Share

TALAK

Abizar bergegas pergi Auditorium utama. Di mana Abahnya sering berada.  Beliau bisa seharian di sana jika ada kepentingan pondok yang harus di selsaikan.

                TOK!

                TOK!

“Assalamualaikum Bah!”

“Masuk Abizar.” Perintah Abah dari dalam.

Dua orang santri kemudian keluar dari rungan saat Abizar masuk. “Permisi Ustadz!”

                “Hmm…”

                “Ada apa Abizar? Tumben kamu ke sini?”

Abah sibuk melihat-lihat Map yang bertumpuk di meja. Semua laporan dari para ustadz-ustadzah di pondok. “Abah, Abizar punya permintaan.”

“Wajahmu serius amat. Bilang sama Abah kamu mintak apa?”

“Abah kenal santriwati bernama Afura.”

Tangan Abah langsung terhenti. “Oh, Ustadzah Afura?”

                “Iya Bah.”

Senyum tersungging di bibir Abah. Mengira bahwa putranya sudah mengingat  Afura. “Kenapa dengan Ustadzah Afura?”

                “Aku mau dia di keluarkan dari pondok.”

Abah langsung  berdiri dan mendobrak meja. “Jangan asal bicara kamu Abizar!”

                “Dia sudah nggak sopan Bah. Buka lemari Abizar dengan seenaknya.”

                “Dia salah satu Ustadzah terbaik di pondok ini. Abah nggak mungkin mengeluarkannya.” Abah mencoba menahan emosinya.

                “Ada apa dengan Abah dan Ummi. Kenapa semuanya membela gadis itu. Abah tidak tahu  apa yang di lakukannya di rumah. Dia memeluk baju Abizar. Jelas, dia bukan perempuan baik-baik.  Bisa jadi dia akan menggoda aku atau Salman.”

                “Jaga mulutmu Abizar. “ Abah seperti hendak menampar putranya. “Keluar dari ruangan Abah!”

Abizar terpaksa pergi dari ruangan Abah dengan wajah tersulut emosi. Dia harus melakukan cara agar santri kesayangan Abah tidak berkeliaran di rumahnya.

*** 

                Afura mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Pelan-pelan mengangkat ponsel dan hendak mengambil foto. Tapi matanya melebar saat pria yang tadi duduk di gazebo itu hilang entah ke mana.

                “Kemana dia?” Afura keluar dari tempat persembuyiannya. Melebarkan pandangannya untuk mencari sosok Ustadz Abizar. “Nggak ada.”

                “Kamu nyari saya?” tanya suara baritone dari arah belakang

Gadis itu diam sesaat, kemudian membalikan badan. “Assalamualaikum Ustadz! Sejak kapan  Ustadz di sini?”

                “Kenapa, kaget karena saya tiba-tiba s di sini?”

                “Bukan  gitu Ustadz… Kalau gitu saya pergi dulu.”

                “Jangan pergi dulu!” Perintah Abizar membuat gadis Afura mengigit bibir.

Abizar mengambil ponsel Afura, dan mendapati foto dirinya. Membuat pria itu naik pitam. “Kali ini tidak kumaafkan.”

*** 

                Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Abizar. Membuat putra Abah Rifai dan Ummi Ima itu terkejut bukan main sambil memegang pipinya yang memerah. “Umi!” Setelah di tampar Abah sekarang dia menerima tamparan dari Umi.

                “Jika kamu ingin mengusir Afura dari pondok. Langkahi dulu mayat Umi!”

                “Umi paham nggak, dia udah kurang ngajar membuka lemari Abizar dan sekarang mengambil foto Abizar” Abizar memberi pernyataan yang tegas pada Uminya. Menahan pipinya yang memanas.

                “Emang kenapa kalau dia ngambil foto kamu?” tanya Umi dengan menantang.

                “Umi…” terlihat mata dan rahang Abizar mengeras.

                Afura langsung memeng tangan Umi. “Jangan Umi”

                “Kau tahu siapa gadis yang kau benci dan ingin kau usir dari pondok?” tanya Umi sambil menunjuk Afura yang tertunduk. “Dia adalah istrimu!”

                “Emang siapa dia Umi?  Kenapa Umi dan Abah sangat menyayanginya?”

                “Dia ini istri sahmu Abizar.”

                “Mana mungkin  Umi. Aku sama sekali nggak mengingatnya.”

                “Kecelakaan itu. Membuat melupakan Afura dan masa lalumu.”

                “Nggak! Dia nggak mungkin istriku?” tanya Abizar dengan mata melotot.

Umi  menarik Afura. Kemudian memegang tangan lembutnya yang terasa dingin. Dia tahu apa yang di hadapi menantunya. Tapi kebenaran tidak mungkin di sembunyikan terus menerus. “Katakan sesuatu Afura! Katakan kalau kau adalah istri sah Abizar Afura. Biar dia sadar apa yang telah di lakukannya selama ini.”

                “Iya Mas! Aku adalah istri sahmu.”

                “Tapi, kenapa aku tidak mengingatnya Umi.”

                “Setelah kecelakaan itu kamu mengalami gangguan di otakmu. Dan dari semua orang hanya Afura yang tidak kamu ingat.”

Abizar terdiam dengan mata memerah dan rahangnya mengeras. Seperti menahan amarah yang tidak bisa di tahankan. Tanpa mengucapkan satu patah katapun lelaki itu keluar dari rumah.

                “Mas Abizar!” teriak Afura yang hendak menyusul . Namun,  Abizar sudah keburu masuk ke dalam mobil. Langkahnya terurungkan karena di depan sana banyak santri yang belajar. Di kemudian masuk kembali dengan menahan isak tangis.

                “Gimana Umi? Gara-gara aku Mas Abizar pergi!”

                “Lebih baik seperti ini. Sampai kapan kamu mau membohongi suami. Apa sampai Abizar semakin membenci istrinya dan mendzolimimu.”

                “Tapi Umi…”

                “Nggak ada tapi-tapi Afura. Mulai sekarang Umi akan membantu kalian. Agar Abizar segera mengingatmu lagi. Umi tidak akan membiarkan kalian bercerai.” Umi memalingkan wajah dengan wajah memerah.

                “Maksud Umi?”

                “Ibu kamu tadi ke sini. Dan dia sudah  bilang semuanya. Bahwa kalian akan bercerai jika Abizar tidak mengingatmu selama 7 bulan.”

                “Maafkan Afura Umi! Afura nggak bisa mencegah Ibu.”

                “Umi ngerti perasaan Ibumu. Ibu mana yang tega melihat anaknya tidak di urus sama sekali oleh suaminya. Umi akan membantu kamu agar Abizar mengingatmu kembali.”

                “Jika tidak, gimana Umi?”

                “Ingat, kekuasaan Allah sangat besar Afura.  Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.”

***

Hujan deras mengguyur pondok Al-amin. Suasan pesantren seakan sepi karena hujan lebat. Bahkan beberapa pohon ada yang tumbang. Sampai-sampai kegiatan membaca kitab di malam hari di tiadakan karena hujan deras.

Jam menunjukkan jam dua belas malam. Tapi hujang tidak kunjung reda. Afura bolak-balik membuka  tirai jendela. Mengintip dari balik kaca jendela. Berharap sang suami segera pulang. Dia takut terjadi apa-apa dengan Abizar. Dan jika terjadi lagi, dia yang patut di salahkan.

                “Kamu belum tidur?” tanya Umi yang baru dari dapur. Mengambil segelas teh hangat.

                “Belum Umi!  Nunggu Mas Abizar.”

                “Mungkin dia tidur di pondok.”  Sudah biasa Abizar lebih suka tidur di asrama ustadz  jika banyak tugas atau sedang  ada masalah.

                “Lebih baik kamu tidur. Nanti Umi yang di marahin Ibumu kalau kamu kenapa-kenapa.”

                “Iya Umi. Mending Umi masuk dulu.”

                “Yaudah. Umi masuk dulu ya! Kamu cepatan tidur loh.”

                “Iya, Umi.”

Afura melihat punggung Umi Ima yang menghilang dari balik tembok. Sedangkan dirinya masih tetap setia di ruang tamu. Saat dia meyanggah kepalanya dengan tangan. Hampir saja kepalanya jatuh karena saking ngantuknya.

                Matanya langsung terbelalak saat mendengar suara derup mobil  memasuki garasi. Dia buru-buru  mengintip jendala. Ternyata benar pria itu yang datang. Afura bergegas membuka pintu.

                “Assalamulaikum!

                “Walaikumsalam. Ini Mas, aku buatkan teh jahe kesukaanmu.”

                “Taruh aja di situ.”

                “Mau aku siapkan air hangat buat mandi!”

                “Berhenti!” perintah Afura. Membuat gadis itu berhenti melangkah. Kemudian memutar kepalanya. “Ada apa Mas?”

                “Aku merasa semua ini seperti mimpi.”

                “Aku paham Mas! Tapi aku berusaha membuatmu  mengingatku kembali.”

                “Jika tetap seperti ini?”

                “Aku ridho untuk di talak!” ujar Afura dengan bibir bergetar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status