Butuh waktu setengah jam untuk imunisasi si kembar, pasalnya Reza yang takut jarum suntik membuat Lina sedikit kewalahan. Sementara Rania hanya bisa menggelengkan kepala, heran. Ia pikir setelah punya anak, rasa takut terhadap jarum suntik akan hilang, tapi ternyata tidak. "Sheina kamu memang hebat, nggak kaya papa kamu. Sama jarum suntik aja takut," pujinya. Lina baru saja selesai melakukan tugasnya itu. "Nggak usah nyindir deh," sahut Reza yang merasa sedikit kesal. "Aku nggak nyindir, tapi ini kan fakta. Sheina sama Sean nggak nangis waktu disuntik," kata Lina. "Ish nyebelin banget sih." Reza berdecih. Setelah selesai mereka bergegas untuk pulang, Rania terus tersenyum saat mengingat kejadian tadi saat berada di rumah sakit. "Kamu kenapa senyum-senyum begitu?" tanya Reza. Kini mereka sudah dalam perjalanan pulang. "Nggak papa, ingat tadi aja waktu .... ""Mau ikutan nyindir iya, sama kaya Lina." Reza memotong ucapan istrinya, sementara Rania hanya tersenyum. "Sayang, nanti k
Waktu terus bergulir, tidak terasa pernikahan Reza dan Rania kini menginjak tujuh tahun. Suka dan duka mereka lalui bersama, tak jarang pertengkaran dan rasa cemburu ikut mewarnai kehidupan mereka. Namun, keduanya mampu melawan dan melaluinya bersama. "Mama, kaos kakinya mana!" teriak Sean dan Sheina secara bersamaan. "Sebentar, Sayang," sahut Rania dari dalam kamar. "Astaghfirullah, Mas kamu tuh kebiasaan banget sih. Udah aku bilang, jangan naruh handuk sembarangan," omelnya, saat melihat Reza menaruh handuk basah di atas kasur. "Aku buru-buru, Sayang." Reza mengambil kemeja lalu memakainya.Rania menggelengkan kepala, lalu keluar dari kamar, dan masuk ke dalam kamar si kembar. Sean dan Sheina nampak sudah siap dengan seragam sekolahnya. Kini keduanya sudah duduk di bangku sekolah dasar. "Ini kaos kakinya." Rania menyerahkan kaos kaki tersebut pada si kembar. "Ma, iketin rambut Sheina," pinta Sheina. "Iya, Sayang sebentar ya." Rania segera mengambil sisir serta dua ikat rambut
"Za pelan-pelan dong nyabutnya, sakit tahu." Rania meringis menahan sakit dan juga perih. "Iya, ini juga udah pelan. Kamu tahan dong," ujar Reza. Ia, melihat jika wanita yang baru ia nikahi pagi tadi, terus meringis kesakitan. "Ya ampun, Za. Jangan digoyang tambah sakit," kata Rania. Seketika Rania mencengkeram sprei, akibat rasa sakit yang luar biasa. "Biar mudah nyabutnya," sahut Reza. "Tapi sakit banget, Za. Tuh kan darahnya keluar," ujar Rania. "Sepreinya jadi kena darah, gimana dong," lanjutnya. "Enggak apa-apa, nanti kan bisa diganti," sahut Reza. "Tapi kamu yang ganti ya," pinta Rania. "Iya aku yang ganti, udah diam, aku cabut sekarang," ujar Reza. Sementara Rania hanya mengangguk. "Aaaaaaaa. Reza sakit!" teriak Rania. Sontak Reza terkejut mendengar teriakan istrinya itu, bukan hanya Reza orang yang ada di luar pun demikian. "Rania kamu kenapa? Reza kamu pelan-pelan dong, ingat itu anak orang." Hesti ibu mertua Rania menggedor pintu kamar putranya itu. "Iya, Ma. Mama
Rania menutup matanya dengan kedua telapak tangan miliknya, sesekali ia mengintip dari sela-sela jarinya untuk melihat apakah Reza sudah memakai handuk itu kembali atau tidak. Sementara Reza yang panik langsung mengambil handuknya dan segera memakainya kembali. "Udah, buka matanya," titah Reza. Sebelum Rania benar-benar membuka matanya, ia mengintip terlebih dahulu melalui sela-sela jemarinya. "Atau mau lihat lagi," godanya. Detik itu juga mata Rania melotot. "Dasar mesum," cebiknya. Rania berusaha untuk bangkit, tetapi cukup kesulitan. "Butuh bantuan nggak." Reza mengulurkan tangan kanannya. Rania masih diam, gara-gara kejadian tadi kini mata sama otaknya telah ternoda. "Buruan, mumpung masih berlaku." Suara Reza mampu membuat Rania terkejut dan sadar dari lamunannya. "Nggak usah mikirin yang tadi, kalau mau lihat lagi juga boleh. Jangankan lihat, dipegang juga nggak apa-apa," ujar Reza. Detik itu juga mata Rania melotot. "Maksud aku fotonya, tuh otak jangan ngeres. Dasar pikt
"Meluknya udah apa belum." Suara Reza mampu membuat Rania membuka mata dan menyadari jika dirinya masih memeluk tubuh kekar lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Buru-buru Rania bangkit lalu merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Setelah itu, Reza pun bangkit, pria berkemeja hitam itu tersenyum mengingat kejadian tadi. Rasanya seperti mendapatkan durian runtuh, tetapi tidak dengan Rania, wanita itu merasa malu. "Maaf, tadi aku kaget gara-gara ada kecoa," ujar Rania. "Nggak apa-apa, sering-sering aja seperti itu, justru aku yang seneng," sahut Reza, seketika mata Rania melotot. "Udah-udah, sekarang kalian sarapan dulu. Setelah ini Reza bawa Rania ke rumah sakit," titah Hesty. Setelah itu mereka bergegas menarik kursi untuk duduk. "Sebagai istri yang baik itu, mau melayani suaminya, entah itu di meja makan atau di kam .... ""Iya bawel, gini-gini aku juga tahu kok cara melayani suami." Rania memotong ucapan Reza, lalu dengan cekatan mengambil piring dan disisi dengan n
Malam harinya, usai makan malam Rania memilih untuk istirahat di kamar. Tiba-tiba ia teringat kado dari para sahabatnya saat menikah. Ia belum sempat membukanya karena menurut Rania itu tidak penting. "Aku buka nggak ya," ucap Rania seraya melihat tumpukan kado yang tertata di lemari. Rania memang membawa semua kado tersebut ke rumah Reza. "Aku penasaran isi kado dari Lina," gumamnya. Setelah itu Rania mengambil kado yang dari Lina. "Awas aja kalau isinya barang aneh." Rania mulai membuka kertas yang membungkus kado tersebut. Setelah terbuka, Rania terkejut saat melihat isinya. "Astagfirullah, Lina benar-benar ya. Untuk apa sih dia ngasih kaya ginian, kurang .... ""Kurang banyak ngasihnya, tenang saja nanti aku belikan lagi." Suara yang tidak asing bagi Rania, membuat wanita itu menoleh. "Reza, apaan sih." Rania melempar kado yang Lina berikan. Sebuah benda yang biasa digunakan oleh pasangan suami istri. "Kok dibuang sih, mubazir tahu." Reza menjatuhkan bobotnya di sebelah istr
Plak, buk. Rania memukul lengan dan juga hidung Reza. Detik itu juga Reza memegangi hidungnya, beruntung tidak mengeluarkan darah. Entah kenapa Rania selalu seperti itu saat dekat dengan Reza, padahal mereka sudah sah menjadi suami istri. "Kasar banget jadi cewek, aku kutuk jadi istri penurut baru tahu rasa," ujar Reza seraya mengusap hidungnya yang masih terasa sakit. "Salah kamu sendiri, kenapa ... aaa." Rania kembali menjerit saat mendengar petir. Bukan itu saja, Rania juga memeluk tubuh Reza seperti sebelumnya. "Tuh kan, yang meluk dulu siapa," sindirnya. Seketika Rania terdiam, lalu membuka matanya. Detik itu juga Rania melepas pelukannya. "Maaf, itu reflek. Bukan kesengajaan," kata Rania pelan. Raut wajahnya sudah memerah, karena malu. "Nggak apa-apa kok, rezeki nomplok nggak bakal ditolak," sahut Reza. Rania melotot mendengar hal itu, seolah-olah Reza menggunakan kesempatan dalam kesempitan. "Nggak usah melotot kaya gitu, nanti itu biji mata jatuh siapa juga yang repot,"
Reza terus merem melek melihat pemandangan tak biasa di depan mata. Susah payah ia mengendalikan diri agar tidak terbawa oleh nafsu. Sementara itu, Rania masih pada posisinya, rasa takut dan geli pada cicak membuat Rania melupakan rasa malunya. "Mau sampai kapan seperti ini terus, Ran? Cicak udah pergi. Aku sih nggak keberatan justru .... " Reza menghentikan ucapannya saat Rania menyentil bibirnya. "Kalau bukan karena cicak aku juga nggak bakal kaya gini." Perlahan Rania turun dari tubuh suaminya."Buruan pakai baju, jangan memancingku, jika tidak ingin aku khilaf," ucap Reza. Tanpa pikir panjang Rania mengambil pakaian dan masuk ke dalam kamar mandi. Dua puluh menit kemudian, keduanya sudah berada di meja makan untuk sarapan pagi bersama. Rania terlihat cantik mengenakan seragam kerjanya, hanya saja Reza sedikit risih dengan rok hitam di atas lutut yang Rania pakai. "Ran, emang nggak ada rok yang lebih panjang gitu. Aku risih lihat kamu pakai rok sependek itu," ungkap Reza sembar