila hubungannya harus mengalami hubungan jarak jauh, tetapi jika tanpa komunikasi? Oh tidak! Sheyra rasa, dia tidak sanggup untuk melakukannya.

"Aku nggak janji karena kita nggak tahu ke depannya akan seperti apa," jawab Sheyra yang kemudian terdengar geraman frustasi di seberang sana.

Bersambung ..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status