Share

Bab 6

“Halo, selamat pagi, Bu,” sapa Yeona gugup.

“Pagi, Ye, saya hari ini tidak ke kantor. Kamu tunda jika ada pertemuan hari ini, juga rekap semua berkas yang ada di meja kami, ya. Tadi saya sudah suruh staf untuk meletakkan di meja kamu, ada kan?”

“Mh-ad-ada, Bu,” sahut Yeona terbata-bata.

Dia terpaksa berbohong bahwa dia sudah ada di kantor untuk menyelamatkan dirinya pagi ini.

* * *

Di perjalanan dia merasa ada yang aneh di area mulut. Dia memicingkan mata saat teringat bahwa dia belum menggosok gigi.

“Bu, kelihatannya Den Emil akrab, ya, dengan Mas Han,” ucap Erina memandang bos wanitanya.

Yeona hanya mengangguk mengingat dia belum menggosok gigi.

“Bu, itu gedungnya mau di buat swalayan, loh, ibu temannya, Den Emil yang bilang kemarin,” ucap Erina sambil tersenyum dan sekilas memandang ke arah gedung bertingkat 4.

Yeona mengangguk lagi tanpa berkata. Erina merasa bersalah, dia diam sambil memperhatikan Nyonyanya diam saja seperti ada masalah.

Yeona menurunkan Erina di sekolah Emilio. Terlihat sebuah motor Honda CMX 500 Rebel berwarna hitam terparkir di tempat parkir.

“Mis, nanti kalau Haneul pergi, suruh saja Arga bawa mobil yang di rumah, ya,” ujar Yeona. Karna memang sebelumnya memang Arga yang antar jemput mereka.

“Iya, Bu,” sahut Erina sambil mengangguk.

Mobil Mercedes Benz itu perlahan berjalan mangambil posisi untuk melaju. Tak di ragukan lagi, Yeona menginjak pedal gas dengan sesukanya.

Yeona memang hobi dengan balapan. Pernah suatu hari kemarin dia berpacu mobil dengan orang yang ugal-ugalan di jalan.

* * *

Dari kejauhan terlihat sepi di area depan gedung tempatnya bekerja. Bagaimana tidak, dia sendiri yang baru datang. Yang lain sudah mulai bekerja.

“Ga! Arga!” panggilnya dengan suara keras.

Sang satpam nyengir tanpa melihat orang di dalamnya, tapi dia sudah mengenal pemilik mobil itu.

“Walah, Mbak, kesiangan lagi to,” ucapnya menggelengkan kepala.

Arga—satpam muda yang memiliki tubuh kurus tinggi, hidung bangir, serta kulit putih, menjadi perbincangan kala di jam kosong oleh staf-staf yang lain.

Arga memiliki saudara kembar, yang satu bekerja pada Yeona sejak satu tahun terakhir.

Tin!

Yeona membunyikan klakson saat mobil melintas. Arga tersenyum sambil menganggukkan kepala.

Yeona turun dari mobil, dia berjalan dengan cepat sambil menaruh kunci mobil ke dalam tasnya.

Bruk!

“Aduh.” Yeona bertabrakan dengan Erlangga, staf kantor yang di keuangan. Kunci mobilnya terjatuh hingga sama-sama mereka mengambilnya.

Tangan mereka bersatu di atas kunci, mata mereka saling tatap, mimik wajah keduanya saling gugup.

Secepatnya Yeona bangkit, kunci berada di tangan Erlangga. Yeona meraih tapi Erlangga malah menjunjung tinggi kuncinya.

Rasa kesal begitu dalam, tapi apalah daya, Yeona tidak berani membuka mulut karna dia mengingat belum menggosok gigi.

Yeona melompat dengan tangan yang menjulang ke atas, tapi dia malah tersandung lalu terjatuh ke pelukan Erlangga.

Yeona mendorong dada bidang itu sampai Erlangga mundur selangkah ke belakang.

“Kesiangan lagi, ya, Bu?” godanya sambil tersenyum.

Yeona menarik nafas dalam-dalam, tapi dia enggan untuk melepaskannya. Rasa tidak sedap membuatnya takut bernafas di dekat semua orang.

Erlangga melihat Yeona menahan nafas, dia mencium sendiri bagian ketiaknya.

Ekspresi wajah Erlangga biasa saja karna tadi pagi dia mengoleskan sesuatu yang beraroma eucalyptus di ketiaknya.

Erlangga menurunkan tangannya, secepatnya Yeona meraih kunci dari tangan Erlangga.

Tanpa berucap, Yeona melangkah meninggalkan Erlangga dengan wajah cemberut.

Erlangga tertawa sambil menggelengkan kepala, ada rasa bahagia tersendiri di dalam hatinya telah membuat Yeona kesal hari ini.

Yeona berjalan cepat menuju ruang kerjanya sambil mengingat apa saja yang di tugaskan oleh Bosnya tadi.

Sesampainya di ruang kerjanya, dia menghempaskan bokongnya di bangku yang empuk dan lembut. Yeona bernafas dengan lega. Dia sudah tak takut bernafas lagi karna hanya ada dua sendiri di dalamnya.

Yeona Melik ke sebuah dokumen yang ada di sudut meja. Diraihnya menggunakan tangan kanan lalu membuka dan membaca.

Dengan lihai Yeona mengerjakan apa yang sudah menjadi tugasnya di sana sambil bernyanyi-nyanyi kecil.

Tok! Tok!

“Masuuk,” ujar Yeona sekilas memandang pintu.

Seorang wanita masuk ke dalam ruangan sambil membawa sebuah dokumen yang akan di bawa rapat esok hari.

“Bu, ini dokumennya,” dia mengangsur map berwarna kuning.

Yeona menerima sambil menganggukkan kepala. Wanita itu membalik badan lalu melangkah keluar.

Dreet... Dreet...

Ponselnya bergetar.

“Ibu,” ucapnya semringah.

“Ibuu, aku kangeeen,” ucap manja Yeona pada Eun, ibunya.

“Iya, ini ibu lagi di bandara menuju Jakarta,” ucap ibunya dengan nada lembut.

“Benarkah?” wajah Yeona semringah mendengar kabar sang ibu akan pulang ke Indonesia.

Selama ini ibunya tinggal di Korea Selatan, di mana harus mengolah perusahaan milik sang ayah. Ayahnya meninggal kena serangan jantung saat perceraian Yeona terjadi beberapa tahun silam.

Yeona tidak mau kembali ke Korea karna dia sudah terlanjur cinta dengan Indonesia.

Selain karna makanan khas Indonesia, Yeona juga suka dengan cara orang Indonesia berbicara. Sopan santunnya sangat terjaga.

“Yeona!” sentak ibunya greget.

“I-iya, Bu, nanti Arga akan jemput ke sana,” sahut Yeona gugup.

Panggilan berakhir ...

Yeona mencari kontak nama Haneul di gawainya, setelah ketemu dia langsung memanggil.

“Ha, ada apa?” tanya Haneul tanpa merasa bersalah.

“Kau bawa ke mana anakku? Kok belum pulang?” tebaknya.

“Sudah ih, dia sudah kuantarkan tadi. Ini aku masih di rumah makan,” ucapnya dengan suara mengeras karna Haneul masih berada di tempat ramai.

“Rumah makan pondok ikan?” tanyanya yeona semringah. Sudah terbayang ikan nila bakar plus sambalnya, di tambah sedikit rebusan daun singkong. Uh, nafsu selera makan bertambah parah.

Orang tua Haneul memiliki beberapa rumah makan dan restoran di Jakarta. Membuat Haneul gak mau kerja di perusahaan.

Dia lebih memilih mengelola restoran dan rumah makan yang gak perlu mikir keras, dan sesukanya saja keluar masuk jam kerja, maklumlah milik orang tua sendiri, mau seminggu sekali masuk juga tidak masalah.

“Iya, nanti singgah, ya!” ucap Haneul berharap.

“Oke siap, meluncur. Ini juga pekerjaan sudah kelar, kok,” ucap Yeona sambil mengambil tas di laci meja.

Bergegas Yeona bangkit dari duduk lalu berjalan menuju luar dengan tangan kiri membawa tasnya.

“Aku tunggu, ya,” ujar Haneul semringah. Dia mengakhiri telepon dan bersiap membuat kejutan untuk Yeona.

Yeona keluar dari kantor jalan menuju parkir, dia melihat Erlangga sedang berdiri tepat di samping mobilnya dengan tangan berkacak pinggang.

Yeona berjalan dengan perlahan sambil memperhatikan Erlangga.

“Eh, ngapain?” tanya Yeona dengan nada penasaran.

“Yeo, aku ada masalah. Tolong bantu aku,” ucapnya memohon dan berharap besar.

“Masalah? Terus aku harus tolong apa? Makanya jangan selalu buat masa-“

“Aku akan di kirim ke Singapura, untuk meneruskan perusahaan Papa di sana.”

“Aku di sana akan di jodohkan dengan pilihan Papa,” ujarnya dengan nada datar.

“Lantas?”

“Aku ingin kamu pura-pura jadi kekasihku, supaya Papa mengurungkan niatnya,” ujar Erlangga sambil menghela nafas.

Erlangga tidak pernah bercerita tentang sanak saudara bahkan orang tua.

Dia terkenal orang yang dingin, tapi kalau sudah kenal dekat dia bisa jahil. Erlangga tidak pernah mengeluh pada siapa pun termasuk Yeona.

Yeona sedikit berpikir, tidak enak rasanya kalau menolak permintaan Erlangga karna baru ini kali pertama dia di minta pertolongan.

“M-gimana, ya? Nanti tidak berkelanjutan, ‘kan?” Yeona memandang wajah Erlangga meminta kepastian.

“Ya, enggaklah, cuman sementara saja kok. Percaya sama aku!” Erlangga memastikan dengan satu tangan mendekap di dada sambil membungkuk di hadapan Yeona.

Yeona tertawa lepas melihat tingkahnya. Yeona berkacak pinggang sebelah dan satu tangan memegang tali tas branded miliknya.

“Jadi kapan kita mulai aktingnya?” tanya Yeona sambil tersenyum.

“Sekarang,” sahut Erlangga meringis.

“What?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status