Share

Madu dari Mertua dan Ipar
Madu dari Mertua dan Ipar
Penulis: Dwi Nella Mustika

Bab 1. Masak Apa Hari Ini?

"Lio, kamu masak apa hari ini?" tanya mertua perempuanku, sepertinya dia baru keluar dari kamar karena dari aku bangun tidak ada kelihatan batang hidung ibu.

Sedari Subuh aku sudah terjaga mencuci pakaian dan berkutat di dapur memasak untuk sarapan sekalian lauk-pauk untuk makan siang. Aku mesti tahu diri, jika di rumah mertua harus lebih ringan tangan daripada rumah sendiri.

"Ada nasi goreng sama ikan kering campur kentang balado, Bu," jawabku sambil mencuci piring bekas sarapan Mas Bendu-suamiku yang baru berangkat kerja sepuluh menit yang lalu.

"Lho kok itu menunya? Ibu nggak suka ah ikan kering, maunya ayam kecap," protesnya disusul dengan bunyi hempasan tudung saji.

"Stok ayam lagi abis, Bu."

"Ya kalau habis kamu beli dong sama Bang Mamang." Nadanya mulai terdengar tidak bersahabat. Padahal aku cuma memberitahu saja.

"Iya, Bu." jawabku pelan.

Dia berlalu meninggalkan dapur dan masuk ke kamarnya ditambah suara bantingan pintu. Sikap ibu padaku selalu seperti itu jika Mas Bendu tidak sedang berada di rumah. Berbeda jika suamiku berada di rumah sangat lembut dan menghargai.

Kurapikan piring dan kawan-kawannya yang baru selesai dibersihkan lalu masuk ke dalam kamar bermaksud untuk mengambil uang di dalam dompet.

Sebenarnya bukannya aku tidak mau membelikan ayam untuk ibu, tapi pundi-pundiku juga sedang sekarat, Mas Bendu belum gajian sedangkan aku mesti berhemat memakai uang untuk keperluan rumah tangga yang tersisa.

Setelah mengambil dompet aku pun langsung hendak pergi membeli ayam yang diminta mertua.

"Kak, kak Liodra tunggu!" panggil Nini-adik perempuan Mas Bendu ketika aku ingin menutup pintu depan.

"Iya, Ni" jawabku membuka pintu lagi. "Ada apa?" tanyaku pada perempuan yang berusia 25 tahun itu.

"Kak, beliin aku bubur ayam ya!" suruhnya.

"Tapi kakak sudah bikin nasi goreng, Ni, itu masih ada kok di meja makan, banyak juga, cukup buat kamu sarapan."

"Ogah ah, aku lagi ke pengen makan bubur ayam. Malas tiap hari nasi goreng mulu," keluhnya dengan menyunggingkan ujung bibir.

"Yasudah kalau begitu. Uangnya?"

"Oh iya, pake duit kakak dulu ya!"

Kubalas dengan anggukan malas dengan tetap memaksakan senyum pada adik satu-satunya Mas Bendu itu.

Pernikahanku dengan Mas Bendu baru seumur jagung, kami baru mengikralkan janji suci dua bulan yang lalu. Aku terpaksa resign dari tempat kerja demi ikut dengan suami. Aku tak keberatan untuk hal itu karena memang sudah selayaknya seorang istri meninggalkan karir demi ikut dengan suami.

Percuma juga kalau aku kerja tetapi tidak ridhoi oleh Mas Bendu apalagi kami berjauhan. Aku awalnya tidak mempermasalahkan jika harus menetap di rumah mertua, karena memang gaji Mas Bendu belum cukup untuk membayar kontrakan.

Namun, hari demi hari, ada rasa jengah melintas di pikiranku.

***

"Bang, beli ayamnya setengah ya!" pintaku pada Bang Mamang penjual keliling yang menjual segala perintilan yang berbau dengan tetek-bengek perdapuran. Dia biasa mangkal diujung gang sampai pukul sebelas siang. Selepas itu dia keliling komplek jika masih ada stok lauk-pauk atau lainnya yang tersisa.

"Neng Lio, kok sendiri saja. Mana Bu Maria?" tanya Bu Inaya tetangga samping rumah sambil memilih sayur.

"Di rumah Bu." Aku hanya menjawab singkat.

"Neng, kamu kalau di rumah mertua jangan malas-malas atu. Kudu rajin bantuin mertua, 'kan kasian Bu Maria riweh sendiri ngurusin rumah," ucapnya tiba-tiba. Aku melirik ibu itu, tampak ibu di sebelahnya lagi menyikut Bu Inaya.

"Bu Inaya. Uuussshhh," kode Bu Merlin yang sedang memilih perbumbuan, dia tetangga depan rumah mertuaku.

Aku hanya tersenyum tipis merespon perkataan Bu Inaya karena sebenarnya aku tidak paham apa maksud dibalik perkataannya itu.

"Bang, jadi berapa total belanjaanku?" tanyaku.

"Totalnya jadi 35rb Neng. Ayam lagi mahal, sekarang 25ribu setengahnya."

"Ini Bang." Aku menyodorkan uang pas 35rb pada Bang Mamang.

"Bu Inaya, Bu Merlin aku duluan ya."

"Iya, Liodra."

Hanya Bu Merlin yang merespon sedangkan Bu Inaya acuh tak acuh saja, aku tidak mengerti dengan tetangga yang satu itu. Selama dua bulan tinggal dengan mertua, aku memang bisa dikatakan tidak pernah berkumpul dengan tetangga, selain umurnya jauh di atasku, aku juga tidak punya energi untuk sekedar mengobrol karena sudah capek duluan mengurus urusan rumah.

Setelah selesai membeli ayam dan perbumbuan untuk ayam kecap, aku meneruskan langkah menuju tempat Kang Soleh-pedagang bubur ayam yang tempat jualannya tidak jauh dari tempat mangkal Bang Mamang.

"Kang, bubur ayamnya satu bungkus ya."

"Iya, Neng." Dengan sigap dia pun membungkus pesananku.

🌟🌟🌟

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab ibu mertua yang tengah duduk memainkan gadgetnya di ruang tamu.

"Ni, Nini," panggilku sambil mengetuk pintu kamar Nini.

"Kamu beli apa aja, Lio?" tanya mertua.

"Beli ayam bu sama bumbu ayam kecapnya. Terus ini beli bubur ayam juga titipannya Nini," ujarku.

"Mana kak, bubur ayam ku?" tagihnya yang baru saja membuka pintu kamar.

Aku menyodorkan plastik yang berisikan bubur ayam pesanan Nini. Dia merampas agak kasar dari tanganku tanpa ucapan terima kasih malah melenggangkan makanan itu ke dapur.

Aku hanya menelan ludah melihat tingkah adik ipar yang satu itu. Memang sejak pertama kali bertemu, dia selalu berlaku tidak sopan padaku. Entah kenapa aku pun tidak tahu.

"Berapa bungkus kamu beli bubur ayamnya? Buat ibu mana?" tanya mertua ku lagi.

"Cuma satu bungkus, Bu. Aku pikir ibu tadi jadi sarapannya."

"Ih kamu gimana sih jadi menantu nggak ada peka-pekanya. Kalau mau beliin itu, jangan satu saja," cerocosnya ketus.

"Iya, Bu. Maafin Liodra ya. Besok-besok aku lebihin belinya ya buat Ibu juga."

"Besok-besok katamu? Ibu maunya sekarang Liodra, gih beli lagi bubur ayamnya!" perintahnya dengan memperlihatkan wajah masam padaku.

"Baik, Bu."

Ku letakkan belanjaan tadi ke dapur, lalu pergi membeli bubur ayam untuk mertua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status