"Alula," panggil bu Indira, yang ternyata sudah berdiri di dekat meja kerjaku. Terlalu fokus mantengin PC, sampai-sampai nggak sadar tuh atasan udah ada di dekatku.
"Ya, Bu?" sahutku.
"Saya disuruh pak Abraham memanggil kamu untuk segera ke ruangannya," ucap bu Indira.
Aku mengernyit heran. Ngapain ya, pemilik perusahaan manggil aku? Mau kasih bonus lagi, seperti waktu itu? Boleh juga sih.
"Mmm ... disuruh ngapain, ya, Bu, saya ke sana?" tanyaku.
"Kamu ini, kalau disuruh ke sana, ya, ke sana, saja. Ngapain pake tanya-tanya segala!" Si mak lampir marah. Padahal udah beberapa hari ini dia tobat marah-marah, eh sekarang khilaf lagi.
"Baik, Bu," jawabku seraya bangkit dari duduk, lalu mengambil alat tulis, siapa tahu ini diperlukan.
Tanpa berlama-lama lagi, aku pun segera meninggalkan ruang divisi ini, menuju ruangan pemilik perusahaan yang berada di lantai paling atas di kantor ini.
"Ya, udah, La, lo yang sabar aja." Alena mengusap pundakku, setelah aku ceritakan tentang perintah dari pak Abraham. "Oh, ya, selama lo di-skors, mendingan lo tinggal di tempat gue aja, ya," ajak Alena."Thanks, Len, tapi gue nggak mau ngerepotin lo," kataku.Selama ini, Alena udah baik banget sama aku. Selain sebagai sahabat, aku juga udah menganggapnya sebagai saudara. Setiap ada masalah, pasti aku cerita ke Alena, begitu juga dengannya. Dan kali ini, aku nggak mau repotin dia lagi."Siapa yang repot, sih, La? Justru gue seneng kalau lo tinggal bareng gue. Lagian lo betah amat tinggal sendirian di kost, mana jauh lagi dari kantor," gerutu Alena. "Mending bareng gue, setidaknya buat sebulan ini lah, jadi lo nggak perlu ngeluarin duit buat bayar kost lo.""Ya, gue yang nggak enak, lah, Len. Masa gue numpang di tempat lo, mana gue lagi di-skors.""Lo tuh kek sama siapa aja, deh, La. Heran gue. Dari dulu kita juga selalu
Hari ini aku mau mencoba mencari pekerjaan, untuk mengisi waktu selama aku di-skors. Pekerjaan yang nggak terikat kontrak tentunya. Contohnya, kerja di laundry, kedai, atau warung makan. Ya, yang bosnya membolehkan kerja selama kurang dari sebulan. Kata Alena, aku nggak usah kerja dulu. Waktu-waktu di-skors begini, bisa dijadikan buat me-refresh pikiran, dan buat me time, serta melakukan hal-hal apa saja yang tidak bisa kita lakukan pas lagi nggak ada libur kerja. Sebenarnya sih, aku mau aja melakukan seperti saran Alena, asal dompetku lagi tebal, sayangnya justru sebaliknya. Pengen juga sih, pulang kampung. Nanti kalau ditanya kenapa mudik, padahal bukan di liburan nasional, aku bisa jawab kalau kantor memberiku cuti. Tapi kan aku nggak setega itu buat bohong ke orang-orang, apalagi ke ibu. Yang membuatku ngotot hari ini cari kerja, karena tadi malam aku ditelfon sama adikku. Dia bilang, lagi butuh uang buat bayar program pari
Baiklah, hilangkan gengsi, saatnya menuju ke pasar. Dan, aku harus menyeberang jalan raya dulu untuk sampai ke pasar itu. Pada saat aku menyeberang, tiba-tiba .... "Tiiin!" Terdengar suara klakson mobil yang amat keras. Ketika aku menoleh ke arah kanan, ada sebuah mobil Alphard, yang tengah melaju ke arahku. Jaraknya lumayan dekat, hingga seperti mau menabrakku. Tubuhku seketika kaku di tempat. Kaki ini rasanya seperti ada lemnya, lengket ke aspal yang sedang kupijak. "Aaargh ...." Aku berteriak, karena tubuh ini seperti tak bisa untuk lari. Detik kemudian, aku memejamkan mata, dan mungkin sebentar lagi mobil itu menabrakku, dan nyawaku ...? Karena tidak ada yang aku rasakan selama beberapa saat, akhirnya kuberanikan diri untuk membuka mata. Napas lega dihembuskan, karena mobil itu tak jadi menabrak, tapi kini posisinya hanya tinggal beberapa senti saja di dekat tubuh ini. Hampir saja!
"Nah, Alula, ini rumah saya," ucap tante Nesya ramah, ketika kami sampai di depan rumahnya. Kalau dilihat dari luar begini, lumayan besar rumahnya, tapi sepertinya tidak berlantai dua.Halaman rumah ini bisa dikatakan hijau, yang mana banyak rumput Jepang tersebar hampir memenuhi seluruh halaman. Ada beberapa pohon juga, seperti pohon Pinus, dan pohon yang menyerupai pohon Cemara. Tak lupa juga ada banyak jenis tanaman bunga, yang aku yakin benar-benar dirawat oleh pemiliknya.Cukup sejuk, dan asri, tentunya enak dipandang, dan membuat siapa saja yang datang ke sini, akan merasa betah. Baru di depan rumah aja, aku sudah merasa betah, entah di dalam nanti."Bagus, rapi, dan sejuk, ya, rumah tante," ucapku dengan rasa kekaguman."Ya, begitulah. Tapi, ini semua bukan tante yang merawat, Alula. Ada orang yang tante pekerjakan. Kalau tante lagi nggak sibuk, tante sempetin buat ngurus bunga-bunga itu," ujar tante Nesya sembari menunjuk k
"Alula?""Kak Bara?"Mengapa ada dia di sini? Apa dia suaminya tante Nesya? Tapi, rasanya nggak mungkin, sebab tante Nesya umurnya sudah empat puluh lebih, sedangkan kak Bara sekitaran tiga puluh lima. Tapi, bisa jadi kan, kalau kak Bara suka yang lebih tua?Dengan durasi yang cukup lama, kami saling bertatapan. Aku nggak tahu apa arti tatapannya padaku, sedang arti tatapanku padanya, adalah rasa heran kenapa bisa bertemu di sini, dan berbagai pertanyaan yang muncul di kepala.Hingga akhirnya, sebuah suara mengalihkan tatapanku dari kak Bara. suara itu adalah deheman dari mbok Inah, yang sedari tadi berdiri di sampingku. Mungkin dia juga ikutan heran sepertiku, bedanya, herannya mbok Inah, kenapa aku dan orang di hadapanku ini saling memandang."Eh, Mbok, saya mau langsung pulang, ya," ucapku pada mbok Inah, dengan sedikit grogi, karena orang di hadapanku masih setia memandangiku."Iya, Mbak. Kata nyonya,
"Alula, kamu mau jadi pacar aku?"Hah? Demi apa, dosen paling ganteng di kampus, nyatain cinta sama aku? Aku lagi mimpi nggak sih, ini? Pipi kanan kiri kutepuk berulang kali, dan sakit rasanya. Artinya ini bukan mimpi.Di hadapanku, dia setengah berlutut sambil menyodorkan setangkai bunga mawar merah. Khas seperti orang yang tengah menyatakan cinta pada umumnya."P-pak Arsen, ng-ngak ber-bercanda, kan?" Ih, kok aku jadi gagap begini, sih. Mana jantung udah mau loncat, lagi.Dia tersenyum manis, sangat manis, gula sama madu pun kalah. Lalu dia berdiri, tak lagi berlutut seperti tadi."Kamu mau saya bercanda, atau serius?"Aduuh ... gimana, ya, aku pengen senyum-senyum jadinya, tapi malu. Siapa tahu ini cuma prank dari dosen yang paling digilai oleh para makhluk perempuan di kampus ini."Serius, Pak.""Iya, ini saya lagi serius, Alula," katanya, "mau, kan, jadi pacar saya?"B
"Nah, Salsa, sekarang udahan dulu mainnya, ya. Waktunya bobo siang," bujukku pada anak majikan, alias anak tante Nesya.Wajah Salsa berubah cemberut setelah kubujuk tadi. "Yah, Kak, padahal masih pengin main.""Mainnya nanti lagi, sekarang waktunya bobo."Tante Nesya memberi tahu jadwal tentang mengurus anaknya ini. Mulai dari mandi, main, makan, sampai tidur siang."Tapi, kalau nanti aku bobo, Kak Alula jangan pulang, ya," pinta Salsa dengan wajah polosnya.Aku tersenyum ke arahnya, lalu membelai lembut rambut hitam panjangnya. "Iya, Salsa. Kan emang belum waktunya kak Alula pulang.""Ya udah, deh, kalau gitu, aku mau bobo." Salsa mulai beranjak, meninggalkan mainannya yang berserakan di lantai. "Oh, ya, aku lupa ngasih tau kak Alula.""Kasih tau apa, nih? Kak Alula penasaran, dong," godaku."Katanya om Bara, nanti sore, aku mau diajak nganterin kak Alula, pake mobil om Bara."&nb
"Len, lo tau nggak, kalau pak Arsen udah meninggal?" tanyaku pada Alena yang kini berbaring di sampingku. Kami mau tidur karena sudah hampir larut. Tapi, kebiasaan sebelum tidur, ngobrol dulu sebentar. Pillow talk istilahnya."Tau. Emangnya kenapa?" jawab Alena."Kok lo nggak ngasih tau gue, sih?""Waktu itu lo masih kerja di perusahaan yang lama, La. Kita kan juga jarang kontekan. Lagian, ngapain sih, nanyain itu? Lo nggak lagi bersedih atas kematian dosen yang lo suka dulu, kan?" balas Alena."Ya, gue nggak sedih, sih, cuma kaget aja. Dan ternyata, pak Arsen itu, adik iparnya tante Nesya, lho, Len," kataku."Tante Nesya bos lo sekarang?""Iya. Gue baru tahu tadi siang, karena diceritain sama anaknya tante Nesya.""Kalau pak Arsen adik iparnya tante Nesya, berarti kak Bara juga dong?" tebak Alena."Ya, iya. Itu makanya waktu itu gue ketemu dia di rumah tante Nesya," jawabku