“Kenapa lo bersikap jadi orang asing semalam, kalau akhirnya lo udah kenal gue?”
“Memangnya siapa yang mengatakan kalau aku kenal sama kamu?”
“Ih! Mami lo bilang, udah tau siapa gue dari foto yang saling dikasih antara nyokap kita?”
Liam terkekeh pelan melihat bagaimana Indira begitu menggebu berbicara padanya tanpa menyesuaikan lagi intonasi dan tarikan napas yang perempuan itu gunakan.
“Aku kenal kamu lewat foto, bukan secara langsung. Jadi, aku nggak salah sama sekali,” jelasnya melipat kedua tangan di atas meja dan menatap lekat perempuan berparas cantik dengan rambut sedikit ikalnya.
“Siapa tau, wajah di foto sama aslinya berbeda. Tapi, aku rasa memang beneran berbeda. Kamu terlihat lebih cantik dibandingkan foto yang diberikan Mami padaku,” ungkapnya membuat Indira tersedak.
Pria itu melihat tingkah lucu Indira menatapnya tajam. “Dasar pria tua yang mesum! Jangan harap pernikahan ini beneran berjalan lancar!”
“Doa yang baik-baik aja. Nggak bagus kalau doa yang kamu pinta buruk. Banyak perasaan yang akan tersakiti kalau pertunangan ini nggak berhasil. Terutama aku.”
Lagi. Indira tidak bisa menutupi rasa kaget dan tidak percayanya dengan sikap percaya diri pria tampan itu. Ia selalu menjawab setiap ucapan Indira begitu santai tanpa mendominasi.
“Kamu masih SMA, tapi cukup cantik juga untuk siswi seusiamu,” ungkap Liam menangkup sisi wajahnya dan menahan siku di atas meja sebagai tumpuan.
Indira membeliak. Ia nyaris tidak bisa menelan salivanya saat Liam menatapnya dalam senyum manisnya. “Usiamu tujuh belas tahun, kan?”
Perempuan itu mengangguk kaku. Ia terlalu aneh dan tidak bisa dipandang lekat oleh pria tampan yang memiliki garis keturunan Jepang. Sepertinya ia mengikuti mendapati keturunan dari sang Papa.
“Nggak akan menjadi kendala kalau kamu memutuskan menerima pernikahan ini.” Ia menegakkan tubuh, menatap lekat manik hitam yang menatapnya dengan terpaku.
Liam tersenyum manis. “Kita hanya berbeda tiga belas tahun.”
“APA?!”
Sial!
Saat itu pula, Indira menutup rapat bibirnya, menahan rasa malu saat kali kedua ia dipandang sinis dan menjadi objek perhatian pengunjung kafe. Hari ini benar-benar membuatnya sangat malu dan merasa seperti orang asing yang masuk dalam lingkaran yang penuh kejutan.
Ia tidak pernah tahu bagaimana pertemuan ini sudah direncanakan dan Mamanya akan menjodohkan dirinya dengan pria yang lebih tua tiga belas tahun darinya?!
“Lo ... jadi ... jadi, lo seharusnya gue beneran panggil Om?!”
Indira pikir, usia pria itu sekitar dua puluh lima tahun.
Liam tertawa kecil. “Kenapa? Aku terlihat muda dari usiaku?”
Perempuan itu mendengkus dan menatap tidak percaya tingkat percaya diri Liam. “Seharusnya gue nggak usah panggil lo Kakak. Lebih baik gue panggil lo Om.”
“Ya. Om-om yang dekatin perempuan muda seperti kamu,” sambungnya memainkan alis dan menatap genit Indira.
“Lo juga. Kenapa terlihat akrab banget, sih! Dari awal kenal lo udah sangat mesum! Gue benci didekati pria dewasa dan mesum kayak lo!”
“Sekarang nggak mau, nanti juga nggak bakal nolak.”
Indira menggeram dan menangkup kepala dengan kedua telapak tangannya. Frustrasi sendiri dengan tiap jawaban santai yang terlontar dari Liam.
Pria dewasa di hadapannya terlalu bersikap tenang dan ia sudah kalah telak.
“Untuk apa bersikap formal? Memanggil dengan sebutan ‘kamu – saya’ kalau akhirnya kita akan semakin dekat dengan hubungan baru? Semakin menjadikan panggilan kita terlalu berjarak, kita akan semakin sulit mendapati interaksi yang intens dan akrab.”
Perempuan itu menatap Liam tidak berkedip.
“Sumpah! Lebih baik lo tolak pernikahan ini sebelum terjadi! Gue masih sekolah! Belum lulus dan terutama gue bukan tipe perempuan yang sesuai untuk pria dewasa kayak lo, Om-om genit ...” gemasnya dalam bicara yang sontak membuat Liam tidak tahan untuk tertawa.
“Minimal cari perempuan yang selisih usianya nggak jauh dari lo. Please, tipe kita beda. Jangan rusak masa depan gue dengan pernikahan bersama Om-om tua kayak lo. Mama juga, dikasih calon suami yang ketuaan gini.”
“Tadi, kamu bilang usiaku nggak mencerminkan perawakanku? Aku kelihatan lebih muda, kan? Nggak masalah kalau kita melanjutkan pernikahan ini,” balasnya semakin mendesak dan menyudutkan Indira.
“Mama ....”
Indira memanggil merengek dan frustrasi pada sang Mama tercinta. Tidak tahan berada lama-lama bersama Liam. Tapi justru ia kembali menjadi tontonan gratis oleh pengunjung kafe. Indira terlalu sebal dengan sikap Liam.
“Gue bakal panggil lo Om!”
“Nggak masalah. Bukannya terdengar menarik? Kamu terlihat menjadi seorang sugar baby.”
Bibir Indira terbuka sempurna. Ia menganga, kaget dengan tiap jawaban Liam yang selalu santai dan satu lagi, sangat mesum.
“Gue bakal bilang sama Mama, kalau gue menolak pernikahan ini. Sama aja pemaksaan! Gue nggak setuju!”
Wajah Liam terlihat begitu sedih mendengarnya. Ia mengembuskan napas pelan. “Padahal, aku nggak mempermasalahkannya. Aku setuju saat melihat wajah calon tunanganku. Cantik dan terlihat sangat muda.”
“Aku bisa mengajari banyak hal padanya.”
Manik hitamnya membeliak sempurna. “Dasar Om mesum!”
**
“Pokoknya Dira nggak setuju kalau Mama berencana menjodohkan Dira sama Om tua itu!”
“Siapa yang kamu bilang ‘Om tua’, Dira? Liam belum genap berusia tiga puluh tahun dan dia terlihat masih muda diusianya sekarang. Pasti kamu nggak akan sangka usianya dipertemuan awal, kan?”
Indira terdiam. Ia memang mengakui ucapan Mamanya dan sudah terbukti saat mereka sedikit mengenal usia mereka yang cukup jauh selisihnya.
Perempuan itu menggeleng cepat dan menatap Mamanya yang santai meletakkan tas di atas ranjang kamar wanita itu. Ia masih enggan untuk menyetujui pertunangan ini.
“Tapi, Ma—“
“Nggak, nggak dan nggak. Mama nggak akan mau mendengar penolakan kamu karena sudah berjanji untuk menuruti kemauan Mama.”
“Tapi nggak dengan perjodohan ini, Mama Dira tersayang ...”
“Anak Mama tersayang ... tolong turutin permintaan Mama ini, ya? Kamu mau buat Mama marah, lagi?”
“Ma,” kekeuhnya.
“Seratus kali kamu menolak, terus bersikap kayak gini, Mama nggak akan mengubah keputusan Mama.”
“Mami Liam bilang, keputusan ada di tangan kami. Kenapa Mama yang mengambil alih?”
“Eh? Liam? Kalian sudah sangat dekat rupanya,” cetus Mamanya menatap Indira dalam binaran bahagia, sedangkan Indira gelagapan saat tidak menyembutkan embel-embel ‘Kakak’ dalam ucapannya.
“Nggak, Ma! Dari tadi Dira bahkan udah menolak sebelum keputusan ini ditentukan,” selanya cepat dan membuat Mama Indira berdecak kesal.
“Pokoknya nggak bisa! Titik nggak pakai koma!” tegasnya dan berlalu ke luar kamar, meninggalkan Indira yang mencoba meredam rasa kesal dan napasnya yang memburu.
Ia mengacak rambutnya frustrasi. “Dia juga menerima aja. Dasar Om mesum! Wajar aja dia nggak mau menolak, orang gue masih anak kecil yang terlalu mudah jadi mangsa dia. Keenakan dia, sedangkan gue nggak punya pengalaman apa pun sama pria lain meskipun sering disebut playgirl!”
**
“Mama ... Kenapa sepatu Dira nggak ada di rak?”Suara Indira sudah membuat heboh di pagi hari. Ia berteriak, menatap bingung sekaligus khawatir rak sepatu yang biasanya ia taruh sepatu andalannya. Tapi tidak ada dan kurang dari tiga puluh menit lagi, jam masuk sekolah sudah di depan mata.Indira panik.“Mama ... Sepatu Dira di mana?”“Ck! Kamu lupa taruh di dalam kotak sepatu kemarin? Tuh, di kotak warna marun bekas sepatu olahraga kamu,” cetus Mama Dira dari belakang.Ia gemas sendiri dengan kelakuan putri kecilnya yang sudah beranjak remaja sesungguhnya.Indira dengan cepat menuruti instruksi sang Mama dan betapa malunya, di sisi lain rak pada tumpukan kotak sepatu dan jenisnya melihat sepatu sekolahnya di dalam sana. Ia nyengir menatap Mama yang kini terlihat datar.“Dira lupa abis minta cuci Bi Inah, Ma,” cetusnya terkekeh pelan menampilkan semburat merah saking
“Lo kenal dia?”Naomi langsung memukul bahu Indira dan saking gemasnya, ia lupa jika pukulannya cukup keras. Nyatanya, Indira memekik dan mengumpati perempuan yang sudah menjadi sahabatnya itu.“Remuk tau!”“Lo bodoh!” seru Naomi yang langsung membuat Indira menatapnya tidak mengerti.“Ngapain lo ngatain gue bodoh?! Salah gue apa, Naomi tersayang?” gemasnya tersenyum palsu.“Indiraku tersayang ... kamu emang beneran bodoh. Kenapa nggak bilang kalau tunangan lo tajir begitu?”“Tajir apaan sih? Gue tau dari nyokap gue, kalau dia bekerja di perusahaan orangtua dan menjabat sebagai General Manajer,” jelasnya menatap Naomi dengan dengkusan sebal.“Lo tau? Impian gue kayak di novel-novel. Ketemu CEO ganteng, kaya tujuh turunan ataupun lebih dan liburan ke luar negeri.”Naomi menggeplak kening Indira dengan gemas. Perempuan itu berteriak sakit,
“Bye, Dira!”“Makasih untuk traktirannya, Kak Liam!” sambung Naomi menyeringai puas, melambai pada Indira dan Liam yang berada di dalam mobil.Liam mengangguk dengan senyum hangatnya. Sedangkan Indira tidak mengubah ekspresi lebih baik setelah akhirnya ia tahu harus pasrah, membiarkan Liam mengantarkan Naomi pulang duluan.Padahal, jika ditelisik dengan rute, rumah Indira memakan waktu lima belas lebih cepat. Ini sudah salah dan tidak wajar mengantarkan Naomi.“Kenapa dari tadi diam aja? Bibir kamu nggak ada bedanya sama bebek. Monyong gitu.”Indira mendelik kesal, lalu menurunkan kedua lipatan tangan yang sejak tadi berada di dadanya. “Lo sengaja antar Naomi pulang duluan, kan? Biar gue makin eneg satu mobil sama lo?”Liam mendengkus geli. “Lebih tepatnya, biar aku ada waktu untuk lebih dekat dengan calon istriku.”“Nggak mau gue jadi ca
Liam memarkirkan mobilnya ke dalam garasi dan memasuki rumah dari pintu penghubung. Ia mengulum senyum mendapati Kakak, Adik serta Iparnya duduk bersama di ruang tamu, meliriknya dengan tatapan yang berbeda.“Benar, kan! Mami bilang, calonnya Kak Liam tuh masih anak SMA. Gila ... Masa calon kakak iparku lebih mudaan?”“Jadi yang kamu bilang kemarin beneran, Sayang?”“Itu info paling akurat!” sahut perempuan bermata sipit yang menatap serius suaminya yang berada di sampingnya.Sedangkan pria berdarah Indonesia itu melirik ke sebelahnya. Kakak iparnya bernama Xavier Ogawa—Kakak Liam—sibuk bermain game di ponsel.“Kak? Masa kita kalah sama Kak Liam? Kita nikah sama yang seumuran. Lah, sekali dapat Kak Liam justru nikah sama yang masih polos.”“Nggak iri, Kak?” tanya adik iparnya dengan selisih empat tahun itu.“Ih, Putra! Maksud kamu apa, bilang kamu
“Hai ...”Bibir Indira sukses terbuka. Ia menganga lebar, nyaris tidak berkedip karena terlalu syok dengan tamu yang datang dipukul delapan malam.Siapa lagi jika bukan pria yang tadi sore baru saja mengantar pulang Indira.Liam Ogawa.Bukankah pria itu sempat berucap akan bertemu kembali besok? Atau jam di rumah pria itu berbeda, layaknya mereka tengah berada di zona waktu—negara—yang berbeda. Sampai perbedaan jam saja tidak dikenali lebih baik oleh pria tinggi di hadapannya.“Ya ampun?! Ada Nak Liam, ya?!”“Dira! Ngapain kamu suruh calon suamimu berdiri lama-lama di depan pintu?!”Indira meringis sakit, tersadar saat Mama tercintanya justru menepuk bahunya cukup kuat. Wanita itu kesal dengan sikap Indira yang tidak mempersilakan Liam masuk, memilih untuk terpaku lebih lama. Pikiran anaknya entah berada di mana sampai enggan terkoneksi dengan baik.
Indira berpura-pura sibuk memandang langit malam dari balkon apartemen Liam, meskipun ia tahu ada langkah yang mulai mendekat.“Untuk kamu,” ucap Liam mengulurkan satu cangkir teh, sedangkan di tangan lain pria itu pun sama.Perempuan itu segera menerimanya. “Lo nggak suka kopi?”Itu pertanyaan pertama yang Indira lontarkan setelah ia bungkam cukup lama dan berusaha menghindar dari Liam. Ucapan pria itu saat di depan pintu unit masih terbayang dalam benaknya.Terlalu manis untuk mendapatkan respons tubuhnya yang tidak keruan.Huh! Jangan-jangan ia sudah mulai masuk ke dalam perangkap Om Mesum ini?!“Ya. Lebih suka yang manis. Apalagi kalau lihat kamu. Bawaannya selalu tersugesti untuk tersenyum.”Sial!Hampir saja Indira akan bersiap minum dan ia bisa tersedak mendengar rayuan ‘maut’ seorang Liam Ogawa yang sekarang berdiri di sampin
“Sekarang kamu pilih gaun untuk pertunanganmu sama Liam. Nanti Mama sama calon ibu mertuamu yang bakal sesuaikan pakaian Liam. Dia sibuk untuk tiga hari ke depan, menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum akhirnya melaksanakan pertunangan.”Indira tidak berkedip sama sekali.Perempuan itu bahkan masih membuka sedikit bibirnya, menatap wanita yang mengajaknya pergi ke Mal untuk berbelanja. Terlebih Indira yang masih memakai seragam sekolah, dijemput sang Mama yang terlalu aneh hari ini.Tapi, memang sudah diduganya jika kedatangan wanita itu tidaklah mengundang ketenangan. Senyum Mama Indira sangat menakutkan.“Ma ...”“... Hayo?! Mau bantah lagi? Masih nggak capek merengek terus? Silakan aja, sebanyak apa pun kamu menolak alias membantah ucapan Mama. Sebanyak itu pula Mama berusaha membuat kamu lelah.” senyum lebar berbanding terbalik dengan wajah datar Indira.Perempuan itu mendengk
“Buset, Dira ... Cincinnya bagus banget. Ini pasti mahal,” puji Naomi mengusap untuk kesekian kalinya cincin yang tersemat di jemari tangan Indira.Bukan cincin pertunangan. Melainkan cincin untuk dipakai Indira tanpa ada makna lain, kecuali mempercantik lingkar jemari tangannya.See? Mengerti maksud Indira?Liam membahagiakan Indira dengan cara tidak terduga. Datang ke toko untuk memilih cincin pertunangan dan mendapatkan bonus perhiasan satu lagi. Cincin untuk mempercantik dirinya.“Brand yang sama,” balas perempuan itu melirik setengah tidak berminat Naomi yang masih saja mengagumi cincin berkilau dengan harga yang tidak akan sanggup mereka bayar.Keduanya sedang duduk di atas kasur Indira, masih memakai seragam olahraga. Ini hari terakhir Indira melepas masa lajang dan akan terikat besok hari untuk melaksanakan pertunangan. Setelah itu? Rentetan aktifitas termasuk memilih gaun pernikahan pasti a