Share

Malam Pertama Dengan Sahabat
Malam Pertama Dengan Sahabat
Author: Dian15

Part 1

Parahnya Angga, dia meminta Andini untuk datang kerumahnya hanya untuk mendengarkan kisah cintanya yang kandas lagi.

Dan kali ini sepertinya sudah yang paling parah. Hubungannya dengan kekasihnya berakhir disaat hari pernikahan mereka tinggal seminggu lagi.

"Aku harus gimana, dong, Ndin? Semua sudah siap. Kalau bapak sama ibu tahu soal ini mereka pasti marah besar."

Andini memandang Angga yang berjalan mondar-mandir seperti setrika sambil mengacak-acak rambutnya. "Aku mana bisa kasih solusi sih, Ga? Yang pasti harus ngomong ke bapak sama ibu kamu. Lagian cewek kamu ada-ada aja, sih. Rela batalin nikah cuma mau ikut audisi nyanyi. Iya kalau dia bisa lolos. Kalau enggak, apa nggak malu?"

"Bantu aku ngomong ke bapak sama ibu, ya, Ndin?"

"Eehhh... Nggak mau. Aku nggak mau ikut campur urusan kamu, ya."

Angga bersimpuh di hadapan Andini. Kedua tangannya menggenggam kedua tangan Andini. "Apa, sih?" Andini mencoba menarik tangan Andini dari genggamannya.

"Aku nggak akan lepasin kamu sebelum kamu mau bantuin aku."

Tangan Andini berusaha untuk menjangkau hidung mancung Angga. Lalu mencubitnya dan menariknya dengan keras sampai membuat Angga berteriak mengaduh. "Cemen banget jadi orang! Aku nggak mau ikut campur urusan kamu, Angga."

"Katanya sahabat?" Angga mencoba mencari dukungan.

Andini membuang pandangannya. "Nggak ada urusannya sama aku, Angga. Tinggal ngomong sama bapak dan ibu kamu kalau kamu nggak jadi_"

"Nggak jadi apa, Ndin?" Wiwit, ibu Angga, yang baru saja pulang entah dari mana, langsung memotong ucapan Andini.

Andini melipat kedua bibirnya ke dalam. Matanya melirik Angga yang berwajah pasrah. 

"Ndin?" 

"Eh, iya, budhe. Biar Angga yang jelasin sendiri ya, budhe. Soalnya Andini nggak tau apa-apa." Andini tertawa sungkan.

Sedangkan Angga sudah panik sendiri dan menatap Andini dengan tatapan memohon.

"Ini ada apa sebenarnya? Angga? Jelaskan pada ibu!"

Angga menundukkan kepalanya. Rasanya bingung harus memulai dari mana. Ini bukan masalah yang kecil. Orangtuanya pasti akan marah besar jika mendengar hal ini.

"Angga Rizaldi." Kalau sudah menyebutkan namanya dengan lengkap, itu pertanda bahwa ibunya tidak bisa di bantah lagi.

"I-itu, Bu, anu_"

"Anu apa? Ngomong yang jelas. Laki kok, ngomongnya anu-anu begitu."

Ingin rasanya Andini saja yang berbicara. Dia merasa kasian juga melihat Angga yang kebingungan harus memulai dari mana. Tapi, ini bukan ranah Andini untuk ikut campur. Meskipun Andini sudah sangat dekat dengan keluarga Angga tapi tetap saja dirinya tidak berhak.

"Vika batalin pernikahan kami, Bu."

"Apa? Bilang apa barusan?"

"Vika batalin pernikahan kami, Bu." Angga menunduk setelahnya. Dia tidak berani menatap wajah ibunya yang sudah pasti terkejut, marah dan kecewa.

"Kenapa bisa dia begitu, Ga?" Wiwit meninggikan suaranya.

"Dia... Dia lebih memilih untuk ikut audisi nyanyi, Bu."

"Ya Allah..." Wiwit terduduk di atas sofa sambil memegangi kepalanya yang langsung terasa pusing.

"Maafkan Angga, Bu. Udah buat bapak sama ibu kecewa."

Wiwit beranjak dan berkacak pinggang. "Makanya, kalau ibu sama bapak ngomong itu di dengarkan. Ibu sudah bilang kalau feeling ibu sama perempuan itu udah nggak enak. Tapi kamu yang maksa. Sekarang kalau sudah begini mau gimana? Hantaran segala macam udah siap. Saudara-saudara yang jauh juga sudah berangkat kesini tadi pagi. Ibu sama bapak juga malu, Angga. Ya Allah..."

Tidak heran. Pernikahan tinggal seminggu lagi pasti semua sudah siap. Dekorasi, hantaran, dan segala macam sudah di siapkan dan tinggal menunggu hari h. 

Tapi yang namanya takdir, kita bisa apa selain menerima? 

"Bapak sama ibu kan, juga sudah mengenal orangtuanya dengan baik, Bu. Mereka baik. Jadi saat itu Angga berpikir apa salahnya kalau Angga menikah dengan Vika."

"Baik orangtuanya belum tentu baik anaknya juga."

Betul! Batin Andini berteriak. Membenarkan argumen Wiwit.

"Ini contohnya, kamu bisa lihat sendiri."

Tidak lama kemudian, Hardi, ayah Angga, masuk ke dalam rumah. Dapat dipastikan suasana akan semakin mencekam. Hal itu membuat Andini merasa tidak nyaman berada diantara mereka.

Hal yang sama ditanyakan oleh Hardi. Ada apa, adalah pertanyaan yang pertama kali di lontarkan oleh Hardi.

Wiwit dengan segala kehebohannya sebagai emak-emak yang sedang kecewa, langsung menceritakan semuanya dengan penuh emosi.

Raut wajah Hardi yang semula santai, berubah menegang setelah mendengar cerita istrinya.

"Angga, apa tidak bisa Vika menunda mimpinya kali ini saja?"

Angga mengusap wajahnya yang terlihat frustasi. "Dia sudah berangkat ke Bandung kemarin, Pak. Audisinya cuma di adakan di satu kota. Dan dia nekat berangkat."

Hardi duduk di sofa dan memejamkan matanya. Dia terlihat sedang berpikir mencari solusi atas permasalahan yang terjadi saat ini.

Ada sedikit rasa syukur Angga di jauhkan dari wanita yang terlalu memikirkan dirinya sendiri. Dia terlalu egois untuk dijadikan istri. Yang dia pikirkan hanyalah dirinya sendiri tanpa tahu efek apa yang di dapat orang-orang di sekitarnya karena kelakuannya.

Yang Hardi sesalkan, semua persiapan sudah sembilan puluh persen. Undangan pun sudah di sebar. Apa kata orang kalau sampai Hardi batal mantu. Apalagi jabatan Hardi adalah seorang kepala desa.

"Terus gimana, Pak? Apa kata orang kalau kita nggak jadi menikahkan Angga? Kita berdua sudah menurunkan ego kita. Mencoba untuk bisa menerima perempuan itu loh, Pak. Kok, perempuan itu malah mempermalukan keluarga kita begini?"

Andini semakin merasa tidak nyaman. Diam saja rasanya sungkan, mau bicara dia tidak ada hak untuk itu. "Budhe, pakde, Andini pamit pulang dulu, ya." Andini akhirnya memutuskan untuk pulang.

"Tunggu dulu, Ndin." Hardi menghentikan langkah Andini. Dan itu sukses membuat jantung Andini berdegup kencang.

"Ya, pakde?" jawab Andini dengan perasaan takut.

"Pakde mau minta tolong, Nduk."

Andini mengernyitkan keningnya. "Minta tolong apa, Pakde?"

Hardi terlihat menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. "Maafkan Pakde ya, Nduk. Mungkin ini terdengar egois. Tapi..."

"Tapi apa, pakde?" Andini terlihat tidak sabar. 

Bukan hanya Andini saja, sebenarnya. Wiwit dan Angga juga penasaran dengan apa yang akan di ucapkan oleh Hardi.

"Pakde minta tolong menikahlah dengan Angga satu minggu lagi."

"Apa!?"

"Apa!?"

"Ibu setuju!"

Andini mematung. Jantungnya seakan berhenti berdetak setelah mendengar permintaan Hardi.

Menikah dengan Angga? 

Sekalipun hal itu tidak pernah terlintas di dalam pikiran Andini.

###

"Andini nggak mau, ibuk. Andini kan, punya pacar."

Dewi, ibu Andini, tersenyum tipis. "Kamu pacaran apa kredit motor? Udah tiga tahun tapi nggak ada kejelasan mau di lamar apa enggak."

Kalau sudah menyinggung pacarnya yang tak kunjung melamar dirinya, Andini tidak bisa berkata-kata lagi.

Berkali-kali Andini minta pada Gilang untuk segera melamar dirinya. Tapi Gilang selalu berkata bahwa dia belum siap secara mental dan materi.

Dan Andini pun lagi-lagi luluh dalam rayuan Gilang saat Gilang meminta Andini untuk tetap setia menunggu sampai Gilang siap.

"Wes, bapak juga setuju sama ibumu dan orangtua Angga. Nanti malam mereka akan kesini buat melamar kamu." Ucapan Seno membuat Andini terdiam. Andini segera masuk ke kamarnya dan mengunci pintunya.

Andini mengambil tas besar yang berada di dalam lemari di rak paling bawah. Dia juga mengambil baju-bajunya dan siap di masukkan ke tas.

Keputusannya untuk pergi dari rumah sudah bulat. Andini tidak ingin menikah dengan Angga. Dia tidak mencintai Angga. Baginya Angga hanyalah sahabat. Rasa sayangnya pun hanya sebagai seorang sahabat, tidak lebih. 

Andini sudah mengangkat tasnya dan bersiap untuk pergi. Tapi sekelebat bayangan orangtuanya yang begitu menyayangi dirinya terlintas di depan matanya.

Dia teringat akan kerja keras orangtuanya untuk memberikan yang terbaik untuk dirinya. Bapaknya panas-panasan bekerja di sawah. Ibunya kadang harus lembur untuk menyelesaikan jahitan. Semua dilakukan demi bisa menghidupi dirinya, menyekolahkan dirinya.

Meskipun sekarang hidup mereka sudah enak, sawah bapaknya banyak dan ibunya sudah mempunyai sebuah butik, tapi tetap tidak bisa menghilangkan jejak perjuangan mereka demi bisa mencukupi kebutuhan Andini. 

Kalau Andini nekat pergi, siapa yang akan menemani orangtuanya? Siapa yang akan merawat mereka ketika mereka tua nanti? Betapa kurang ajarnya dia kalau sampai rasa sakit dan kecewa yang dia berikan untuk kedua orangtuanya. Sedangkan orangtuanya sudah mati-matian memberikan yang terbaik untuknya.

"Jangan coba-coba kabur!"

Sebuah pesan singkat dari Angga yang masuk ke ponselnya membuat Andini berteriak kesal. 

Angga yang bermasalah kenapa aku yang dibawa-bawa, sih? Batin Andini berteriak.

***

Malam harinya, Angga dan keluarganya benar-benar datang. Mentang-mentang rumahnya dengan Andini hanya berjarak lima puluh meter, Angga membawa hampir semua keluarganya yang baru saja pulang dari Jakarta demi bisa menghadiri pernikahan Angga.

Andini enggan untuk keluar. Rasanya dia ingin berdiam diri di kamar merenungi nasib dirinya. 

Terbesit sebuah penyesalan di dalam hati Andini, mengapa dia bersahabat dengan Angga.

Dan Andini juga menyesal kenapa pagi tadi dia harus datang ke rumah Angga. Seandainya tidak, tentu hal ini tidak akan pernah terjadi. Di dalam hidupnya.

"Aduh, Andini... Kenapa belum ganti baju, sih?" Dewi merasa gemas dengan anak gadisnya yang malah dengan santainya berbaring di atas tempat tidur.

Andini memutar bola matanya, malas. "Ngapain harus ganti baju, Bu? Angga tiap hari lihat Andini dasteran juga dia cuek aja."

Dewi setengah mati menahan kekesalannya. "Tapi ini beda acara, sayang. Cepat ganti baju. Ibu tunggu disini." Dewi menarik tangan Andini agar terbangun dari tempat tidurnya. Setelah itu dia mengambilkan baju yang sudah di siapkan Dewi dan menyerahkannya pada Andini.

Tubuh Andini di dorong untuk masuk ke dalam kamar mandi dan Dewi melarang Andini untuk mengunci pintunya.

Senyuman puas terpatri di wajah Dewi saat melihat Andini sudah terlihat cantik dan anggun dengan balutan rok jarik dan kebaya berwarna navy.

Wajahnya yang sudah cantik cukup di touch up dengan bedak tabur tipis-tipis lalu memakai lip tint agar bibirnya tidak terlihat pucat.

Semua orang menyambut kedatangan bidadari yang di nanti-nanti. Pujian demi pujian di berikan untuk Andini karena melihat kecantikan Andini.

Bahkan, Angga sendiri sempat tidak berkedip saat pertama kali melihat Andini turun dari lantai dua.

"Baik, Pak Seno. Karena yang dinanti sudah hadir di tengah-tengah kita, maka ijinkan kamu untuk mengutarakan maksud kedatangan kami kemari." Salah satu perwakilan dari keluarga Angga mulai membuka acara.

"Boleh, Pak. Monggo!" Seno mempersilahkannya.

"Kedatangan kami kemari, untuk melamar putri bapak yang bernama Andini untuk anak kami, Angga. Akan menjadi kebahagiaan bagi kami bila bapak dan keluarga berkenan untuk menerima."

Seno tertawa pelan. "Kalau saya sebenarnya terserah dengan anaknya saja, Pak. Iya kan, Nduk?" Tangan Seno menepuk lutut Andini dengan pelan.

Terpaksa Andini mengangguk. Seandainya dia berkata tidak, maka secepatnya dia akan di lempar ke jalanan karena telah mempermalukan orangtuaku.

"Andini juga setuju, kan?" tanya Seno pada Andini.

Lagi-lagi Andini hanya bisa mengangguk. Dan hal itu di sambut dengan ucapan hamdalah oleh semua orang yang hadir.

Andini menatap wajah Angga yang tersenyum puas. Rasanya Andini ingin melemparkan telur busuk pada Angga.

"Kalau begitu, pernikahan akan di gelar satu minggu lagi, Pak. Bapak dan keluarga tidak keberatan?"

"Oh, tidak sama sekali." Seno berucap dengan antusias. "Besok akan segera saya urus berkas-berkasnya, Pak."

"Alhamdulillah. Semoga semua di lancarkan, Pak. Angga dan Andini juga di berikan keberkahan di pernikahan mereka nanti. Menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Aamiin."

Ucapan itu di aamiinkan oleh semuanya. Hanya Andini seorang yang tidak tahu harus bagaimana.

***

Andini dan Angga duduk di bangku kecil yang ada di samping rumah Andini. Bangku itu sengaja di minta Andini agar di buatkan oleh ayahnya dengan alasan, Andini bisa lebih fokus ketika belajar ketika di sana.

Tatapan mata Andini mengarah pada bunga-bunga tanaman ibunya yang bergerak kecil karena tiupan angin. Angga yang duduk di sampingnya, dianggap tidak ada oleh Andini.

Dia begitu kesal dengan Angga. Bisa-bisanya dia menyetujui saat Hardi meminta Andini untuk menjadi istri pengganti. Padahal Angga tahu bahwa Andini sudah memiliki seorang kekasih.

"Ndin." Tangan Angga terulur untuk memegang bahu Andini. Namun dengan keras Andini menyingkirkan tangan Angga dari bahunya.

"Jangan marah, dong. Aku minta maaf." Angga berusaha membujuk Andini.

"Memangnya kamu benar-benar nggak mau nikah sama aku yang ganteng ini?"

Andini membuang napas kesal. Di saat seperti ini masih sempat-sempatnya Angga begitu narsis. 

Andini kemudian menoleh dan menatap kedua mata Angga dengan tajam. "Kalau kata maaf kamu bisa membatalkan pernikahan ini, aku maafin kamu," ucap Andini dengan tegas.

"Tapi aku nggak mau membatalkan pernikahan ini lagi, Ndin."

"Terus kenapa harus aku sih, Ga? Kita sahabat, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya seperti ini."

"Orangtuaku yang memintamu untuk jadi istriku, Ndin."

"Tapi kamu mau, kan?" timpal Andini dengan cepat. "Padahal kamu tahu aku punya pacar dan aku cinta sama dia. Kami sudah merencanakan masa depan untuk bersama. Dan kamu merusaknya begitu saja."

"Aku nggak punya pilihan lain, Ndin. Lagipula kapan dia akan melamar kamu, Ndin? Laki-laki itu menikahi, bukan memacari. Di bawa ke sana kemari tanpa ikatan yang jelas."

"Jahat kamu, Ga!" Andini beranjak dari tempat duduknya dan berlari masuk ke dalam rumah. 

Tidak dia pedulikan tatapan penuh tanya orang-orang yang ada di dalam rumahnya. Andini langsung berlari menaiki tangga dan masuk ke kamar lalu mengunci pintunya.

🌹🌹🌹

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
awal yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status