Share

4. Identitas Calon Suami

“Mama ... Kenapa sepatu Dira nggak ada di rak?”

Suara Indira sudah membuat heboh di pagi hari. Ia berteriak, menatap bingung sekaligus khawatir rak sepatu yang biasanya ia taruh sepatu andalannya. Tapi tidak ada dan kurang dari tiga puluh menit lagi, jam masuk sekolah sudah di depan mata.

Indira panik.

“Mama ... Sepatu Dira di mana?”

“Ck! Kamu lupa taruh di dalam kotak sepatu kemarin? Tuh, di kotak warna marun bekas sepatu olahraga kamu,” cetus Mama Dira dari belakang.

Ia gemas sendiri dengan kelakuan putri kecilnya yang sudah beranjak remaja sesungguhnya.

Indira dengan cepat menuruti instruksi sang Mama dan betapa malunya, di sisi lain rak pada tumpukan kotak sepatu dan jenisnya melihat sepatu sekolahnya di dalam sana. Ia nyengir menatap Mama yang kini terlihat datar.

“Dira lupa abis minta cuci Bi Inah, Ma,” cetusnya terkekeh pelan menampilkan semburat merah saking malunya sudah membuat kehebohan di pagi hari.

Mama Dira menggeleng lemah menatap putrinya yang mulai memasang sepatu. Ia sudah memakai tas dan kelengkapan atribut dari seragam jas sekolahnya pun sudah tidak ada yang kurang. Hanya sepatu yang tertinggal dan ia sudah yakin anaknya masih suka ceroboh dan tidak bisa bertanggungjawab akan suatu hal.

“Sampai kapan kamu mau kayak gini terus? Nggak malu, udah punya calon suami?”

Tubuh Indira menegang dan ia mendongak, menatap Mamanya yang berdiri dengan melipat tangan di dada, begitu santai sedangkan ia sudah membeliak sempurna.

“Ma ... masih pagi. Kenapa harus bahas ginian sih? Buat suasana hati Dira jelek aja,” celetuknya mencebik tidak suka.

Ia kembali memasang sepatu bagian kiri yang entah kenapa terasa susah. Mungkin benar, pagi cerahnya telah menjadi berkabut dan mengingatkannya pada Om mesum itu.

“Lho? Acaranya bakal diresmikan dua minggu lagi, Sayang, untuk acara pertunangannya terlebih dulu. Udah sepantasnya kamu mengubah kebiasaan buruk itu. Nanti kalau Liam jengkel dan nggak suka sama sifat manja kamu gimana?”

“Bagus, dong. Dira bisa bebas dari pria dewasa itu.”

“Dia mapan dan tampan. Ingat itu,” sela Mamanya cepat membuat Dira hanya mampu menatap Mamanya datar.

Ia berdiri di hadapan wanita itu setelah sepatunya selesai terpasang.

“Jadi, Mama menjodohkan Dira dengan pria mapan karena biar Dira jadi matre gitu?”

“Nggak ada yang bisa dilakukan tanpa uang di dunia ini, Dira ...”

“Mama justru nggak mau kamu salah pilih pasangan dan berakhir menderita. Seenggaknya, Liam pria yang bertanggungjawab dan diusia matangnya, Mama percaya dia bisa menjaga dan menyayangi kamu setulus hatinya.”

Indira berusaha tidak mencemari nama pria mesum itu. Sepertinya sang Mama berada di pihak berbeda dari Indira. Hiks. Dirinya sangat terluka, seperti tidak dianggap layaknya anak kandung dan terkesan ditirikan.

“Mama ...”

“Sebenarnya anak Mama itu Dira atau Om itu, sih?”

“Kalian berdua dong,” selanya menyengir lebar.

“Satu anak kandung, satu lagi anak teman Mama yang bakal jadi menantu kesayangan,” jawabnya membuat Indira menepuk kening saking frustrasi.

Sepertinya ia tidak bisa berkata lebih banyak lagi. Karena tetap saja Indira akan kalah banyak dan Liam menjadi pemenangnya di hati dan dipikiran sang Mama.

“Liam pria sukses yang bisa menjamin kehidupan kamu, Dira,” ungkap Mamanya membuat dira mengembuskan napas kasar.

“Tapi dia ketuaan Mamaku Sayang ...” gemas Indira tidak habis pikir.

Mamanya tertawa kecil. “Kamu kayak nggak pernah nonton teve aja. Gosip selebriti maupun orang-orang di sekitar kita menikah dengan usia berbeda. Perempuan muda dan prianya cukup matang. Terpaut sepuluh tahun bahkan lebih bukan hal baru lagi.”

“Ya ampun Mama ... kenapa bisa suka sih sama Om itu? Memangnya Mama disogok apaan?” tanya Indira sudah nyaris putus asa.

Tapi, Indira kira tidak akan ada respons mumpuni yang dibalas sang Mama, Nyatanya, manik hitam perempuan itu membeliak sempurna, mendapati sang Mama mengeluarkan kalung berkilau dari balik daster panjang dan tertutupi rambut terurainya. Tersenyum bangga ke arah Indira—anak semata wayangnya—yang kini terlihat kaget.

“Disogok kalung mahal.”

Saat itu pula Indira hanya mampu melongo dengan pandangan bodohnya.

Hiks.

Mama ... Kenapa kebahagiaan anakmu ditukar dengan kalung mahal itu?

**

“ANJASMARA!”

“LO BENERAN MAU TUNA—“

“Stttt! Diam, Naomi!” geram Indira langsung membungkam mulut sahabatnya ketika suaranya naik berkali lipat oktaf, menghadirkan keduanya sebagai pusat perhatian anak kelas, tepat sebelum pelajaran pertama akan dimulai sepuluh menit lagi.

Ia cepat-cepat berangkat sekolah diantar sopir. Bahkan ia yang memilih menyetir dan terkesan ugalan. Sang sopir yang telah tua pun hanya mampu berdoa, terus meminta agar nyawanya selamat dan jantungnya tetap aman agar tidak terkena serangan jantung lebih dulu.

“Tuna?” sahut salah satu dari mereka dan membuat Naomi menelan salivanya, nyengir mendapatkan tatapan tajam Indira.

Perempuan muda dengan tinggi tidak sampai sebatas bahu Indira, sahabat yang menjadi saksi kejadian di klub itu pun menatap teman mereka dengan cengiran lebar.

“Dia nggak pernah makan tuna seumur hidupnya,” balas Naomi dengan sorot serius yang membuat salah satu gerombolan dari perempuan hits itu percaya dan kembali sibuk mengobrol.

“Dodol lo!”

“Aduh!” keluh Naomi mengusap keningnya yang menjadi sasaran kekejaman Indira.

Tapi ia sudah mendekatkan bangkunya agar tidak terlalu berjarak pada bangku Indira. Pandangannya menatap lekat, penuh keingintahuan dan berbanding terbalik dengan Indira yang bersikap cuek.

“Beneran lo dapat calon tunangan Om-om?” anggukan cuek itu didapatkannya.

“Berapa sih umurnya?” tanyanya semakin penasaran.

Indira menoleh dengan tatapan datarnya. Meskipun tidak berminat, ia berusaha menjawabnya sekalipun tidak menyukai hal tersebut. “Tiga puluh tahun. Ngerti nggak sih? Berasa jadi Om ketimbang calon tunangan sekaligus calon suami?” mata Indira melotot, terlihat menakuti Naomi.

Tapi responsnya berbanding terbalik. “Suer, nggak ketuaan,” celetuknya membuat Indira yang justru memandang Naomi horor.

“Gue serius, Dira,” cetusnya meyakinkan.

“Selisih tiga belas tahun masih standar lah. Lo dewasa dan dia juga dewasa seiring berjalan waktu. Bukan kelihatan kayak Kakek-kakek umur segitu. Begitupun yang terjadi sama lo ke depannya.”

Indira berdecak kesal. “Percuma bicara sama lo. Sama aja kayak keluarga gue, termasuk Emak gue sendiri,” tandasnya menjauhkan bangku dan membuka buku pelajaran dengan sedikit emosi.

**

“Jad-jad—“

“Ya ampun! Berasa gagu lo!”

Naomi bungkam dan menatap Indira dengan datar. Ia melihat Indira malas menatap sosok pria bertubuh jangkung yang sempat melambai ke arah mereka. Tepatnya Indira.

‘Kenapa juga si Om-om itu pakai acara datang ke sekolah gue? Mana berasa cenayang. Tau banget kalau hari ini pulang cepat karena ada rapat guru.’

Indira menatap Liam yang sudah berdiri tidak jauh di depan pintu gerbang sekolah, bersandar pada body mobil. Padahal, niat Indira dan Naomi ingin melihat situasi jalanan. Jika mendapati halte ramai, mereka ingin menaiki kendaraan umum. Jika tidak, alternatif terakhir menaiki taksi online.

“Demi apa?! Dia Liam Ogawa?!” pekik Naomi tidak lagi terbata, melainkan binaran bahagia di matanya sangat kentara bagi Indira.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status