Share

Madu Pilihan Untuk Suamiku
Madu Pilihan Untuk Suamiku
Penulis: Bukan superstar

Pernikahan kedua

"Sah!"

Sebuah kalimat pendek berdengung di telinga Lidia Safitri. Hari ini adalah hari dimana suaminya menikah lagi dengan seorang wanita muda yang di pilihnya sendiri.

Pernikahan sederhana di gelar di kediaman suami yang di hadiri keluarga dekat serta para tetangga.

Wanita berhijab itu tersenyum getir, menyaksikan sang suami---Bastian Prayoga menyalami satu-persatu sanak saudaranya yang tengah memberi ucapan selamat atas pernikahan keduanya. Sementara Alice--madu mudanya sedari tadi hanya menundukkan kepala kala mendengar pujian dari keluarga mertuanya.

Fitri meraup udara sebanyak-banyaknya. Dadanya bergemuruh hebat sekarang ini, seakan ada yang menghimpit Paru-parunya. Sesak, itulah yang dia rasakan saat ini.

Wanita itu tertunduk lemas sambil meremaa gamis putihnya, menetralkan perasaan cemburnya yang kini bersarang.

Entah dorongan dari mana, ia mengangkat wajahnya lagi. Dan tanpa sengaja matanya bertubrukan lansung dengan mata sang suami.

Tatapannya penuh damba pada Bastian  namun, sang suami malah mengalihkan pandangannya.

"Maafkan aku Mas, ini yang terbaik untuk kita, aku yakin kamu pasti bahagia bersama Alice,"

Jarak tiga meter dari Fitri, Bastian menahan diri untuk tidak berlari ke arah istri pertamanya itu. Tadi ia sempat melihat Fitri memandangnya dengan tatapan yang tak bisa ia artikan sama sekali.

Semenjak kejadian tiga bulan silam, Bastian terlanjur kecewa terhadap keputusan Fitri yang memintanya menikah lagi. Kala itu Bastian menolak dengan tegas permintaan Fitri. Namun akhirnya Bastian pun terpaksa mengiyakan setelah di bujuk rayu Fitri dengan menerangkan dalil-dalil yang ada di dalam kitab suci agama mereka, yang memperbolehkan suami menikah lagi.

Sungguh, Bastian tidak mengerti, mengapa wanita yang sudah lama mengrungi mahligai rumah tangga bersamanya, malah memintanya menikah lagi.

Apakah tak ada lagi cinta di hati istri pertamanya? Pernah Bastian bertanya apa alasan Fitri memintanya menikah lagi dengan wanita lain. Namun Fitri diam seribu bahasa.

Sempat terbesit di benak Bastian, jika bunda dan kakak kandungnya yang memaksa Fitri melakukan hal itu  akan tetapi Fitri mengatakan secara gamblang bahawa mertua dan kakak iparnya itu selalu baik padanya.

Bastian kembali menerka-nerka, apa sebenarnya yang membuat Fitri memintanya menikah lagi. Namun semakin di pikirkannya semakin membuatnya menggila. Tak mungkin juga karna mereka belum memiliki anak sampai saat ini.

Memang benar, selama belasan tahun hidup bersama, ia dan Fitri  belum juga di karunia anak. Tapi Bastian tak pernah mempersalahkan itu, karna baginya menikah bukan hanya soal anak. Memiliki keturunan adalah rizki yang di berikan Tuhan, lalu jika Tuhan belum memberika  rizkinya kita bisa apa. Begitulah kata-kata yang sering diucapkan Bastian untuk menenangkan hati istrinya.

Selama ini Bastian dan Fitri juga sudah berikhtiar berbagai cara. Tapi sampai sekarang, Tuhan memang belum menitipkan juga anak pada mereka. Dia juga sudah menjelaskan pada Bunda dan kakaknya bahwa mereka tetap bahagia dengan kehidupan mereka sekarang ini.

"Selamat Bas, istri mudamu sangatlah cantik, tak kalah cantiknya dengan Fitri,"

"Iya, benar itu, kalian terlihat sangat serasi. Bas, dimana kamu menemukan bidadari ini?"

Enggan menanggapi, Bastian hanya tersenyum gamblang, sebisa mungkin memberikan senyum terbaiknya pada tamu undangan yang hadir di rumahnya saat ini.

"Bas, ajaklah istrimu bicara, lihatlah dari tadi asyik diam saja," Rita--kakak kandung Bastian, menyenggol lengan adiknya. Wanita yang sudah memasuki usia kepala empat itu melototi sang adik.

Bastian mengangguk pelan, melirik Alice yang masih menunduk malu.

"Hmm,"

Tak ada sahutan dari wanita yang masih menunduk itu.

Bastian menghela nafas, menggeram kesal melihat sang kakak kembali melototinya.

"Alice," panggil Bastian sambil memegang punggung tangan Alice.

Alice tersentak, kala tangan pria yang sudah menyandang status sebagai suaminya itu menyentuh kulitnya, reflek wanita itu menegakkan kepalanya.

"I-iya," sahutnya gugup.

Bastian mendekatkan bibir ke telinga Alice. "Tegakkan kepalamu dan tersenyumlah, jangan sampai keluargamu salah paham,"

Alice tak lansung menjawab, dirinya bagai terhipnotis dengan aroma  tubuh suaminya. Sebuah aroma wangi menguar seketika dari tubuh Bastian, membuat wanita itu mabuk kepayang.

"Apa kau bisa mendengarku?" Bastian mengulang perkataan, lalu menatap lansung kedua mata Alice.

Alice tersadar, bak anak polos lansung mengambil tangan Bastian dan menyalaminya dengan takzim. "Iya, iya, Mas,"

Sontak, gelagat wanita muda yang berumur dua puluh empat tahun itu membuat orang-orang yang kebetulan mendengarnya tertawa.

Kecuali Fitri yang masih tidak bergeming sambil meremas kuat gamis yang di gunakannya.

"Ya ampun, lucu sekali kamu Alice, sebentar lagi Bunda akan mendapatkan seorang cucu dari menantu muda Bunda ini, tidak seperti wanita itu," Rita meruncingkan bibir menunjuk Fitri sambil tertawa.

Sementara Bunda Ira---Ibunda Bastian yang mendengar itu hanya menghembuskan nafas pelan, melihat Fitri yang tengah memegang dadanya saat ini.

"Fitri, lebih baik kau pergi ke dapur saja sekarang, bantu bibi membuat minuman, lihat itu teko-teko sudah pada kosong semua," ucap bunda Ira setengah berbisik.

Fitri menyeka bulir bening di sudut matanya yang hampir jatuh, kemudian  menoleh pada mertuanya.

"Bunda, aku kecapekan, bolehkah jika Mbak Rita saja yang menggantikan,"

"Eh, gak mau lah! Kamu pikir aku babumu?" dengus Rita menekan ucapannya, agar tak di dengar sang adik yang sedang berbicara dengan Alice.

Fitri memejamkan matanya sesaat, kemudian tanpa berkata apa-apa melenggang pergi dari ruangan yang sejak tadi membuat dadanya sesak.

Sesampainya di dapur, Fitri lansung mendekati bik Mar. "Bik, ada yang bisa Fitri bantu gak?"

Wanita yang sudah lama bekerja bersama dengan keluarga terpandang di desa ini, terkejut melihat keberadaan Fitri di dapur. "Jangan Non, biar bibik saja, Non sebaiknya istrahat saja," ucap bik Mar, mengambil alih sendok yang tengah di pegang Fitri.

Fitri mengulas senyum tipis, ketika melihat sorot mata bik Mar, yang selalu mengingatkannya pada mendiang ibunya.

"Bik, minuman di depan sudah habis, Fitri bantu membuatkan ya," kata Fitri sopan lalu menyambar spatula dari tangan bik Mar.

Bik Mar menghela nafas. "Tapi Non-"

"Sudahlah Bik, ayo, kita harus bergerak cepat agar para tamu undangan tidak kehausan," Fitri mengulas senyum sambil mengambil gula di dalam toples.

.

.

.

.

Sementara itu di ruang depan, Bastian mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Fitri yang kini tidak ia temukan.

"Mas, cari siapa?" tanya Alice.

"Em, gak cari siapa-siapa, aku mau ke toilet sebentar, kamu tunggu di sini saja," Tanpa mendengar jawaban Alice, Bastian segera melangkah meninggalkannya.

Alice hendak mengejar Bastian, namun Rita menahan tangannya.

"Alice, aku bersyukur ternyata wanita pilihan adikku begitu cantik sekali, aku harap kita bisa berteman baik ya, Alice," ucap Rita dengan kelembutan.

"Iya, Mbak, aku mau kedalam sebentar,"  pungkas Alice.

Rita mengangguk pelan.

"Baik sekali Mbak Rita, Mbak Fitri benar-benar beruntung memiliki Suami, Kakak Ipar serta Mertua yang baik seperti mereka," batin Alice.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status