Share

3. Lebih Berpengalaman

“Kenapa lo bersikap jadi orang asing semalam, kalau akhirnya lo udah kenal gue?”

“Memangnya siapa yang mengatakan kalau aku kenal sama kamu?”

“Ih! Mami lo bilang, udah tau siapa gue dari foto yang saling dikasih antara nyokap kita?”

Liam terkekeh pelan melihat bagaimana Indira begitu menggebu berbicara padanya tanpa menyesuaikan lagi intonasi dan tarikan napas yang perempuan itu gunakan.

“Aku kenal kamu lewat foto, bukan secara langsung. Jadi, aku nggak salah sama sekali,” jelasnya melipat kedua tangan di atas meja dan menatap lekat perempuan berparas cantik dengan rambut sedikit ikalnya.

“Siapa tau, wajah di foto sama aslinya berbeda. Tapi, aku rasa memang beneran berbeda. Kamu terlihat lebih cantik dibandingkan foto yang diberikan Mami padaku,” ungkapnya membuat Indira tersedak.

Pria itu melihat tingkah lucu Indira menatapnya tajam. “Dasar pria tua yang mesum! Jangan harap pernikahan ini beneran berjalan lancar!”

“Doa yang baik-baik aja. Nggak bagus kalau doa yang kamu pinta buruk. Banyak perasaan yang akan tersakiti kalau pertunangan ini nggak berhasil. Terutama aku.”

Lagi. Indira tidak bisa menutupi rasa kaget dan tidak percayanya dengan sikap percaya diri pria tampan itu. Ia selalu menjawab setiap ucapan Indira begitu santai tanpa mendominasi.

“Kamu masih SMA, tapi cukup cantik juga untuk siswi seusiamu,” ungkap Liam menangkup sisi wajahnya dan menahan siku di atas meja sebagai tumpuan.

Indira membeliak. Ia nyaris tidak bisa menelan salivanya saat Liam menatapnya dalam senyum manisnya. “Usiamu tujuh belas tahun, kan?”

Perempuan itu mengangguk kaku. Ia terlalu aneh dan tidak bisa dipandang lekat oleh pria tampan yang memiliki garis keturunan Jepang. Sepertinya ia mengikuti mendapati keturunan dari sang Papa.

“Nggak akan menjadi kendala kalau kamu memutuskan menerima pernikahan ini.” Ia menegakkan tubuh, menatap lekat manik hitam yang menatapnya dengan terpaku.

Liam tersenyum manis. “Kita hanya berbeda tiga belas tahun.”

“APA?!”

Sial!

Saat itu pula, Indira menutup rapat bibirnya, menahan rasa malu saat kali kedua ia dipandang sinis dan menjadi objek perhatian pengunjung kafe. Hari ini benar-benar membuatnya sangat malu dan merasa seperti orang asing yang masuk dalam lingkaran yang penuh kejutan.

Ia tidak pernah tahu bagaimana pertemuan ini sudah direncanakan dan Mamanya akan menjodohkan dirinya dengan pria yang lebih tua tiga belas tahun darinya?!

“Lo ... jadi ... jadi, lo seharusnya gue beneran panggil Om?!”

Indira pikir, usia pria itu sekitar dua puluh lima tahun.

Liam tertawa kecil. “Kenapa? Aku terlihat muda dari usiaku?”

Perempuan itu mendengkus dan menatap tidak percaya tingkat percaya diri Liam. “Seharusnya gue nggak usah panggil lo Kakak. Lebih baik gue panggil lo Om.”

“Ya. Om-om yang dekatin perempuan muda seperti kamu,” sambungnya memainkan alis dan menatap genit Indira.

“Lo juga. Kenapa terlihat akrab banget, sih! Dari awal kenal lo udah sangat mesum! Gue benci didekati pria dewasa dan mesum kayak lo!”

“Sekarang nggak mau, nanti juga nggak bakal nolak.”

Indira menggeram dan menangkup kepala dengan kedua telapak tangannya. Frustrasi sendiri dengan tiap jawaban santai yang terlontar dari Liam.

Pria dewasa di hadapannya terlalu bersikap tenang dan ia sudah kalah telak.

“Untuk apa bersikap formal? Memanggil dengan sebutan ‘kamu – saya’ kalau akhirnya kita akan semakin dekat dengan hubungan baru? Semakin menjadikan panggilan kita terlalu berjarak, kita akan semakin sulit mendapati interaksi yang intens dan akrab.”

Perempuan itu menatap Liam tidak berkedip.

“Sumpah! Lebih baik lo tolak pernikahan ini sebelum terjadi! Gue masih sekolah! Belum lulus dan terutama gue bukan tipe perempuan yang sesuai untuk pria dewasa kayak lo, Om-om genit ...” gemasnya dalam bicara yang sontak membuat Liam tidak tahan untuk tertawa.

“Minimal cari perempuan yang selisih usianya nggak jauh dari lo. Please, tipe kita beda. Jangan rusak masa depan gue dengan pernikahan bersama Om-om tua kayak lo. Mama juga, dikasih calon suami yang ketuaan gini.”

“Tadi, kamu bilang usiaku nggak mencerminkan perawakanku? Aku kelihatan lebih muda, kan? Nggak masalah kalau kita melanjutkan pernikahan ini,” balasnya semakin mendesak dan menyudutkan Indira.

“Mama ....”

Indira memanggil merengek dan frustrasi pada sang Mama tercinta. Tidak tahan berada lama-lama bersama Liam. Tapi justru ia kembali menjadi tontonan gratis oleh pengunjung kafe. Indira terlalu sebal dengan sikap Liam.

“Gue bakal panggil lo Om!”

“Nggak masalah. Bukannya terdengar menarik? Kamu terlihat menjadi seorang sugar baby.”

Bibir Indira terbuka sempurna. Ia menganga, kaget dengan tiap jawaban Liam yang selalu santai dan satu lagi, sangat mesum.

“Gue bakal bilang sama Mama, kalau gue menolak pernikahan ini. Sama aja pemaksaan! Gue nggak setuju!”

Wajah Liam terlihat begitu sedih mendengarnya. Ia mengembuskan napas pelan. “Padahal, aku nggak mempermasalahkannya. Aku setuju saat melihat wajah calon tunanganku. Cantik dan terlihat sangat muda.”

“Aku bisa mengajari banyak hal padanya.”

Manik hitamnya membeliak sempurna. “Dasar Om mesum!”

**

“Pokoknya Dira nggak setuju kalau Mama berencana menjodohkan Dira sama Om tua itu!”

“Siapa yang kamu bilang ‘Om tua’, Dira? Liam belum genap berusia tiga puluh tahun dan dia terlihat masih muda diusianya sekarang. Pasti kamu nggak akan sangka usianya dipertemuan awal, kan?”

Indira terdiam. Ia memang mengakui ucapan Mamanya dan sudah terbukti saat mereka sedikit mengenal usia mereka yang cukup jauh selisihnya.

Perempuan itu menggeleng cepat dan menatap Mamanya yang santai meletakkan tas di atas ranjang kamar wanita itu. Ia masih enggan untuk menyetujui pertunangan ini.

“Tapi, Ma—“

“Nggak, nggak dan nggak. Mama nggak akan mau mendengar penolakan kamu karena sudah berjanji untuk menuruti kemauan Mama.”

“Tapi nggak dengan perjodohan ini, Mama Dira tersayang ...”

“Anak Mama tersayang ... tolong turutin permintaan Mama ini, ya? Kamu mau buat Mama marah, lagi?”

“Ma,” kekeuhnya.

“Seratus kali kamu menolak, terus bersikap kayak gini, Mama nggak akan mengubah keputusan Mama.”

“Mami Liam bilang, keputusan ada di tangan kami. Kenapa Mama yang mengambil alih?”

“Eh? Liam? Kalian sudah sangat dekat rupanya,” cetus Mamanya menatap Indira dalam binaran bahagia, sedangkan Indira gelagapan saat tidak menyembutkan embel-embel ‘Kakak’ dalam ucapannya.

“Nggak, Ma! Dari tadi Dira bahkan udah menolak sebelum keputusan ini ditentukan,” selanya cepat dan membuat Mama Indira berdecak kesal.

“Pokoknya nggak bisa! Titik nggak pakai koma!” tegasnya dan berlalu ke luar kamar, meninggalkan Indira yang mencoba meredam rasa kesal dan napasnya yang memburu.

Ia mengacak rambutnya frustrasi. “Dia juga menerima aja. Dasar Om mesum! Wajar aja dia nggak mau menolak, orang gue masih anak kecil yang terlalu mudah jadi mangsa dia. Keenakan dia, sedangkan gue nggak punya pengalaman apa pun sama pria lain meskipun sering disebut playgirl!”

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status