Share

Bab 4. Fitnah Mematikan

Tak lama terdengar deru sepeda motor, mungkin Mas Bendu mau berangkat kerja, "Maaf Mas, hari ini aku tidak melepas kamu pergi kerja. Selamatkan suamiku dalam perjalanan Yaa Allah." bisikku dalam hati.

Aku tak menyangka dapat mertua dan ipar jahat untuk kedua kalinya. Cukup rasanya aku ditindas ketika pernikahanku yang pertama. Cukup juga sebulan lebih aku menerima sindiran, umpatan, dan sergahan dari mertua. Belum lagi ipar tidak tahu diri, dia harusnya lebih giat mencari kerja, bukan lenyeh-lenyeh seperti anak bayi di rumah.

"Yaa Rabb kuatkan hatiku untuk menghadapi mereka. Beri aku kesabaran yang lebih banyak dan jauhkan aku dari fitnah mematikan. Lindungilah keluarga kecilku yang baru seumur jagung ini Yaa Allah."

"Lio, Liodra, buka pintunya. Kamu jadi menantu tahu diri dikit. Ini rumah ibu saya bukan kamu. Ingat kamu hanya numpang di sini." pintu kamarku digedor tanpa jeda bahkan bunyinya sangat kuat, kalau bukan karena segan enggan sekali aku meresponnya.

Liodra? Kamu? Nini berani memanggilku selancang itu? Dasar anak bau kencur.

"Ada apalagi sih, Ni. Kamu bisa sopan nggak sama aku. Bagaimanapun aku lebih tua dari kamu." serangku ketika pintu sudah kubuka.

"Lancang kamu, ya. Ingat ini rumah saya, kamu cuma numpang di sini. Dasar mantan janda tidak tahu diri. Persetan dengan umurmu yang tua itu. Udah tua, pernah janda lagi." tangannya melipat di depan perut ditambah ujung bibirnya yang menyungging. Kalau tidak menghargai Mas Bendu, sudah ku mutilasi nih anak. 

"Cukup ya, Ni. Aku sudah berusaha menahan hati untuk tetap menghormati kamu sebagai adik iparku. Tapi kalau kamu terus-terusan seperti ini, aku juga tidak akan tinggal diam. Terus kalau aku mantan janda, memangnya ada masalah dengan kamu" tantangku.

"Iya, sejak kamu masuk di keluarga ini saja sudah menjadi suatu bencana besar bagi kami. Hohoho, berani kamu ya sekarang nantangin saya. Lihat saja akan saya adukan pada Mas Bendu. Kita lihat saja siapa yang akan dipercaya oleh Mas Bendu, aku dan ibu atau kamu istri yang pernah menjadi janda." 

"Silakan saja. Aku terima tantangan kamu, kita lihat siapa yang akan menang pada akhirnya." serangku dengan menghadiahkannya sebuah senyum tipis. 

Dia mendengkus kesal meninggalkan aku yang masih berdiri di pintu kamar. Lalu berlalu keluar dari rumah. Aku tidak tahu dia kemana dan juga tidak mau tahu.

Aku menjorokan kepala sedikit keluar menyisir seluruh ruangan. Tidak tampak batang hidung ibu, mungkin dia di kamar atau sedang kelayapan seperti rutinitasnya.

Di depan kamar ada ruang tengah yang biasa kami jadikan tempat makan. Kamar Nini paling depan sejajar dengan ruang tamu. Sedangkan kamar ibu sejajar dengan dapur tetapi pintunya mengarah ke ruang tengah. Minimalis saja tidak terlalu kecil dan juga tidak terlalu besar.

Ku henyakkan pantat di bibir ranjang, bulir bening jatuh perlahan membasahi pipiku. Memang ada yang salah dengan status janda yang pernah ku sandang? Tidak ada satupun wanita yang ingin gagal dalam pernikahan.

Ku ambil gawai di dalam tas, bermaksud untuk mencari informasi lowongan kerja lewat instegriem. Mana tauan ada posisi yang cocok dengan ku. Semoga langkahku mendapatkan pekerjaan di ridhoi Allah. 

Bukan bermaksud niat membalas pada mereka yang menzolimiku. Aku hanya ingin 'bercanda cantik' dengan ibu dan Nini. Lihat saja, waktu yang akan membuktikan bahwa Nini dan ibu akan bertekuk lutut di hadapanku.

🌟🌟🌟

Sepeda motor Mas Bendu menderu di halaman rumah, aku tentu sudah hafal.

"Assalamualaikum." sahut Mas Bendu, "Waalaikumsalam." akupun membalas salam suamiku, berjalan menjemputnya ke pintu depan.

Belum sempat aku meraih tangannya, dia sudah menyentakan kasar memberi kode jika Mas Bendu tak sudi ku sentuh. Dia melangkah cepat masuk ke dalam kamar. Ibu dan Nini yang sedang nonton pun dia lengahi.

Ku tutup pintu depan lalu menyusul Mas Bendu ke kamar, "Rasain lu, Lio. Hahahha." terdengar kikikan Nini. Feeling ku berkata lain, ada sesuatu yang dia lakukan.

"Mas, yuk kita makan dulu." ajakku. Tak ada jawaban apapun yang keluar dari mulutnya. Padahal aku tahu dia sedang berpura-pura tidur.

Lama aku menunggu sambil duduk di bibir ranjang, tak juga ada sahutan apapun. Kuputuskan untuk tidur, sengaja ku miringkan tubuh ini supaya bisa berhadap-hadapan dengan Mas Bendu, rupanya dengan sigap dia memutar posisi tidurnya yang kini memunggungiku.

Ada dua kemungkinan yang membuat dia semakin marah padaku. Ah sudahlah, besok saja ku pikirkan masalah ini. Aku juga butuh istirahat supaya lebih kuat hati menghadapi dua lucknut di rumah ini.

🌟🌟🌟

Suara alarm bersahutan membangunkan aku dari tidur. Kubuka mata perlahan, sontak aku terbelalak melihat Mas Bendu sudah sholat duluan, tanpa membangunkan ku untuk melaksanakan sholat berjamaah seperti rutinitas yang biasa kami lakukan.

"Semarah itukah kamu padaku, Mas. Tidaklah terbuka matamu untuk melihat siapa yang tersakiti oleh kejadian kemarin." keluhku dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status