“Bye, Dira!”
“Makasih untuk traktirannya, Kak Liam!” sambung Naomi menyeringai puas, melambai pada Indira dan Liam yang berada di dalam mobil.
Liam mengangguk dengan senyum hangatnya. Sedangkan Indira tidak mengubah ekspresi lebih baik setelah akhirnya ia tahu harus pasrah, membiarkan Liam mengantarkan Naomi pulang duluan.
Padahal, jika ditelisik dengan rute, rumah Indira memakan waktu lima belas lebih cepat. Ini sudah salah dan tidak wajar mengantarkan Naomi.
“Kenapa dari tadi diam aja? Bibir kamu nggak ada bedanya sama bebek. Monyong gitu.”
Indira mendelik kesal, lalu menurunkan kedua lipatan tangan yang sejak tadi berada di dadanya. “Lo sengaja antar Naomi pulang duluan, kan? Biar gue makin eneg satu mobil sama lo?”
Liam mendengkus geli. “Lebih tepatnya, biar aku ada waktu untuk lebih dekat dengan calon istriku.”
“Nggak mau gue jadi ca
Liam memarkirkan mobilnya ke dalam garasi dan memasuki rumah dari pintu penghubung. Ia mengulum senyum mendapati Kakak, Adik serta Iparnya duduk bersama di ruang tamu, meliriknya dengan tatapan yang berbeda.“Benar, kan! Mami bilang, calonnya Kak Liam tuh masih anak SMA. Gila ... Masa calon kakak iparku lebih mudaan?”“Jadi yang kamu bilang kemarin beneran, Sayang?”“Itu info paling akurat!” sahut perempuan bermata sipit yang menatap serius suaminya yang berada di sampingnya.Sedangkan pria berdarah Indonesia itu melirik ke sebelahnya. Kakak iparnya bernama Xavier Ogawa—Kakak Liam—sibuk bermain game di ponsel.“Kak? Masa kita kalah sama Kak Liam? Kita nikah sama yang seumuran. Lah, sekali dapat Kak Liam justru nikah sama yang masih polos.”“Nggak iri, Kak?” tanya adik iparnya dengan selisih empat tahun itu.“Ih, Putra! Maksud kamu apa, bilang kamu
“Hai ...”Bibir Indira sukses terbuka. Ia menganga lebar, nyaris tidak berkedip karena terlalu syok dengan tamu yang datang dipukul delapan malam.Siapa lagi jika bukan pria yang tadi sore baru saja mengantar pulang Indira.Liam Ogawa.Bukankah pria itu sempat berucap akan bertemu kembali besok? Atau jam di rumah pria itu berbeda, layaknya mereka tengah berada di zona waktu—negara—yang berbeda. Sampai perbedaan jam saja tidak dikenali lebih baik oleh pria tinggi di hadapannya.“Ya ampun?! Ada Nak Liam, ya?!”“Dira! Ngapain kamu suruh calon suamimu berdiri lama-lama di depan pintu?!”Indira meringis sakit, tersadar saat Mama tercintanya justru menepuk bahunya cukup kuat. Wanita itu kesal dengan sikap Indira yang tidak mempersilakan Liam masuk, memilih untuk terpaku lebih lama. Pikiran anaknya entah berada di mana sampai enggan terkoneksi dengan baik.
Indira berpura-pura sibuk memandang langit malam dari balkon apartemen Liam, meskipun ia tahu ada langkah yang mulai mendekat.“Untuk kamu,” ucap Liam mengulurkan satu cangkir teh, sedangkan di tangan lain pria itu pun sama.Perempuan itu segera menerimanya. “Lo nggak suka kopi?”Itu pertanyaan pertama yang Indira lontarkan setelah ia bungkam cukup lama dan berusaha menghindar dari Liam. Ucapan pria itu saat di depan pintu unit masih terbayang dalam benaknya.Terlalu manis untuk mendapatkan respons tubuhnya yang tidak keruan.Huh! Jangan-jangan ia sudah mulai masuk ke dalam perangkap Om Mesum ini?!“Ya. Lebih suka yang manis. Apalagi kalau lihat kamu. Bawaannya selalu tersugesti untuk tersenyum.”Sial!Hampir saja Indira akan bersiap minum dan ia bisa tersedak mendengar rayuan ‘maut’ seorang Liam Ogawa yang sekarang berdiri di sampin
“Sekarang kamu pilih gaun untuk pertunanganmu sama Liam. Nanti Mama sama calon ibu mertuamu yang bakal sesuaikan pakaian Liam. Dia sibuk untuk tiga hari ke depan, menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum akhirnya melaksanakan pertunangan.”Indira tidak berkedip sama sekali.Perempuan itu bahkan masih membuka sedikit bibirnya, menatap wanita yang mengajaknya pergi ke Mal untuk berbelanja. Terlebih Indira yang masih memakai seragam sekolah, dijemput sang Mama yang terlalu aneh hari ini.Tapi, memang sudah diduganya jika kedatangan wanita itu tidaklah mengundang ketenangan. Senyum Mama Indira sangat menakutkan.“Ma ...”“... Hayo?! Mau bantah lagi? Masih nggak capek merengek terus? Silakan aja, sebanyak apa pun kamu menolak alias membantah ucapan Mama. Sebanyak itu pula Mama berusaha membuat kamu lelah.” senyum lebar berbanding terbalik dengan wajah datar Indira.Perempuan itu mendengk
“Buset, Dira ... Cincinnya bagus banget. Ini pasti mahal,” puji Naomi mengusap untuk kesekian kalinya cincin yang tersemat di jemari tangan Indira.Bukan cincin pertunangan. Melainkan cincin untuk dipakai Indira tanpa ada makna lain, kecuali mempercantik lingkar jemari tangannya.See? Mengerti maksud Indira?Liam membahagiakan Indira dengan cara tidak terduga. Datang ke toko untuk memilih cincin pertunangan dan mendapatkan bonus perhiasan satu lagi. Cincin untuk mempercantik dirinya.“Brand yang sama,” balas perempuan itu melirik setengah tidak berminat Naomi yang masih saja mengagumi cincin berkilau dengan harga yang tidak akan sanggup mereka bayar.Keduanya sedang duduk di atas kasur Indira, masih memakai seragam olahraga. Ini hari terakhir Indira melepas masa lajang dan akan terikat besok hari untuk melaksanakan pertunangan. Setelah itu? Rentetan aktifitas termasuk memilih gaun pernikahan pasti a
“Mulai sekarang kamu harus rajin belajar masak,” cetus Mama Indira sibuk berdiri, menyiapkan nasi goreng yang sudah dirinya buat ke dalam piring lebar milik suami dan anaknya.“Karena sebentar lagi kamu bakal menikah,” sambungnya.Wanita itu yang berdiri di antara suami dan anaknya cukup mudah menaruh nasi bergantian di sana. Tangannya bergerak, tapi bibirnya tidak lantas berhenti untuk menceramahi anak semata wayang.“Belum sampai satu minggu Dira jadi tunangan dari salah satu anak di Keluarga Ogawa, Ma ...” balasnya lemas, sibuk menutup mulut karena menguap. Matanya sulit sekali terbuka sempurna. Padahal, ia sudah rapi dengan seragam sekolah yang mengenakan rompinya.Sedangkan Papa Indira tertawa kecil, melihat putrinya yang sudah dilirik sang Mama dengan tajam. “Kamu tidur jam berapa semalam?” tanyanya dengan mata memicing.Indira yang tidak mendongak sama sekali untuk sekadar menatap p
“Gila ... Lo berasa jadi sugar baby,” cetus Naomi menggeleng tidak percaya, menatap saldo milik Indira dari m-banking milik perempuan berparas cantik itu.“Hah? Sugar baby.”“Iya, level dasar. Gue yakin, tembus seratus juta lo minta sama tunangan lo bakal dijabanin. Ya ... Ibarat dia kan lebih dewasa dan punya segalanya dan lo terlihat dimanja, jadi ratu kesayangannya,” jelasnya nyengir lebar dan mendapati dengkusan sebal Indira.Perempuan itu segera menutup ponselnya saat jam pelajaran di istirahat pertama telah usai. Guru mereka tidak masuk dan digantikan dengan tugas yang sudah diserahkan oleh Ketua Kelas. Mereka mengerjakan dengan tertib tanpa membuat keributan, meskipun di dalam kelas tetap saja banyak ponsel yang terlihat dan makanan yang berada di beberapa meja murid lainnya.“Lo tau? Tadinya gue cuma mau ngetes emosi dan tingkat sabarnya udah sampai di mana. Paling enggak, pagi-pagi gue bisa buat dia kesal d
Indira mengumpati kebodohannya yang terlalu histeris saat Liam menundukkan wajahnya. Sial! Pria itu beberapa menit lalu menggodanya, tidak untuk membuatnya sampai kejang-kejang atau berakibat fatal untuk menamparnya. Tidak peduli jika pria itu adalah tunangannya.Hal terbaik, Liam tertawa puas, berhasil menggodanya sekaligus Indira tahu jika pria itu selalu saja bisa mengendalikan dirinya dan bersikap biasa dengan keadaan mereka serapat itu.Ia mengembuskan napas kasar, melirik ke arah pintu dapur saat Liam belum kembali. Pria itu sibuk di sana dan menyuruh Indira duduk di ruang tengah dengan tayangan film kartun. Tidak sesuai dengan seragam SMA yang masih melekat di tubuhnya.“Kalau gue menyusul ke sana ... Aman nggak, ya?”Ia sangat ragu, meskipun sudah tahu tidak akan ada hal yang membuat pandangannya terkontaminasi atau sampai menggoda iman. Pria itu sudah membalut tubuh atletis dengan kaus polos dipadukan celan