Share

Chapter 3 : Kadar Emosi

“Jadi Papa-nya Jean tidak bisa datang?”

Perempuan dalam rentang usia akhir dua puluhannya itu tampak tenang di atas kursinya. Kakinya berjajar dalam kedap yang menuang binar dari secarik manik di balik kacamatanya.

“Kirim surat panggilan lagi saja, Bu,” celetuk Jean menimpali. “Beri p.s jika dia wajib datang sendiri.”

Hening. Bagai suara dalam senyap, tidak ada siapapun yang mendengar suaranya. Kedua orang dewasa di sana hanya meliriknya sejenak sebelum akhirnya kembali saling menatap satu sama lain dan untuk kali pertama Jean melihat bagaimana raut wajah sang wali kelas yang selalu ketus tiba-tiba berubah dengan gimmick yang sangat aneh memandangi Radka.

Ini sungguh menggelikan.

“Tidak apa, Mas, jika memang Papa-nya Jean tidak bisa datang.”

Manik mata Jean membola beserta mulutnya yang mengangah mendengar apa yang baru saja dia dengar bersinambungan dengan pipi merah malu-malu dari Bu Sulis.

Jean bersumpah. Bulan lalu ketika Pak David atau ketika sebelumnya pengawal pribadi yang bernama Alex itu datang bertemu dengannya, Bu Sulis tidak pernah memasang raut menggelikan seperti itu. Wanita itu hanya bertindak dingin dan tegas menyidak Jean dan walinya.

Akan tetapi kali ini … pancaran mata itu? Raut wajah yang malu-malu itu? Intonasi suara dan senyumannya?

Oh, ini lebih dari sekadar menggelikan.

“Dia bukan papa saya, kenapa dibilang cukup?” Jean membentak dengan tiba-tiba, kekesalan tidak bisa ditahan dirinya.

“Dia datang dengan amanah papa kamu, Jean. Jadi enggak apa.”

Bu Sulis berbicara dengan nada semanis dan selembut mungkin, bibirnya bahkan memaksakan senyum untuk hadir di akhir kalimat. Serta kakinya yang menempel satu sama lain dengan sisi telapak kaki yang dibuat condong ke belakang … wanita itu tidak pernah satu kalipun berbicara seperti itu kepada Jean selama ini.

Jean bersumpah ingin muntah.

“Gimana kalau saya bohong?”

“Maksud kamu?”

“Saya ‘kan bisa aja ajak orang lain buat ngaku-ngaku jadi wali saya jadi wakil papa.”

“Bisa jadi emang,” sepakat Bu Sulis. “Tapi saya yakin kalo itu emang kebenarannya kamu enggak mungkin mengaku seperti ini.”

“Kenapa enggak mungkin?” balas Jean masih menyentak. “Saya ‘kan bisa lakuin apa aja selama saya lagi kesal.”

“Jadi kamu lagi kesal sama ibu?”

“Ya iyalah!” sentak Jean sekali lagi. “Gimana enggak kesal kalo ibu genit banget sama dia.”

“Non Jean,” panggil Radka dengan pelan.

“APA?!”

Berbanding terbalik dengan untaian kata pelan dari Radka yang memanggil, Jean menyeru dengan pekikan yang meledak dengan wajah yang tajam menikam amarah.

“Dia guru kamu. Bicara yang baik!”

Jean tertawa. “Bilang aja kamu juga suka di genitin sama dia. Enggak usah sok pakai kasih nasihat.”

Radka membelalak sejenak. “Saya cu—”

“Bodoh amat!”

Radka dibuat tertegun ketika gadis itu tiba-tiba memotong ucapannya. Dia dibuat membelalak ketika gadis itu tiba-tiba bangkit dari kursinya dan pergi begitu saja dari hadapan dua orang dewasa yang baru pertama kali bertemu itu.

Jean terus melangkah pergi. Langkahnya dibuat semakin cepat menciptakan derat yang dihentak-hentakan. Mulutnya tak henti mendumal di sepanjang langkah. Menggerutu dengan bahasa astral yang seolah hanya dirinya sendiri yang paham tentang artinya. Keningnya tak henti mengkerut penuh dengan lipatan. Kekesalan semakin memuncakinya ketika menyadari tidak ada sosok yang mengejar dirinya.

“Pengawal brengsek!”

Bukan menuju ke dalam kelas, gadis itu malah menaiki tangga untuk menuju ke bagian paling tinggi dari sekolah. Dia harus melewati para murid yang sedang berada di lapangan tengah untuk pelajaran olahraga dan murid-murid yang sedang berada di laboratorium Sains. Bahkan saking kesalnya, dia yang biasa tidak tinggal diam ketika ada orang yang diam-diam menggunjing ketika dirinya lewat, hanya memilih untuk semakin mempercepat langkahnya menuju tempat sepi.

Begitu gadis itu tiba di atap sekolah, dia mengunci pintu penghubung dan saat pintu sudah pasti terkunci dia mulai melakukan aksinya. Meja didorong, kursi dilempar, benda-benda plastik bekas wadah-wadah ditendang dan dia meluapkan kekesalannya dengan seperti itu.

Dia yang tengah kesal dengan sebesar itu bahkan harus mengabaikan ketika anak kucing yang selalu dia beri makan di atap harus berlari terbirit-birit kabur akibat rasa takut sebab perbuatan Jean.

Lalu ketika pada kursi terakhir yang menjadi sasaran amukannya, dia tiba-tiba terjengkang dan jatuh tersungkur dengan menahan nyeri yang sejenak menjalar ke tubuhnya.

Dia menangis. Dia benci ketika orang-orang membuatnya kesal. Dia juga benci ketika dia merasa kesal atas sikap orang lain yang tidak peduli dengannya.

Apa seberlebihan itu?

Ya. Seperti itulah rasa berlebihan dari sebuah penyakit.

“Non Jean?!”

Dia mendengar sebuah suara masuk bersama dengan ketukan berulang yang bergantian dengan bunyi gagang pintu ditarik.

“Pergi!” balas Jean berteriak. “Aku enggak mau ngomong sama kamu.”

“Apa kabur dari masalah selalu jadi pilihan pertamamu?” tambah Radka kembali berkata.

Jean mengabaikan. Dia peduli dengan sikapnya? Dengan bagaimana orang lain memandang dirinya? Sungguh itu tidak sama sekali. Karena bagi Jean apapun hanyalah tentang adanya satu orang saja yang dia harapkan bisa membela dirinya.

Siapapun itu, Jean sungguh hanya ingin memiliki orang seperti itu.

“Buka pintunya! Jangan bertingkah kekanak-kanakan begini!” tambah Radka masih berusaha. “Urusanmu dengan gurumu belum selesai. Kita harus menemuinya.”

Akan tetapi, siapapun itu tidak pernah menjadi jawaban tepat dari pertanyaannya. Dia tidak pernah memiliki tempat selayak itu.

“Aku enggak peduli!” Jean kini membuka mulutnya. “Kau aja yang temui guru genit itu. Kenalan, tukeran nomor ponsel terus nge-date.”

Radka memejamkan matanya sejenak. Kepalanya tiba-tiba saja terasa begitu pening mendengar cemoohan dari gadis remaja yang begitu labil ini. Bahkan dari bagaimana intonasi suara dan bahasa yang berubah-ubah menandakan jelas tentang sumbu pendek yang dimiliki oleh amarah gadis itu.

“Coba tadi Nona diam saja enggak usah ikut bicara pasti masalahnya cepat selesai.”

“Jadi aku yang salah?” Jean sedikit meringis merasakan nyeri yang masuk membersamai kakinya.

“Nona memang salah, kok,” balas Radka tanpa takut.

“Berani sekali kamu nyalahin aku!” sentak Jean. “Aku ingetin sekali lagi, aku ini bos-mu!”

“Mana ada bos yang tingkahnya norak banget kaya Nona sekarang.”

“Aku udah sering banget denger kalimat gitu dan kamu pikir aku peduli?!”

“Harusnya Nona mulai peduli gimanapun juga semua orang tahu Nona ini anak siapa.”

“Dia aja enggak peduli anaknya gimana kenapa aku harus peduli soal dia?”

Radka kembali menghela napas dengan manik yang terpejam. Dia sungguh ingin mengelus dadanya dengan selembut dan sepelan mungkin agar kesabaran di dalam dirinya semakin membesar.

“Non, buka pintunya ya?”

“Micky!!!!!”

Hanya saja tidak ada jawaban yang terdengar dari dalam kecuali teriakan dari Jean yang begitu kencang memanggil sebuah nama yang tidak Radka mengerti.

“Non Jean?!” panggil Radka sekali lagi.

“Micky diam di situ!” teriak Jean masih memanggil nama Micky. Di akhir suaranya terdengar rintihan kesakitan sebab kaki yang masih dipenuhi rasa nyeri.

Tanpa menunggu apa-apa lagi, Radka segera mendobrak pintu di sana. Berulang kali dengan kekuatan ekstra yang dia miliki. Sekitar empat kali barulah dia berhasil membuka pintu itu dan dia dibuat tidak mengerti ketika mendapati sang nona masih meneriaki nama Micky sembari beringsut di lantai kotor.

“Apa yang terjadi?”

“Itu—”

Tangan Jean menunjuk ke arah atap pelana yang terletak di seberang rooftop tempat mereka berpijak sekarang. Di sana tampak seekor anak kucing sedang berusaha menahan dirinya agar tidak terjatuh dari ketinggian tiga lantai.

Tanpa menunggu aba-aba, Radka segera berjalan ke arah sana. Rooftop sekolah yang dibuat datar tanpa ada pembatas tinggi selain cetakan bangunan sepinggang yang mengitari. Begitu tubuhnya naik ke arah pagar sepinggang itu, dia lantas melompat tanpa takut ke arah atap pelana dari gedung yang berada menyilang dengan gedung ini.

Radka terus berjalan menyusuri atap pelana yang berbentuk miring itu. Tanpa ada sedikitpun rasa takut ataupun merinding. Dia berjalan di sana seolah bukan amatiran yang baru pertama melalui jalanan seperti itu. Lalu ketika tiba di dekat anak kucing tersebut, Radka segera menangkap Micky dengan sigap dan berjalan kembali dengan kedua tangan yang memeluk Micky.

“Awas—”

Jean berteriak lirih ketika melihat Radka sedikit tergelincir oleh genting yang bergeser. Kendati begitu, pria itu berhenti sejenak untuk membenahi genting tersebut sebelum kembali berjalan dengan kedua tangan yang memeluk kucing itu.

Berjalan penuh kepercayaan diri bak seorang model yang tengah memamerkan keindahan tubuh gagahnya di atas catwalk.

Lucunya, untuk pertama kali Jean merasa terpukau melihat seorang model yang tengah memperagakan busana musim terbaru seperti itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status