Share

Chapter 4 : Langkah Pertama

“Jadi mau kugendong atau berjalan sendiri?”

Pertanyaan itu diutarakan oleh Radka kepada sosok Jean yang masih beringsut dengan tangan yang disibuk menengadah ke arah anak kucing yang ditatap nya dengan penuh sayang.

Ya, sebuah sosok sang nona yang tidak pernah Radka duga.

“Kenapa aku harus digendong oleh orang sepertimu?!”

“Lalu kau mau digendong oleh siapa untuk turun?”

“Kau pikir aku tidak bisa berjalan sendiri?”

“Coba lihat!” tantang Radka.

Jean lantas mencoba bangkit usai menaruh Micky di sampingnya. Dia menggigit rapat bibirnya begitu merasakan ngilu yang belum kikis di kakinya. Dia tapi berusaha sekuat mungkin untuk berdiri agar tidak terlihat lemah di hadapan pengawalnya.

“Lihat!” kata Jean ketika gadis telah berdiri tegak.

“Coba jalan!”

Jean lantas melangkahkan kaki-nya namun baru sekali dia melangkah dia seketika roboh ke dalam tangkupan sang pengawal.

“Lihat, ‘kan?” kata Radka. “Akibat dari tingkah gegabahmu.”

“Lepasin!”

“Duduk dulu!” pinta Radka membawa tubuh Jean untuk kembali beringsut ke atas lantai. “Selonjorin kaki.”

Jean menurut ketika Radka menarik kakinya. Dia tidak membantah atau memberontak seperti biasanya gadis itu. Dia hanya mempersilahkan Radka untuk membenarkan kakinya yang keseleo.

“Tahan.”

Radka melirik sejenak ke arah raut muka sang nona. Dia tertawa sangat tipis bahkan hampir tidak terlihat begitu melihat wajah mengernyit dan terpejam Jean. Kemudian tak lama wajah itu meledak dalam teriakan yang cukup keras begitu Radka memutar pergelangan kaki gadis itu.

“Sakit, Brengsek!” teriak Jean kemudian.

“Salah siapa?”

“Kau!”

“Jika Nona tidak pergi dari ruang guru seperti tadi pasti Nona tidak akan terluka lho.”

“Itu juga gara-gara kau.”

“Memangnya saya kenapa?” tanya Radka dengan lembut. Perubahan suaranya jelas berubah sejak beberapa menit yang lalu. “Saya cuma diam enggak merespon kerlingannya wali kelas Nona tapi Nona malah yang tiba-tiba nyeruduk kaya banteng.”

Mata Jean melebar mendengarnya. “Ya itu tetap salah kamu!”

“Kenapa kok saya semua?”

“Karena kamu nyebelin bin ngeselin. Sejak lihat kamu enggak ada hal baik yang aku alami. Kamu itu pembawa sial!”

***

Kemarau tahun ini tidak bertindak dengan semestinya. Panas dan kering yang khas dimiliki mengukir kebalikan dengan menciptakan kebasahan pada bumi dan isinya.  Padahal satu jam yang lalu panas masih menyandera setiap insan namun sekarang langit telah lengkap menggelap dalam wujud yang hendak menunjukkan kuasanya.

Radka masih berdiri seorang diri di depan gerbang. Sejak tiga puluh menit yang lalu dia telah melihat kebanyakan murid sekolah ini telah meninggalkan sekolah dengan sedikit terburu-buru.

Tanpa basa-basi lagi, dia segera membawa dirinya untuk masuk ke dalam sekolah. Berjalan dengan langkah yang panjang agar segera bisa menemukan sosok yang dia tunggu. Tangan kanannya telah menggenggam sebuah payung untuk berjaga-jaga atas kemungkinan hujan yang siap jatuh.

Di sepanjang lorong sekolah itu, dia bisa melihat jika sekolah itu telah sepi tanpa murid-murid lain ataupun guru-guru yang masih sibuk dengan urusannya. Sekolah itu sungguh telah kosong dengan pintu ruang kelas yang terkunci rapat.

Akan tetapi, dia menghentikan langkahnya sejenak begitu maniknya menangkap sosok yang baru saja keluar dari dalam kelas yang dia kenali.

Sosok di sana sejenak tampak terkejut kemudian bergerak seperti biasanya gadis itu dengan tangan yang dilipat ke depan, pandangannya tak bergeming dan raut wajahnya sangat tenang. Bahkan langkah yang dibawa untuk berjalan ke arahnya, hanya menandakan keanggunan dan ketenangan yang tidak terkikis oleh semerbak angin yang menghuyung.

“Kau belum bertemu dengan Nona-mu?”

“Belum.”

“Dia tidak ada di kelas sejak pelajaran terakhir.”

“Baiklah.”

Hanya saja bagi siapapun yang tengah ditatap seperti itu oleh orang lain tentu akan merasa tidak nyaman. Pandangannya yang hanya lurus dan terkunci ke arah dirinya tanpa ada satupun pucuk kedip yang menyeka di antaranya. Padahal jika diingat mereka bahkan belum saling memperkenalkan nama masing-masing.

“Kau bisa mencarinya di atap.”

“Saya tahu.”

Gadis yang sejatinya begitu tenang itu tampak terganggu. Sentakan maniknya sedikit membola dengan menampilkan kilat tidak terima.

“Aku Rena,” kata gadis itu dengan tiba-tiba. “Kalau begitu sampai jumpa lagi.”

“Nona!” panggil Radka begitu gadis bernama Rena itu hendak berlalu. Tangan kanannya kemudian menjulur ke depan membawa sebuah payung yang sejak tadi menjadi pusat cengkeramannya untuk diberikan kepada gadis itu. “Hujan akan turun. Kau bisa memakainya.”

“Lalu Nona-mu?”

“Tenang saja.”

“Kalau begitu terima kasih,” ucap Rena sembari tersenyum menatap ke arah Radka. “Aku senang setiap kali dia kehilangan sesuatu.”

Pandangan Radka masih tidak runtuh untuk menyajuk fokus ke arah lentera pijar milik sosok di hadapannya.

Buah jatuh tidak pernah jauh dari pohonnya.

Istilah itu sekali lagi membenarkan nilainya. Semakin lama diamati, Radka semakin menemukan hal yang sama persis atas sebuah fakta bahwa gadis di hadapannya ini memanglah sang anak bungsu dari sosok yang begitu dia kenal.

“Bagaimana kabar ayahmu?”

Pijar wajah Rena seketika meredup. Sudut wajahnya mendadak jatuh dalam kebingungan yang menyingkap dirinya.

“Kau mengenal ayahku?” tanya Rena dengan ragu.

Sudut bibir Radka terangkat menampilkan butir senyum yang menyiratkan sebuah makna.

“Tentu,” jawab Radka masih tersenyum. “Siapa di negeri ini yang tidak mengenal ayahmu.”

Rena semakin memperdalam tatapannya ke arah Radka. Satu langkah yang semula memperlebar jarak, kini diambil kembali olehnya untuk mendekat ke arah Radka. Maniknya masih berusaha memperdalam sela. Memperdalam jawaban atas dugaan yang selalu bersinambung tiap kali dia mendapati kalimat serupa tadi.

“Siapa yang lebih terkenal,” kata Rena menggantung. “Ayahku atau tuanmu?”

“Bukankah mereka berada dalam bidang yang berbeda?” balas Radka turut mempertajam pandangannya. “Menilai popularitas dari society juga tidak berguna.”

“Tapi jika harus mempertimbangkan nilai dari society,” tambah Radka melanjutkan. “Katanya jika satu adalah orang yang asli baik dan tulus maka sisanya hanyalah orang berambisius untuk menjadi seperti orang lain.”

“Jadi bagimu, Paman Ferdi lebih baik daripada ayahku?”

Sudut bibir Radka kembali terangkat. “Saya hanya sedang meminta masukanmu sebab kau mengenal dekat keduanya.”

“Bagaimana?” tambah Radka. Bibirnya masih mengukir senyum. “Siapa yang menurutmu lebih baik? Ayahmu atau pamanmu?”

Rena diam sejenak. Gadis itu tampak berpikir.

“Apa kau akan memilih melindungiku daripada Jean jika aku berkata ayahku lebih baik dan manusiawi daripada pamanku?”

Ya … benar-benar langkah pertama yang sempurna untuk memastikan diri menjalin hubungan akrab dengan anak kedua pria itu.

“Itu pilihan yang sangat mudah.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status