Share

Ketahuan

Aku melangkah mengikuti Mas Tara yang berjalan menggendong Aluna ke kamar. Ya, setelah berenang ia tidur saat perjalanan pulang. Dia begitu kelelahan setelah puas bermain air dengan papanya.

Perlahan Mas Tara membaringkan tubuh Aluna di atas ranjang. Segera kunyalakan pendingin ruangan. Putri kecilku tak bisa tidur lama jika AC dalam keadaan mati.

Sebuah kecupan Mas Tara berikan di kening Aluna. Melihat itu membuat sudut bibirku tertarik ke atas. Namun secepatnya hilang jika mengingat sikap suamiku dengan Imelda tadi. Suamiku terlihat mencuri pandang pada gadis muda itu.

Mereka baru bertemu tapi seperti mengenal sejak lama. Berulang kali kucoba meyakinkan diri jika Mas Tara lelaki setia. Namun semakin ke sini justru kecurigaan yang selalu menghantui. Bahkan aku mulai tak percaya dengan kata-katanya.

"Sayang." Sebuah sentuhan membangunkan aku dari lamunan.

Mas Tara sudah berdiri di hadapanku dengan sorot mata penuh tanda tanya.

"Kenapa diam saja, Sayang?"

"Tidak apa-apa, kok, Mas."

Aku membalikkan badan hendak melangkah menuju kamar. Namun dengan cepat Mas Tara menarik tubuhku sehingga tiba-tiba kepalaku menempel di dada bidangnya.

Aku pindai setiap inci wajahnya, alis tebal, rambut hitam, hidung mancung, rahang tegas dan senyum menawan. Mas Tara memang sempurna di mataku, bahkan di mata semua wanita. Apa ini yang membuatnya mendua?

Lelaki yang memiliki harta memang selalu digoda dengan hadirnya wanita lain dalam hubungan pernikahan mereka. Apa lagi wajah Mas Tara yang rupawan. Di luar sana pasti banyak wanita tergila-gila kepadanya. Hanya satu yang menjadi pertanyaan, mampukah Mas Tara berdiri kokoh saat badai melanda? Atau dia justru terbawa angin lalu mendarat di tempat lain.

"Kenapa menatapku seperti itu? Hem!" Mas Tara mencubit pelan hidungku.

"Kenapa Mas Tara bisa begitu akrab dengan Imelda? Padahal kalian baru bertemu?"

Mas Tara tersenyum, ia menuntunku masuk ke kamar. Sekarang kami duduk di atas ranjang. Mas Tara masih membisu, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Lalu untuk apa dia mengajakku kemari? Tidak tahukah dia jika suasana hati tak lagi ingin bercanda.

"Kamu cemburu, Lin?"

Aku diam, enggan menjawab perkataannya. Hati ini bukan saja cemburu tapi dilanda keraguan. Semenjak aku memergoki lelaki mirip Mas Tara, semenjak itu pula pikiran buruk selalu berkelana? Salahkan perasaan ini, Tuhan?

"Sayang, kamu marah?" Mas Tara menarik tubuhku hingga tenggelam dalam dekapannya.

Melihatku diam, Mas Tara justru tersenyum. Tanpa aba-aba dia mengecup bibir ini. Ingin aku berontak tapi tangan terlalu cepat beraksi. Respon alami tubuh muncul meski hati menolak.

"Terima kasih, Sayang," ucapnya lalu mengecup kening ini.

Mas Tara memalingkan tubuh, tak lama dengkuran halus keluar dari mulutnya. Dia tertidur usai menuntaskan hasratnya. Bahkan peluh masih menempel di sekujur tubuh, suamiku sudah berada di alam mimpi.

Menghembuskan napas kesal, pertanyaanku belum sempat dijawab tapi ia sudah tertidur pulas. Rupanya aku harus menerima kekecewaan lagi.

Beranjak dari kasur, aku melangkah menuju kamar mandi. Keringat yang membanjiri sekujur tubuh membuatku merasa tak nyaman.

Guyuran air dingin menciptakan sensasi tersendiri, membuat rasa lelah dan penat hilang seketika. Namun tidak dengan rasa curiga atas tingkah laku Mas Tara. Lagi kutepis perasaan itu. Aku tak memperburuk hubungan rumah tangga ini. Namun insting seorang istri mengatakan hal berbeda.

Aku memang belum memiliki bukti. Tapi perasaan ini terus mengatakan jika Mas Tara telah bermain api di belakangku.

Kriing....

Nada dering panggilan masuk terdengar jelas di kamar mandi. Aku memilih mengabaikan ponsel Mas Tara yang terus menjerit-jerit. Tak berapa lama benda mati itu kembali diam, menciptakan kesunyian di kamar ini.

Lagi dan lagi nyanyian lagu pop kembali terdengar. Siapa yang menghubungi Mas Tara hingga berkali-kali? Rasa penasaran menuntunku untuk segera menyelesaikan rutinitas di kamar mandi.

Cepat-cepat kupakai handuk lalu keluar dari kamar mandi. Mas Tara masih terlelap, dengkuran halus masih terdengar. Suara nada dering tak bisa membangunkannya.

Kucari suara nada dering ponsel itu. Ah, kenapa harus tertindih tangan Mas Tara? Bisa-bisa ia terbangun saat aku mengambilnya.

Dengan hati-hati kugeser tangan kekar itu. Aku sampai menahan napas karena takut Mas Tara akan terbangun. Satu gerakan lagi ponsel itu akan berada di tanganku.

"Sayang," panggil Mas Tara. Seketika kulepas ponsel itu dari tangan. Gagal sudah rencana untuk mencari informasi tentang isi ponsel suamiku.

Aku membalikkan badan, hendak melangkah menuju lemari. Namun kembali kudengar dengkuran halus dari mulut suamiku. Ah, ternyata dia mengigau. Dengan cepat dan hati-hati kuambil benda pipih itu.

Sial, ponselnya diberi sandi. Sejak kapan Mas Tara menutupi isi ponselnya? Jangan-jangan memang benar dia memiliki simpanan?

Baru membayangkan saja dadaku terasa sesak. Bagaimana jika apa yang kutakutkan menjadi sebuah kenyataan? Mampukah aku seperti artis yang tengah viral itu. Memaafkan suami yang tega berselingkuh. Kurasa hatiku tak sekuat itu.

Tak ingin menyerah kutekan angka sesuai tanggal lahirnya. Namun ponsel itu tetap gak bisa terbuka. Mungkin tanggal pernikahan kami atau tanggal ulang tahunku. Menghembuskan napas kasar, nomor yang kutekan tak satu pun yang sesuai dengan sandi ponsel itu.

Aku mulai menyerah, mungkin belum saatnya aku tahu kenyataan yang sebenarnya.

Kuletakkan ponsel di atas nakas, tapi belum sempat aku membalikkan badan sebuah panggilan masuk kembali terdengar.

Sudut bibirku tertarik ke atas, akhirnya apa yang kutunggu membuahkan hasil. Sebuah nomor baru tertera di layar ponsel. Tak ada gambar dalam profil itu.

Segera kutarik gambar telepon berwarna hijau ke atas. Kemudian kutempelkan ponsel di telinga kanan.

"Hallo ...." Suara merdu nan manja terdengar dari seberang sana.

Dadaku bergetar, napasku tiba-tiba tersengal. Apa ini selingkuhan Mas Tara?

Kututup mulut rapat agar suara tangis yang hampir pecah ini tak mampu didengar olehnya. Aku tak mau dia tahu jika bukan Mas Tara yang mengangkat telepon darinya.

"Mas, kamu dengar gak sih?"

"Jangan mentang-mentang ada istri tua itu kamu tega mengabaikan aku."

Asap mengepul dari kepala. Istri tua dia bilang? Apa wanita berusia 28 tahun itu terlalu tua? Menghembuskan napas kasar, ingin memaki tapi kutahan sekuat tenaga. Jangan sampai aku mengeluarkan suara walau sedikit pun.

"Aku kangen lho, Mas. Kamu gak bisa ngomong atau gimana, sih?"

Dia mulai merajuk karena Mas Tara tak mengeluarkan suara sedikit pun. Harusnya bukan dia yang marah, tapi aku istrinya.

"Kalau gak ngomong aku panggil, Om, lho!"

Om, apa jangan-jangan yang kulihat di mall waktu itu adalah Mas Tara dan gudiknya. Jadi suamiku memiliki wanita lain?

Bulir demi bulir jatuh membasahi pipiku. Ternyata rasanya begitu sakit.

"Om! Jangan diam terus, dong!"

"Apa yang kamu inginkan dari suamiku?"

Tut ... Tut ....

"Apa yang kamu lakukan dengan ponselku, Alin!"

Aku membalikkan badan Mas Tara duduk di atas ranjang sambil menatapku tajam.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
matilah kau alin. cuma bisa menangis kau
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status