Share

Chapter 2 : Anak-anak Amar

“Kau menantangku, hah?!”

Pekikan itu semakin keras diutarakan oleh Jean begitu gadis itu turun dari mobil. Bahkan pandangan maniknya yang mencuras naik menghadap ke arah sosok yang menjulang tinggi di hadapannya menunjukkan dengan benar bulir amarah dan kekesalannya.

“Tidak, Nona.”

“Lalu apa maksudmu tadi?”

“Hanya sedikit saran, agar kita bisa bekerja sama dengan baik.”

“Kau pikir aku mau bekerja sama denganmu?”

“Tidak mau juga tidak masalah,” jawab Radka dengan enteng. “Kita bisa lihat siapa yang lebih pandai bertahan.”

Radka lantas membawa dirinya berbalik dari hadapan sang nona untuk melangkah masuk ke dalam sekolah gadis itu. Akan tetapi ketika maniknya menangkap sebuah plat mobil yang baru saja masuk, dia tak bisa mengontrol dirinya untuk tidak berhenti melangkah mengamati meskipun jarak di antara titik bekunya dengan mobil di sana cukup jauh.

“Hei! Pengawal Bodoh!” Jean kembali meneriaki Radka.

Belum sempat Radka menoleh tetapi dia telah merasakan sebuah pukulan berat di punggungnya. Meskipun tak keras atau menyakitkan, tetapi pukulan yang dihasilkan dari tas ransel berwarna cinereous; sebuah warna perpaduan dari abu-abu dengan coklat tembaga, cukup membuatnya terkejut.

Hanya saja, seakan karma adalah dewa pembalasan yang paling adil, di saat rasa kejut itu belum usai dirasakan oleh Radka terdengar teriakan yang lebih kencang dari Jean bersama dengan suara berdecit yang memekik kencang.

“Kau hampir membunuhku, Brengsek!”

Jean kembali berteriak namun kali ini bukan lagi kepada sosok Radka yang telah berbalik untuk melihat ke arah di belakangnya. Gadis itu meneriaki ke arah sosok pengendara sepeda motor yang tak jauh dari posisinya. Tampilan Jean tampak semakin kacau sebab rambut yang tergulir ke depan dengan raut wajah yang semakin mencengkam amarah.

“Kau yang tiba-tiba mundur,” sosok anak laki-laki di sana membela diri.

“Jalanan luas, kau tidak bisa membuat jarak?” balas Jean masih berapi.

“Aku sudah membuat jarak tapi kau tiba-tiba mundur,” kata anak laki-laki masih membela diri.

“Lalu haruskah ku congkel matamu supaya kau tidak bisa melihat orang lain bergerak?”

Anak laki-laki di sana tampak tertegun melihat bagaimana raut wajah Jean yang sangat amat persis dengan karakter psikopat di film-film. Apalagi ditambah tangan yang diangkat ke atas dengan gigi yang berkat up satu sama lain membuat kesan merinding bagi siapapun yang menjadi lawan bicaranya.

“Ada apa ini?” timpal Radka menghampiri sang nona.

“Dia hampir menabrak-ku!” rajuk Jean kepada Radka.

“Saya tidak sengaja, Pak,” jawab anak muda itu terbata. Jelas intonasi suaranya menandakan corak ketakutan. “Saya hanya berjalan begitu saja tiba-tiba Kak Jean mundur.”

“Kau bisa menghindariku, Brengsek!” Jean menarik kerah pakaian anak laki-laki itu.

“Non,” panggil Radka dengan lembut. Tangannya berusaha menggapai tangan Jean untuk melepaskan tautan dengan anak laki-laki itu. “Sudah ya.”

Jean terpaksa melepas cengkeramnya sebab tangan Radka yang menyentuh punggung tangannya tampak menarik tangan putihnya dari kerah anak laki-laki itu.

“Sudah tidak apa, kau boleh pergi,” kata Radka kepada anak laki-laki itu.

Tanpa menjeda lama bahkan ketika Jean belum bisa memproses kejadian di sana, anak laki-laki itu segera berlari dengan buru-buru menuju ke arah motornya.

“He!!! Berhenti kau!” teriak Jean masih belum bisa melepas kepergian anak laki-laki itu namun dengan cepat tangannya dicengkal oleh Radka.

“Sudah, Non,” tahan Radka, menarik tangan gadis itu.

“Ini semua gara-gara kau!” bentak Jean kembali menghadap ke arah Radka. “Kau sudah gagal menjagaku.”

Radka menghela napas panjang dalam batinnya. Dia dihujani oleh rasa jengah yang sejenak mampir pada relungnya namun tak ada bait yang dia perlihatkan secara nyata pada raut wajahnya yang begitu tenang.

“Kau tahu ‘kan pekerjaanmu adalah memastikan aku aman? Tapi kau malah meninggalkanku begitu saja? Kau sama sekali tidak becus! Aku akan melaporkan pada papa.”

Ya, mau bagaimanapun juga kali ini ada Radka yang memang harus disalahkan. Seandainya saja dia tidak meninggalkan gadis itu mungkin amarah Jean tidak akan meletup sampai membuat gadis itu hampir tertabrak sepeda motor. Meskipun sebenarnya, akalnya terus menjawab itu karena sang nona yang bertingkah menyebalkan jadi dia meninggalkan gadis itu.

Yang dewasa yang seharusnya mengalah jika berhubungan dengan anak remaja seperti ini. Hal itu membuat Radka menghela napas sangat lirih.

“Jean!” Sebuah suara tiba-tiba menginterupsi amarah gadis itu. “Apa yang sedang terjadi?” lanjutnya bertanya dengan penuh perhatian.

“Kak Ben!” Jean memanggil ke arah sosok pria muda dengan setelan jas lengkap. Suaranya berubah menjadi lebih feminim tanpa adanya intonasi yang menggebu.

“Kamu enggak apa-apa?” tanya pria bernama Ben itu.

“Aku hampir ketabrak,” akunya masih dengan begitu anggun khas anak remaja yang tengah bertemu pria yang dia sukai. Bahkan Jean juga membulatkan bibirnya ketika berbicara. “Kak Ben bilangin ke pengawal bodoh ini, kalau dia udah buat kesalahan besar karena enggak lindungin aku.”

Mata Ben kemudian beralih menatap ke arah Radka. Tinggi mereka yang hampir sepadan membuat manik keduanya bertemu pada garis lurus yang tak bergelombang ataupun menanjak.

“Kamu ini,” mulai Ben berbicara kepada Radka. Wajahnya tampak serius ketika berbicara kepada Radka. “Satu-satunya yang harus dilakukan sebagai pengawal Jean adalah memastikan dia selamat dan aman. Jika kamu membuat satu aja rambut dia rontok kamu berurusan dengan saya!”

“Denger dan ingat itu!” sambung Jean mendukung perkataan Ben. “Asal kamu tahu aja, Kak Ben ini udah punya sabuk hitam taekwondo. Jadi sekali aja kamu buat masalah sama dia, the end.”

Radka seharusnya tertawa mendengar kesombongan gadis labil itu tentang pria yang dia puja sebesar itu. Pasalnya membandingkan sabuk bela diri dengan dirinya adalah hal yang penuh dengan komedi. Hanya saja Radka tahu bahwa tidak ada gunanya dia menyombongkan diri seperti itu apalagi hanya untuk terlihat unggul. Lagipula segala fokusnya telah teralihkan kepada dua sosok yang tak asing yang tengah berdiri bersandingan itu.

“Kau juga harusnya sudah bisa mendapat sabuk hitam. Tendanganmu tadi pasti tepat sasaran jika tidak ada motor adik kelas.”

“Oi! Rena!” pekik Jean melahap intonasi ke arah sosok perempuan di samping Ben. “Jangan ikut campur.”

Gadis berseragam sama dengan Jean itu hanya melipat kedua tangan ke depan. Tak ada raut grusa-grusu, gadis itu benar-benar perbandingan terbalik dari sosok Jean yang begitu berantakan dan kasar.

“Sudah-sudah,” lerai Ben. “Lena buruan masuk ke kelas. Jean juga.”

Gadis berponi yang masih melipat tangannya ke depan itu segera berbalik tanpa mengatakan apapun lagi. Sementara Jean masih tampak menatap kesal ke arah Lena dengan tatapan sinis dan bibir yang melingkup kesal sebelum akhirnya berjalan mengikuti jejak Lena dengan langkah yang dihentak-hentakan.

Selepas kedua gadis itu pergi, hanya ada kedua pria di sana. Radka yang membekukan pandangan masih lurus ke arah Ben sementara Ben tampak dibuat tidak mengerti tentang makna yang coba dibagikan melalui mata yang tengah memandangnya.

Akan tetapi Ben menyadari bahwa mata itu, sosok pemiliknya, adalah tipikal orang yang pandai mendominasi.

“Jean memang sangat usil,” kata Ben memulai kembali sebab sedari tadi Radka tak bersuara apapun. Intonasi suaranya berubah ramah berbeda sekali dengan sebelumnya. “Aku bisa mewajarkannya sebab dia memang hanya gadis yang kurang kasih sayang.”

“Karena itu kelemahan dia adalah kita harus memperhatikannya dan mengikuti apa keinginannya,” sambung Ben masih berkata dengan suara ramah yang sama. “Jadi kuharap kau bisa memanfaatkan kelemahannya itu.”

“Tapi bukankah tidak baik memanfaatkan kelemahan orang lain demi keuntungan pribadi.”

“Bagiku dalam hidup, hal seperti itu adalah hal yang sekali terjadi seumur hidupmu. Jadi ya, tidak apa untuk memanfaatkan kelemahan orang lain. Lagipula orang tersebut tidak akan rugi juga.”

“Persis.”

“Ya?”

“Aku pernah mendengar prinsip hidup seperti itu juga di tempat lain.”

Ben tertawa sendiri. Sementara Radka masih mengait penuh ketajaman ke arah pelupuk manik di hadapannya.

“Baiklah-baiklah,” kata Ben kemudian. “Aku Ben. Kakak sepupu Jean. Senang bisa bertemu denganmu, Tuan…?”

“Radka.”

“Ya, Tuan Radka,” ulang Ben memastikan. “Kurasa kita akan sering bertemu ke depannya.”

“Mengapa?”

“Karena kau pengawal barunya Jean.”

“Lantas?”

“Kita pasti akan sering bertemu.”

Wajah Ben tersenyum. Senyum yang sejatinya begitu khas untuk menjadi hal yang mudah tumbuh dari fisik pria itu. Akan tetapi, serbuk yang diperlihatkan membawa Radka penasaran tentang sejauh apakah pria itu berusaha untuk mendapatkan makna dari kalimatnya.

Tentang apakah sejatinya yang ingin dilakukan oleh putra pertama dari orang yang dahulu begitu sangat Radka hormati. Kemanakah pria itu akan bermain untuk mengajak dirinya masuk. Hingga apa yang sejatinya dia rencanakan kepada gadis labil layaknya Jean.

Akan tetapi satu hal yang pasti bagi Radka tentang Ben, bahwa pria itu sebenernya sudah sering berhubungan langsung dengan para pengawal terdekat Jean terdahulu.

Apa karena ini Ferdi memperkerjakannya sebagai pengawal Jean? Karena Ferdi ingin membuat Radka dekat dengan targetnya? Atau semua ini hanya kebetulan belaka?

Jika jawaban terakhir yang menjadi jawabannya, maka pilihan terbaik adalah menerima permainan tersebut agar memastikan lawan tetap di dalam penglihatan.

“Baiklah, aku tunggu panggilanmu suatu hari nanti, Tuan Amar Syah.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status