"Fiya?" Tanya Aryan yang sedari tadi memperhatikan wajah Fiya yang bengong.
"Kenapa Pak?""Kamu gak dengar apa yang saya bilang tadi?""Baju?" Tanya Fiya sambil memikirkan khayalan sesaat tadi. Khayalan yang tidak mungkin ia lakukan.Aryan hanya mengangguk kecil dan menyilangkan kedua tangannya. Ia menatap tajam Fiya yang sedari tadi tidak bergerak. Fiya yang malas mencari masalah lalu langsung masuk ke ruang ganti dan diikuti oleh pelayan di sana.Setelah bolak-balik mencoba baju agar sesuai dengan keinginan Bos nya. Akhirnya selesai juga dengan dress berwarna putih yang panjangnya hanya selutut sedikit kembang.Aryan yang sedang memilih-milih heels untuk Fiya terhenti sejenak. Siapa yang tidak terkesima dengan Fiya. Apalagi menggunakan dress yang sangat jarang ia pakai saat bekerja.Saat bekerja Fiya sudah sangat terbiasa menggunakan baju kemeja ataupun kalau tidak ya menggunakan outer dengan bawahan rok span panjang selutut atau celana. Benar-benar mencerminkan seorang sekretaris."Gimana Pak? Ini udah baju ke 8," Tanya pelayan tersebut."Oke yang itu. Sama ini," balasnya sambil memberikan heels berwarna putih. Ia pikir itu akan sangat cocok untuk dress Fiya.Pelayan itu lalu memberikan heels itu ke Fiya. Karena sedari tadi, Fiya tidak menggunakan sepatu. Fiya lalu memakai heels itu dan sekarang penampilannya sudah sempurna.***Malam yang Fiya takuti akan tiba. Ia tidak menyangka waktu akan berjalan sangat cepat. Apalagi ia yang harus membaca informasi-informasi orang tua Fiya. Tentunya itu adalah tugas dari Aryan.Fiya menghela nafasnya. Ia duduk di meja riasnya. Ia sedikit demi sedikit bermake-up, tidak membutuhkan waktu yang lama. Hanya memakan sekitar lima belas menit. Setelah itu ia membenarkan rambutnya. Ia membiarkan rambutnya terurai."Bukannya aneh ya?" Tanya nya pada diri sendiri. Ia saja sudah lupa kapan terakhir kali ia menguraikan rambutnya. Ia terbiasa mengikatnya. "Ah udahlah!"Fiya segera mengganti bajunya dan kemudian mengambil tasnya yang hanya muat handphone saja. Tidak lama ia mendapat wa dari bos nya bahwa ia sudah datang. Dengan cepat Fiya segera pergi dan tidak lupa memakai heelsnya.Lagi-lagi Aryan tidak berkedip melihat Fiya yang sedikit berlari dengan rambutnya yang membuatnya semakin terlihat mempesona. Fiya yang sudah ada di depan Aryan menjadi kebingungan."Pak? Kenapa?""Masuk." Aryan hanya mengatakan hal itu. Ia benar-benar luar biasa dalam membuat orang kesal. Aryan si manusia tanpa ekspresi. Sepertinya itu adalah hal yang sangat cocok untuknya. Sangat susah untuk melihatnya tersenyum.Saat perjalanan Aryan sesekali melirik ke arah Fiya. Hingga ia terpikir untuk berbicara dengannya."Nanti saat di sana. Jangan panggil saya dengan kata Bapak.""Kalau begitu panggil apa Pak?"Aryan hanya berdehem. Sangat sulit untuk mengatakan sayang. Harga dirinya terlalu mahal."Panggil gitu Pak?" Tanya Fiya yang sangat polos.Aryan sebenarnya sangat bingung dengan Fiya. Ia sangat polos dan otaknya lama loading nya. Tapi dalam pekerjaan otaknya sangat lancar."Panggil sayang," ucap Aryan sambil tetap melihat ke arah depan.Fiya hanya terdiam. Jujur saja jantungnya saat ini sangat berdetak kencang. "Kenapa jadi canggung gini sih," batin Fiya. Fiya yang kepanasan dengan bodo amat menaikkan suhu AC mobil Aryan.Aryan yang melihat itu hanya terdiam saja. Tidak bereaksi sama sekali. Karena ia merasakan hal yang sama. Kemana saja mereka berdua, padahal selama enam bulan itu biasa-biasa saja. Tapi sekarang?Setelah sampai, Fiya terkesima dengan rumah Aryan. Begitu mewah dan sangat luas. "Jadi inget rumah," batinnya."Gak mau masuk?" Tanya Aryan sambil melambaikan tangannya di depan wajah Fiya.Fiya hanya tersenyum tipis karena malu. Aryan yang melihat itu langsung salah tingkah dan keluar dari mobil. Ia membukakan pintu untuk Fiya dan menyiapkan tangannya untuk Fiya gandeng."Harus banget Pak?" Tanya Fiya sambil mereka yang berjalan."Inget kan apa kata saya tadi?""Bapak juga gitu."Aryan terhenti. Begitupun dengan Fiya. Aryan kemudian mencondongkan badannya ke Fiya. Membuat Fiya agak menjauh tapi tangan mereka masih bergandengan."Kenapa....?"Aryan mengangkat satu alisnya. Tentunya agar Fiya memanggilnya dengan sebutan sayang."Sayang," ucap Fiya sambil melihat ke lain-lain arah, karena tidak bisa menatap Aryan. Sedangkan Aryan hanya tersenyum tipis melihat tingkah Fiya."Bagus."Pintu sudah terbuka untuk mereka berdua masuki. Fiya menatap Aryan dengan tatapan takut. Tidak pernah ia membayangkan jika ia pertama kali di kenalkan pada orang tua laki-laki yang padahal mereka tidak ada hubungan sama sekali.Saat sudah sampai di ruang makan Fiya menatap satu persatu orang-orang di sana. Ia melihat Papa, Mama, dan satu orang laki-laki. Ia tidak mengenalnya. Tapi sepertinya ia adalah saudara Aryan.Sudahlah itu tidak penting, yang penting sekarang adalah bagaimana Fiya menghadapi empat orang di sana. Baru beberapa menit Fiya duduk, ia sudah di tanya oleh Mamanya."Saya dengar kamu sudah enam bulan sama Aryan?""Iya Tante," ucap Fiya sambil tersenyum."Berarti kamu awal masuk perusahaan sudah pacaran?"Fiya bingung harus berbicara apa. Ia menatap ke sampingnya, Aryan. Berharap ia bisa berbicara untuknya. Entah kenapa mata Aryan tiba-tiba menatap malas ke arah Mamanya.Suasana di sana benar-benar menegangkan. Rasanya Fiya ingin pergi dari sana dan menghilang. Ternyata benar seperti buku-buku yang ia baca. Keluarga kaya selalu mempunyai konflik yang rumit. Tapi yang paling mengherankan adalah hampir semuanya tidak akur. Seperti yang ia lihat sekarang.Hingga tiba-tiba Papa Aryan berdehem dan berbicara. "Nanti saja bahas itu, sekarang kita makan. Pelayan sajikan makanannya!"Pelayan kemudian satu persatu datang dengan membawa berbagai makanan hingga memenuhi meja makan yang bentuknya bundar itu. Saat semuanya sudah tersaji. Mereka semua makan dan tidak lupa Papa dan Mama Aryan memperhatikan mereka berdua.Aryan yang peka akan itu lalu bersifat mesra. Layaknya seorang pasangan kekasih. Seperti mengambilkan Fiya lauk, mengambilkan minum, dan menyeka bibir Fiya yang sedikit ada makanan sambil tersenyum menatapnya. Fiya juga ikut tersenyum, ikut masuk dalam akting Aryan yang bisa di katakan sangat sempurna."Baru sadar gua Pak Aryan jago dalam bohong. Mana kayak profesional lagi melayani gua. Emang dia pernah punya pacar ya? Tapi kok sifatnya di luar gak kayak gini?" Batin Fiya. Pertanyaan-pertanyaan banyak berputar di telinga Fiya.Saat di tengah-tengah makan. Mama Aryan lagi-lagi membuka suara. Kali ini ia melontarkan pertanyaan untuk Aryan."Kamu yakin akan nikah sama sekretaris kamu sendiri?""Kenapa enggak?" Balas Aryan.Percakapan yang singkat itu membuat Fiya tersedak. Dengan cepat Aryan mengambilkan Fiya air minum sambil menepuk pundak Fiya sambil bertanya, "Kamu gak apa-apa kan sayang?"Aryan mengambil tisu dan mengelap bibir Fiya yang terkena air. Aryan sekarang benar-benar berbeda. Seperti memiliki kepribadian ganda. Fiya tentunya agak shock mendengar itu. Tidak mungkin ia menikah dengan orang seperti Aryan. "Jangan sampe deh hidup gua kayak di novel-novel yang ntar gua di hamilin, terus di selingkuhin, terus di tinggal. Jadi janda anak satu. Enggak. GAK BOLEH. JANGAN SAMPAI! Kan gua pengen nikah sama orang yang gua suka dan dia juga suka gua." Batin Fiya. Mama Aryan benar-benar tidak bisa berkata apa-apa sekarang. Apalagi melihat Papa Aryan yang sepertinya menyukai Fiya dan Aryan yang sangat perhatian pada Fiya. "Papa setuju kalau kamu nikah sama Fiya. Tidak masalah dia sekretaris kamu. Bukannya malah bagus. Karna dia pasti ngerti, dan selama ini kinerjanya juga bagus dan layak di samping kamu," ucap Papa Aryan. "Makasih Pa, aku juga yakin dia bisa jadi pendamping hidup aku," ucap Aryan sambil menatap Fiya sambil tersenyum, Fiya pun membalas senyumannya kemudi
Aryan terkejut dan marah mendengar permintaan kliennya itu. Baginya, Fiya bukanlah sekedar aset perusahaan yang bisa dijual untuk keuntungan. "Maaf Pak, saya tidak bisa menerima permintaan Bapak. Fiya adalah karyawan saya sekaligus pacar saya. Saya tidak akan menyerahkannya begitu saja demi uang," tegas Aryan.Klien itu terlihat kesal mendengar penolakan Aryan. "Jadi Bapak menolak kerja sama yang sangat menguntungkan ini hanya karena perempuan itu? Bapak pasti bercanda!""Saya serius, Pak. Ada hal-hal dalam hidup yang lebih berharga dari sekedar uang dan keuntungan bisnis. Lagipula masih banyak peluang kerja sama lain yang bisa kita jajaki," balas Aryan tegas.Aryan lalu berdiri dan berkata, "Saya gak perlu kerja sama ini," ucapnya lalu berjalan mencari Fiya. Klien itu hanya tersenyum tipis melihat kepergian Aryan. Entah apa yang terjadi dengan klien tersebut. Dan entah apa juga yang terjadi dengan Aryan. Padahal apa yang klien katakan adalah benar adanya. Tapi Aryan dengan cepat m
Fiya melihat lekat pelayan yang membawa bunga itu. Memastikan bahwa dia tidak ke arahnya. Tapi sepertinya tidak sesuai harapan. Sekarang ia sudah telat berada di meja makan mereka. Aryan mengambil bunga itu sambil berdiri dan tersenyum. Kemudian ia berjalan pelan ke arah Fiya dan mengulurkan tangannya. Wajah Aryan menyiratkan ia harus melakukan hal romantis itu sekarang. Dengan terpaksa, Fiya menggapai tangan Aryan sambil tersenyum. "Bunga ini buat aku?" Tanya Fiya sambil tertawa bahagia. Aryan tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. "Gimana? Kamu suka kan sayang?" Tanyanya sambil memberikan bunga itu. Fiya mengambil buket bunga itu dan menganggukkan kepalanya. Ia tersenyum begitu indah hingga kantong matanya terlihat. "Makasih." Mereka berdua lalu berpelukan. Orang-orang di sana yang melihat keromantisan itu tentu saja ikut turut bahagia. Hingga yang ada di sana memberikan tepuk tangan yang meriah. Fiya kira kejutan itu sudah sampai sini saja. Tapi ternyata itu baru saja p
"Saya izin keluar Pak," ucap Fiya lalu langsung keluar dari mobil Aryan dan berlari kecil tanpa melihat ke belakang sekalipun. Ia benar-benar bisa gila sekarang. Saat sampai di apartemennya, Fiya melakukan segala aktivitas malamnya sambil memikirkan kejadian tadi dan tentang lamaran Aryan tadi. Sampai akhirnya, sekarang adalah waktunya Fiya tidur. Ia mencoba memejamkan matanya tapi pikirannya terus-menerus berputar ke Aryan. Fiya kemudian melihat obat tidur yang biasanya ia makan. Ya, dia adalah insomnia. Mempunyai penyakit susah tidur, apalagi ketika banyak pikiran. Menjadi seorang sekretaris merupakan bukanlah hal yang mudah. Apalagi ia tidak punya pengalaman. Tapi entah kenapa, dari banyaknya orang yang mendaftar. Fiya adalah satu-satunya yang terpilih. Bukankah harusnya ia syukuri itu sekarang. "Gak bisa!" Fiya kemudian mengambil obat itu dan meminumnya. Kemudian perlahan ia memejamkan matanya. Menunggu obat itu bereaksi. Di sisi lain, Aryan yang menatap layar laptopnya terus
"Coba cerita sama kakak," ucap Fiya dengan lembut. Tapi Rini hanya menggelengkan kepalanya. Fiya hanya terdiam, tidak tau harus bagaimana. "Emm, ya udah kalo gak mau cerita gak apa-apa," ucap Fiya sambil berpikir ia harus bagaimana. "Oh iya nama kucing ini siapa? Lucu kayak kamu tau.""Namanya Kitty," ucapnya tertawa begitu bahagia. "Namanya bagus, lucu lagi," ucap Fiya sambil ikut tersenyum. Sekitar tiga puluh menit, Fiya menemani Rini. Hingga kini Aryan sudah kembali dan menghampirinya. "Papa," ucap Rini sambil memeluknya begitu erat. "Papa?" Tanya Fiya yang kebingungan. Apa yang terjadi sekarang? Apakah Aryan mempunyai anak? Ia baru tau sekarang? "Kamu baik-baik aja kan selama Papa gak ada?" Tanya Aryan sambil tersenyum kepada anak itu. Fiya semakin membulatkan matanya. Bagaimana tidak Aryan sendiri memanggilnya dengan sebutan Papa. Sangat begitu jelas terdengar. Apa itu benar anak Aryan? Pertanyaan itu sangat ingin Fiya tanyakan. Tapi ia bungkam, karena ia bukan siapa-siapa
Setiap orang mempunyai rahasia masing-masing. Fiya punya rahasia, bukankah begitu juga dengan Aryan. Tidak mungkin bukan jika tidak ada rahasia. Percakapan mereka hanya cukup sampai di situ. Mereka hanya saling terdiam dan hanya menikmati apa yang sedang mereka lihat sekarang. Tidak lupa sesekali Fiya memotret pemandangan itu. Dan tanpa sengaja ia memotret Aryan yang tengah memandang ke laut. "Sempurna," batin Fiya melihat foto itu di handphonenya. Setelah melihat matahari terbenam, mereka berdua kembali ke vila untuk beristirahat. Setelah seharian bersama, Fiya merasa ia semakin mengenal Aryan. Tapi semakin mengenal, Fiya semakin ingin menjauh. Karena ia begitu sempurna. Sedangkan ia hanya sebatang kara. Berjuang keras untuk menghidupi dirinya sendiri. Flashback on. Suara petir yang menggelegar begitu terdengar menakutkan. Tapi tidak dengan Fiya saat enam bulan lalu. Saat ia benar-benar tidak mempunyai uang untuk menyewa tempat yang lebih layak untuk ia tinggali. Pada saat itu
"Pak, saya siap untuk jadi istri bapak." "Bagus, itu adalah keputusan yang luar biasa. Besok kita nikah. Lalu kita akan punya anak banyak. Bagaimana kalau sepuluh? Apakah kamu mampu? Rasanya ingin lebih, tapi ya sudahlah sepuluh saja cukup," ucapnya sambil tersenyum tipis. "Baik Pak." "Kamu memang harus nurut sama saya. Karena saya adalah Bos kamu." Fiya menutup buku itu, ia benar-benar ternganga dengan alur cerita yang peran wanitanya benar-benar bodoh. Sangat tidak waras. Orang mana yang membaca cerita seperti itu. "Ya kali 10 anak," ucap Fiya sambil mengambil kentang goreng itu. "Kenapa?" tanya Dito yang datang dengan wajah kebingungan. "Gak apa-apa, ini ceritanya agak di luar nalar. Emang ada ya cewek yang mampu buat anak sampe 10?" Tanya Fiya yang heran. "Ada sih pasti. Bahkan lebih."Fiya hanya terdiam dan memikirkan. Hingga tanpa ia sadari bahwa Dito sadar akan hal yang berbeda dari diri Fiya. "Fiya kamu mau nikah?" Tanya Dito. "Nikah?" Tanya Fiya yang kebingungan. "
Ia mengetuk pintu dan memastikan Aryan menyuruhnya masuk terlebih dahulu. "Masuk!" Fiya kemudian masuk tanpa memandang ke arahnya. Ia memfokuskan ke arah berkas. "Ini Pak berkas yang harus bapak tanda tangani hari ini." Aryan kemudian mengambil pulpen dan menandatangani berkas itu. "Nanti makan siang sama saya," ucapnya sambil memberikan berkas yang sudah ia tanda tangani itu. "Saya makan di kantin kantor aja Pak," ucap Fiya sambil tersenyum sopan dan kemudian langsung pamit. Sedangkan Aryan hanya menghela nafasnya. Bisa di katakan sekarang sedang salah paham. Semua itu karena Riani yang tiba-tiba saja mendekat ke arah kursi Aryan dan membuat mereka seolah-olah sedang berpelukan. Saat wakun makan siang tiba. Aryan segera menyelesaikan pekerjaannya dan langsung menghampiri Fiya. "Ikut saya sekarang." Aryan langsung jalan terlebih dahulu, tanpa memikirkan Fiya. Mau tak mau Fiya harus ikut sekarang. Tidak ada penolakan. Mereka pergi menggunakan mobil Aryan dan sampai di restoran ya