Share

2. Tanggal Pernikahan?

“Semua ini sudah menjadi bukti akurat! Mau berbohong dengan alasan apalagi, Indira Aubrey anak Mama tersayang?!”

Indira menunduk seperti tersangka dan mengatupkan rapat bibir saat namanya sudah dipanggil lengkap. Ia sudah tahu, tidak akan ada kata maaf saat nama lengkap disebut, penuh penekanan dan tatapan mengerikan dari sang Mama yang berkacak pinggang di hadapannya.

“Ma-af, Ma ...” lirihnya semakin tertunduk dan tidak ingin memerhatikan lembaran foto tercetak dan wajahnya sudah memerah saking malunya.

“Kalau Mama nggak paksa Naomi untuk mengaku, Mama nggak akan tau anak gadis Mama sudah disentuh pria lain. Iya, kamu nolak di sana. Jelas, CCTV itu sudah membuktikannya. Tapi kalau berlanjut atau dia bersikap kasar sama kamu, gimana?! Siapa yang rugi?!”

“Semua orang yang sayang sama kamu, Nak! Terutama diri kamu sendiri!”

“Ma. Kasihan anak kita,” sela Papa Indira yang melihat bahu putrinya sudah bergetar.

Semalam, dirinya ditarik paksa oleh sang istri untuk mengetahui keberadaan putrinya tiap malam. Sang istri khawatir jika Indira kembali berulah dan terbukti saat tidak mendapati anak gadis mereka di kamar pukul sepuluh malam.

Mengendap-endap lagi. Pergi diam-diam tanpa pamit dan membuat Mama Indira khawatir dan merasa sakit jika anak semata wayangnya terus berbohong. Usianya masih muda, tapi jika sejak dini tidak bisa diatur, entahlah apa yang akan terjadi ke depannya.

Wanita itu mengusap kasar wajahnya. Ia tidak bisa melihat putrinya menangis, tapi ia juga tidak ingin seperti ini. Ia sangat menyayangi putrinya dan mungkin, karena rasa sayang yang berlebihan, Indira terlalu menganggap mudah segala hal.

Termasuk ucapan dirinya sebagai seorang Ibu.

“Dira janji nggak akan mengulanginya lagi, Ma ...” lirih perempuan itu dan terutama mengingat perlakuan tidak senonoh dari Gio.

Ia terlalu takut mengatakan semua yang ada. Cukup saat foto di area dance floor itu menjadi bukti saja. Ia sangat malu dan untung saja Gio tidak bisa melakukan hal lebih padanya.

“Mulai sekarang kamu harus ikuti kemauan Mama,” cetus wanita itu masih berkacak pinggang di hadapan Indira.

Sedangkan suaminya duduk tenang di sofa ruang keluarga sisi lainnya.

Indira segera mengangguk cepat, masih dengan tertunduk dan menautkan kedua jemari tangan. Ia takut dengan sang Mama yang hari ini jauh lebih mengerikan dari hari lainnya. Jantungnya pun terus berdisko. Saking kuatnya takut keluar.

“Sekarang kamu bersiap-siap. Kita akan pergi,” lanjutnya membuat Indira mendongakkan kepalanya.

“Kita mau ke mana?”

“Udah! Ikut aja kalau kamu masih mau nurut sama Mama. Kecuali kamu udah nggak mau jadi anak Mama tersayang lagi.”

Indira menelan saliva susah payah saat Mama Indira berlalu begitu saja keluar ruang keluarga dan beranjak ke lantai dua tanpa mengucapkan kalimat manis seperti biasa.

“Pa? Mama marah banget sama Dira, ya?”

Lelaki itu mengangguk pelan. “Mama kamu benar, Nak. Ikuti saja setiap apa yang Mama kamu mau dan kemarahan Mama kamu bakal mereda. Kamu nggak kasihan sama Mama dan Papa? Kami menasehati segala hal yang baik untuk kamu ke depannya.”

Indira tertunduk sedih. Ada penyesalan yang cukup besar hari ini. Bagaimanapun, ia masih bisa berpikir pakai logika dan hati terkecilnya jika apa yang dilakukannya memang sudah keterlaluan.

Perempuan itu mengembuskan napas pelan dan beranjak untuk pergi ke kamarnya. Bersiap dan menuruti segala keinginan sang Mama.

**

Entahlah. Indira harus merutuki nasibnya saat harus mengikuti sang Mama. Bagaimana tidak? Ia diperkenalkan oleh wanita yang lebih tua empat tahun dari sang Mama. Mengelukan ia di hadapan wanita itu. Memuji anaknya sendiri dan dibalas yang sama oleh wanita yang sepertinya tidak terlalu mudah tersenyum.

Tante ini memang memuji aku. Tapi masa nggak bisa kasih senyum yang lebih lebar. Kan, takut. Pikir Indira dalam hati dan memaksakan senyum saat wanita itu menatapnya lurus.

Wanita dengan rambut model sanggul dan tas dengan brand ternama di atas meja kafe menandakan jika wanita itu bukanlah dari kalangan biasa. Ia berada di strata atas dalam status sosial berbentuk piramida jika Indira lihat.

Ia mengamati dari bagaimana wanita itu berpakaian dan kulit putihnya. Meskipun usianya lebih tua dari sang Mama, tetap saja kecantikannya tidak jauh berbeda dengan Mama Indira.

“Akhirnya putraku sudah datang juga,” cetus wanita di hadapannya yang langsung membuat Mama Indira tersenyum semringah.

“Halo, Mi. Maaf, Liam terlambat datang. Papa membutuhkan bantuan Liam tadi,” balas sang anak menyapa dengan memeluk dan mencium bergantian kedua pipi sang Mama.

Di hadapan mereka, Indira sukses menganga lebar mendapati pria bertubuh tinggi itu terlihat akrab bersama wanita di hadapannya. Bahkan, senyum manisnya sudah mengingatkan Indira pada pria semalam.

“Selamat siang, Tante. Maaf, Liam terlalu lama datang.”

“Wah, tidak masalah, Nak. Tante nggak nunggu terlalu lama, kok. Tante mengerti,” balasnya berdiri dan balas memeluk Liam.

Indira mengerjap bingung dengan apa yang dilakukan sang Mama. Namun, saat ia akan memanggil Mamanya yang kembali duduk, suara berat itu sudah menyentak Indira.

“Halo, Indira. Salam kenal. Namaku Liam Ogawa.”

Tubuh Indira mematung. Liam—pria yang ia umpati dan injak jas mahalnya—berdiri dan mengulurkan tangan berkenalan dengannya.

Satu pukulan di punggung tangan Indira membuat perempuan itu mengerjap, menatap bingung Mamanya.

“Balas uluran tangan Liam, Dira. Jangan buat malu Mama di hadapan mereka,”  bisiknya berusaha menahan kekesalan melihat keterdiaman putrinya.

Liam tersenyum manis, berjabat tangan dengan perempuan yang memiliki telapak tangan lembut. Sepertinya perempuan di hadapannya terlalu enggan berurusan dengan dapur atau memang terlihat pandai merawat kulit tubuh. Terutama di bagian wajah cantiknya, sangat memesona dipandang tanpa jerawat seperti perempuan remaja kebanyakan.

“Lo—eh, Kakak, tau dari mana namaku?”

“Tante dan Mamamu saling memberikan foto anak kami, Nak,” cetus Mama Liam menatap lurus Indira yang menelan saliva susah payah.

“Iya, Dira. Mama sudah sepakat akan memperkenalkan kamu dengan Liam. Sebenarnya sudah sepakat bulan lalu, tapi sepertinya waktunya belum cukup tepat.”

Manik hitam itu membeliak sempurna. Sedangkan pria yang duduk di hadapannya hanya tersenyum manis. Indira tersentak saat Liam mengedipkan sebelah matanya, seolah mengejek Indira karena baru mengetahui pertemuan ini sudah direncanakan.

“Ayo, Mbak. Bukannya kita mau pergi berbelanja di Mal ini?”

“Iya. Tunggu sebentar.”

Indira menatap Mamanya bingung, berganti dengan Mama Liam.

“Indira, silakan kamu berkenalan dengan Liam, ya. Tante tinggal kalian berdua selama dua jam. Setelah itu, putuskan kapan tanggal pernikahan kalian.”

Saat itu pula Indira sukses mengang dengan manik hitam membeliak sempurna. Saking bodohnya ia mengekspresikan keterkejutan, Liam yang duduk di hadapannya tertawa puas.

Ia tidak menyangka bisa mendapati ekspresi wajah Indira sangat lucu.

**

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Dahliana
Keran ceritanya mantap
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Semangat thoorr Ceritanya mantaapp
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status