"Lio, kamu masak apa hari ini?" tanya mertua perempuanku, sepertinya dia baru keluar dari kamar karena dari aku bangun tidak ada kelihatan batang hidung ibu.
Sedari Subuh aku sudah terjaga mencuci pakaian dan berkutat di dapur memasak untuk sarapan sekalian lauk-pauk untuk makan siang. Aku mesti tahu diri, jika di rumah mertua harus lebih ringan tangan daripada rumah sendiri."Ada nasi goreng sama ikan kering campur kentang balado, Bu," jawabku sambil mencuci piring bekas sarapan Mas Bendu-suamiku yang baru berangkat kerja sepuluh menit yang lalu."Lho kok itu menunya? Ibu nggak suka ah ikan kering, maunya ayam kecap," protesnya disusul dengan bunyi hempasan tudung saji."Stok ayam lagi abis, Bu.""Ya kalau habis kamu beli dong sama Bang Mamang." Nadanya mulai terdengar tidak bersahabat. Padahal aku cuma memberitahu saja."Iya, Bu." jawabku pelan.Dia berlalu meninggalkan dapur dan masuk ke kamarnya ditambah suara bantingan pintu. Sikap ibu padaku selalu seperti itu jika Mas Bendu tidak sedang berada di rumah. Berbeda jika suamiku berada di rumah sangat lembut dan menghargai.Kurapikan piring dan kawan-kawannya yang baru selesai dibersihkan lalu masuk ke dalam kamar bermaksud untuk mengambil uang di dalam dompet.Sebenarnya bukannya aku tidak mau membelikan ayam untuk ibu, tapi pundi-pundiku juga sedang sekarat, Mas Bendu belum gajian sedangkan aku mesti berhemat memakai uang untuk keperluan rumah tangga yang tersisa.Setelah mengambil dompet aku pun langsung hendak pergi membeli ayam yang diminta mertua."Kak, kak Liodra tunggu!" panggil Nini-adik perempuan Mas Bendu ketika aku ingin menutup pintu depan."Iya, Ni" jawabku membuka pintu lagi. "Ada apa?" tanyaku pada perempuan yang berusia 25 tahun itu."Kak, beliin aku bubur ayam ya!" suruhnya."Tapi kakak sudah bikin nasi goreng, Ni, itu masih ada kok di meja makan, banyak juga, cukup buat kamu sarapan.""Ogah ah, aku lagi ke pengen makan bubur ayam. Malas tiap hari nasi goreng mulu," keluhnya dengan menyunggingkan ujung bibir."Yasudah kalau begitu. Uangnya?""Oh iya, pake duit kakak dulu ya!"Kubalas dengan anggukan malas dengan tetap memaksakan senyum pada adik satu-satunya Mas Bendu itu.Pernikahanku dengan Mas Bendu baru seumur jagung, kami baru mengikralkan janji suci dua bulan yang lalu. Aku terpaksa resign dari tempat kerja demi ikut dengan suami. Aku tak keberatan untuk hal itu karena memang sudah selayaknya seorang istri meninggalkan karir demi ikut dengan suami.Percuma juga kalau aku kerja tetapi tidak ridhoi oleh Mas Bendu apalagi kami berjauhan. Aku awalnya tidak mempermasalahkan jika harus menetap di rumah mertua, karena memang gaji Mas Bendu belum cukup untuk membayar kontrakan.Namun, hari demi hari, ada rasa jengah melintas di pikiranku.***"Bang, beli ayamnya setengah ya!" pintaku pada Bang Mamang penjual keliling yang menjual segala perintilan yang berbau dengan tetek-bengek perdapuran. Dia biasa mangkal diujung gang sampai pukul sebelas siang. Selepas itu dia keliling komplek jika masih ada stok lauk-pauk atau lainnya yang tersisa."Neng Lio, kok sendiri saja. Mana Bu Maria?" tanya Bu Inaya tetangga samping rumah sambil memilih sayur."Di rumah Bu." Aku hanya menjawab singkat."Neng, kamu kalau di rumah mertua jangan malas-malas atu. Kudu rajin bantuin mertua, 'kan kasian Bu Maria riweh sendiri ngurusin rumah," ucapnya tiba-tiba. Aku melirik ibu itu, tampak ibu di sebelahnya lagi menyikut Bu Inaya."Bu Inaya. Uuussshhh," kode Bu Merlin yang sedang memilih perbumbuan, dia tetangga depan rumah mertuaku.Aku hanya tersenyum tipis merespon perkataan Bu Inaya karena sebenarnya aku tidak paham apa maksud dibalik perkataannya itu."Bang, jadi berapa total belanjaanku?" tanyaku."Totalnya jadi 35rb Neng. Ayam lagi mahal, sekarang 25ribu setengahnya.""Ini Bang." Aku menyodorkan uang pas 35rb pada Bang Mamang."Bu Inaya, Bu Merlin aku duluan ya.""Iya, Liodra."Hanya Bu Merlin yang merespon sedangkan Bu Inaya acuh tak acuh saja, aku tidak mengerti dengan tetangga yang satu itu. Selama dua bulan tinggal dengan mertua, aku memang bisa dikatakan tidak pernah berkumpul dengan tetangga, selain umurnya jauh di atasku, aku juga tidak punya energi untuk sekedar mengobrol karena sudah capek duluan mengurus urusan rumah.Setelah selesai membeli ayam dan perbumbuan untuk ayam kecap, aku meneruskan langkah menuju tempat Kang Soleh-pedagang bubur ayam yang tempat jualannya tidak jauh dari tempat mangkal Bang Mamang."Kang, bubur ayamnya satu bungkus ya.""Iya, Neng." Dengan sigap dia pun membungkus pesananku.🌟🌟🌟"Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab ibu mertua yang tengah duduk memainkan gadgetnya di ruang tamu."Ni, Nini," panggilku sambil mengetuk pintu kamar Nini."Kamu beli apa aja, Lio?" tanya mertua."Beli ayam bu sama bumbu ayam kecapnya. Terus ini beli bubur ayam juga titipannya Nini," ujarku."Mana kak, bubur ayam ku?" tagihnya yang baru saja membuka pintu kamar.Aku menyodorkan plastik yang berisikan bubur ayam pesanan Nini. Dia merampas agak kasar dari tanganku tanpa ucapan terima kasih malah melenggangkan makanan itu ke dapur.Aku hanya menelan ludah melihat tingkah adik ipar yang satu itu. Memang sejak pertama kali bertemu, dia selalu berlaku tidak sopan padaku. Entah kenapa aku pun tidak tahu."Berapa bungkus kamu beli bubur ayamnya? Buat ibu mana?" tanya mertua ku lagi."Cuma satu bungkus, Bu. Aku pikir ibu tadi jadi sarapannya.""Ih kamu gimana sih jadi menantu nggak ada peka-pekanya. Kalau mau beliin itu, jangan satu saja," cerocosnya ketus."Iya, Bu. Maafin Liodra ya. Besok-besok aku lebihin belinya ya buat Ibu juga.""Besok-besok katamu? Ibu maunya sekarang Liodra, gih beli lagi bubur ayamnya!" perintahnya dengan memperlihatkan wajah masam padaku."Baik, Bu."Ku letakkan belanjaan tadi ke dapur, lalu pergi membeli bubur ayam untuk mertua.Sore hari menjelang Magrib Mas Bendu sudah pulang. Selepas itu dia langsung mandi dan kami sholat Magrib berjamaah."Mas, ayuk makan pasti kamu udah laper banget ya!" usai kami merapikan sajadah. Mas Bendu mengangguk.Dia menggandengku menuju meja makan, walaupun aku sebenarnya masih malu. Malu dilihat ibu mertua dan adik ipar jika lihat kemesraan ini sekalipun kami sudah halal.Dan benar saja, di meja makan ibu dan Nini sudah duduk manis. Kulihat mata ibu menatap tak suka melihat tanganku digandeng anak lelaki satu-satunya itu. Aku pun menariknya seketika, refleks begitu saja."Sini duduk dekat ibu, Ben," usul ibu seraya menepuk-nepuk kursi yang ada di sebelahnya.Mas Bendu manut saja sambil melempar senyum semringah pada wanita yang melahirkannya itu. Posisi Mas Bendu berada diantara dua wanita kesayangannya. Aku pun mengisi kursi yang letaknya diantara ibu dan Nini.Meja makan berbentuk bulat berwarna coklat tua dan tersedia empat kursi, pas sesuai jumlah yang ada di rumah ini. Aya
Seperti biasa aku bangun sebelum subuh, bergegas mandi karena semalam aku baru saja memberi hadiah pada Mas Bendu, sebagai ucapan terima kasih karena sudah diberi izin untuk bekerja."Mas, bangun." panggilku pelan membangunkan suami dengan menggoyangkan-goyangkan kakinya. Tidak ada respon apapun dari Mas Bendu mungkin terlalu lelah."Mas, Mas bangun udah mau Subuh." panggilku sekali lagi.Dia menggeliatkan badan lalu beberapa detik kemudian duduk. Dia tersenyum indah padaku membuat jantungku berpacu lebih cepat."Udah mandi saja kamu, Dik." sapanya."Udah dong, Mas. Sana mandi, nanti kita sholat berjamaah ya." suruhku. Untung di kamar suami ada kamar mandi, jadi seisi rumah tidak perlu tahu kapan aku 'bermain' dengan suami.Setelah Mas Bendu mandi kami pun melaksanakan sholat secara berjamaah. Runitas seperti biasa jikalau aku sedang tidak halangan.Setelah sholat berjamaah aku pun melanjutkan aktivitas berkutat di dapur menyiapkan sarapan untuk seisi rumah, sedangkan Mas Bendu tampak
Tak lama terdengar deru sepeda motor, mungkin Mas Bendu mau berangkat kerja, "Maaf Mas, hari ini aku tidak melepas kamu pergi kerja. Selamatkan suamiku dalam perjalanan Yaa Allah." bisikku dalam hati.Aku tak menyangka dapat mertua dan ipar jahat untuk kedua kalinya. Cukup rasanya aku ditindas ketika pernikahanku yang pertama. Cukup juga sebulan lebih aku menerima sindiran, umpatan, dan sergahan dari mertua. Belum lagi ipar tidak tahu diri, dia harusnya lebih giat mencari kerja, bukan lenyeh-lenyeh seperti anak bayi di rumah."Yaa Rabb kuatkan hatiku untuk menghadapi mereka. Beri aku kesabaran yang lebih banyak dan jauhkan aku dari fitnah mematikan. Lindungilah keluarga kecilku yang baru seumur jagung ini Yaa Allah.""Lio, Liodra, buka pintunya. Kamu jadi menantu tahu diri dikit. Ini rumah ibu saya bukan kamu. Ingat kamu hanya numpang di sini." pintu kamarku digedor tanpa jeda bahkan bunyinya sangat kuat, kalau bukan karena segan enggan sekali aku meresponnya.Liodra? Kamu? Nini beran
"Mas, kok kamu nggak bangunin aku?" sapaku memulai pembicaraan.Tidak ada sahutan, malah Mas Bendu meraih gadgetnya yang diletakkan di bawah bantal. Karena tidak ada respon dari dia, aku mengambil wudhu untuk melaksanakan Sholat Subuh.Seusai sholat akupun masih berusaha mencairkan suasana."Mas, kamu marah?" ucapku sambil menggoyang-goyangkan kakinya.Jangankan direspon dia malah menyentak kakinya. "Yasudahlah aku sudah berusaha, lebih baik aku biarkan saja." bisikku di dalam hati.Aku bertolak ke dapur menyiapkan sarapan seperti biasa. Ketika ku buka kulkas tidak ada satupun stok yang bisa dimasak untuk makan siang. Hanya bumbu untuk nasi goreng yang tersedia. Setelah selesai membuat nasi goreng akupun menjemput Mas Bendu ke kamar untuk mengajaknya sarapan."Mas, yuk sarapan. Aku sudah bikinin nasi goreng kesukaanmu." ajakku pada suami yang sudah ready untuk berangkat kerja.Ku raih pergelangan tangannya, lagi dan lagi dia menyentak tanpa menghiraukan pintaku, lalu berlalu keluar ka
Tak lama ibu bertolak pergi dari kamarku, Nini datang menyambar pintu yang ingin ku tutup."Hei tunggu." sergah Nini menyambar pintu kamar yang hendak ku tutup."Apa-apaan sih, Ni!" sungutku dengan tatapan tajam sembari menahan pintu kamar."Kamu yang apa-apaan. Bilang apa tadi sama ibu, itu mulut di sekolahin dulu biar tahu sopan santun.""Lah 'kan emang bener makan apa yang ada aja. Salah aku dimana coba? Yang harus disekolahin itu mulut kamu. Tahu sopan santun nggak?' sindirku."Niniiii, udah Nak nggak usah ngomong sama mantan janda. Nanti kamu ketularan lho, kalau Mas mu sudah pulang biar kita aduin saja." sorak ibu dari dapur."Awas ya, kalau saja ibu nggak ngelarang udah aku jambak rambut mu." ancamnya disertai mata membulat, aku tidak takut sama sekali.Perlakuan sama dengan ibu, Nini kuberi senyum lebar merekah sebelum dia berbalik badan meninggalkan kamarku. Biar saja dia yang sesak nafas melihat sikap ku yang masa bodoh.Sekalipun aku memang numpang di sini tapi bukan berart
"Mas, akhirnya kamu sampai rumah juga, syukurlah kalau kamu tidak apa-apa. Aku khawatir sama kamu." sapaku lalu meraih tangannya hendak mencium ketika kaki Mas Bendu baru melangkah memasuki rumah."Eh Bendu kamu sudah pulang, gimana tadi acaranya? Lancar?" ibu menyerobot datang dari belakang ku, menyenggol tubuh idealku ke tepi dinding hingga tubuhku sedikit terhempas.Aku mundur beberapa menjaga jarak aman, jangan sampai nanti dia sengaja menyenggolku lagi."Lancar, Bu Alhamdulillah." jawabnya sambil menghenyakkan pantat di sofa ruang tamu lalu membuka balutan jaket dari tubuhnya.Mas Bendu tidak merespon ataupun menjulurkan tangannya padaku. Dia malah melengah seakan sosokku tidak terlihat oleh kedua netranya. Sungguh membuat kesabaran ku habis diperlakukan seperti ini.Ku hela nafas kesal lalu bertolak menuju kamar. Ku baringkan tubuh ini di peraduan, kepala ku mulai terasa sakit mungkin efek aku kurang makan dan juga lelah pikiran. Ku pijit ringan meredakan rasa sakit.🌟🌟🌟Subu
"Ribut apaan sih, Bu. Ganggu orang lagi tidur aja." suara Nini menggema protes, mungkin tidurnya yang masih lelap terusik.Umurnya saja yang sudah dewasa, tapi tingkahnya seperti bocah kalau tidur masih dibangunin sama ibunya. Aku yakin jika tidak ada keributan mana mungkin mata minus itu akan terjaga. Bisa-bisa dia akan molor sampai waktu Sholat Dhuha abis."Itu, kakak ipar kamu yang bikin ribut. Dia maksa Bendu buat ngontrak. Gaji Bendu juga dikuasain."Feeling ku ibu pasti sedang duduk di ruang tamu."Ih, ogah ah punya ipar macam dia. Mana udah pernah jadi janda lagi. 'Kan aku sedari awal emang nggak restuin Mas Bendu nikah sama dia, Bu. Ibu aja tuh yang kasih restu. Apa Bu? Gaji Mas Bendu mau dikuasain sama dia. Dasar matre memang." tuduhnya.Matre? Kalau aku matre pasti aku mencari lelaki yang lebih kaya akan harta. Dasar pemikiran dangkal, gaji segitu dicerecokin. Apa dia nggak nyadar kalau gaji Mas Bendu cuma sebesar UMR, syukur-syukur lembur bisa dapat tambahan.Bukannya ingin
"Aku pamit ya, Bu," tambahku biar hatinya semakin marah padam.Biar semakin sesak rasa dalam dadanya, kugandengan tangan Mas Bendu ketika kami berjalan ke arah pintu depan.Tidak ada satupun kata lagi yang keluar dari mulutnya. Jika ada Nini di luar, akupun akan melakukan hal yang sama membuatnya sesak nafas seperti ibu. Rupanya kurang seru, anak bau kencur itu tidak ku temukan batang hidungnya.Sepertinya berlaku pura-pura lembut seperti ini lebih mengesankan untuk bergelut dengan manusia seperti ibu dan Nini. Tetapi aku memang harus banyak menghela nafas untuk mengontrol emosi supaya tidak terpancing.Eeiiitttsss, tapi bukan berarti ini akan permanen. Seperti yang aku pernah katakan tentu batasannya pengontrolan emosiku. Jika mereka lebih melunjak, oh tentu aku akan memberi pergelutan yang sebanding."Mas, nanti kita cari kontrakannya dekat kantor kamu saja ya. Jadi kamu bisa agak nyantai dikit di pagi hari." ucapku ketika aku sedang memakai helm.Mas Bendu hanya mengangguk pelan, di