“Ini adalah rumah yang dulu kalian tempati. Dan semenjak kecelakaan itu, rumah ini kosong," Jelas Umi pada Afura dan Abizar. Seluruh perabotan di tutupi oleh kain putih karena sudah lama tidak di huni. Saat Umi Ima menarik kain penutup, debu-debu langsung berterbangan. Menganggu indra penciuman.
Afura menutup hidungnya dengan tangannya. Tapi tetap saja dia terbatuk-batuk. “Kami akan membersihkannya, Umi!”
“Yaudah, Umi tinggal!”
“Tunggu!” Abizar menahan lengan Uminya. “Umi meninggalku dengan wanita ini. Aku sama sekali tidak mengenalnya. Bagaimana aku bisa tinggal dengan orang asing ini."
“Ini istrimu! Kamu harus belajar terbiasa dengannya. Umi harap, dengan kalian tinggal berdua. Ingatanmu segera kembali.” Umi melepas tangan putranya lalu melenggakkan badan. Meninggalkan rumah Afura dan Abizar.
“Kamu ingat Mas! Ketika kita pernah pindah ke rumah ini setelah menikah. Kita malu-malu karena baru pertama berduan.” Ingatan Afura kembali melayang waktu itu. Dulu, dia belum menyukai suaminya sama sekali. Tapi setelah pindah rumah dan mereka bersih-bersih. Sang suami menyelamatkannya dari lemari yang akan menimpanya. Semenjak kejadian itu, dia terkesan dan jatuh cinta pada suaminya yang baru di temuinya 5 minggu.
Benar kata orang jawa, cinta akan tumbuh karena terbiasa bersama.
Afura melihat respon Abizar yang datar mendengar dirinya bercerita. Malahan pria itu melesat pergi begitu saja. Membuat Afura menghelai nafas putus asa, karena tahu suaminya sama sekali tidak berniat mengingatnya. “Sabar Afura… kamu harus berjuang membuat suamimu mengingatmu lagi,” batin Afura memberi semangat pada dirinya sendiri.
“Satu tahun berlalu, kenapa kamu baru mengungkapkan jati dirimu?” tanya Abizar yang tiba-tiba muncul membuat Afura terhuyung ke belakang.
Gadis itu terdiam sesaat, tidak langsung menjawab pertanyaan Abizar. Dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu. “Aku nggak bisa kasih tau kamu sekarang."
Abizar seakan tidak perduli dengan alasan gadis yang mengangku-ngaku sebagai istrinya. Lebih memilih berkeliling rumah, melepaskan rasanpenat di kepalanya. Beberapa menit kemudian, lelaki itu tiba-tiba muncul. “Setelah aku lihat, di sini ada dua kamar. Lebih baik kita tidur berpisah."
“Tapi Mas! Kata Umi tadi kita harus tidur bareng. Nanti Umi marah.”
Rahang Abizar mengeras, dia maju sedikit demi sedikit dan mengunci tubuh Afura. Membuat gadis itu sedikit ketakutan. “Aku nggak mungkin sekamar dengan gadis yang baru aku kenal!”
“Tapi...."
“Kalau Umi datang memeriksa. Kamu harus cari solusi supaya Umi tidak curiga.
“Baik Mas!” jawab Afura dengan bibir bergetar.
Abizar berpamitan untuk pergi entah kemana. Tidak tahan satu rumah dengan wanita asing. Lebih baik pergi dan pulang subuh. Biar tidak melihat wajah gadis itu.
Afura menghelai nafas panjang. Menyadari bahwa suaminya tidak betah dengannya. "Lebih baik, aku bersihin rumah aja deh!" semua ruangan yang berdebu. Karena sudah lama tidak di tempati. Membuatnya memutuskan untuk membersihkan.
Setelah semua selesai, rasanya punggung seperti remuk. Afura mendudukan pantatnya ke sofa. Terasa lebih baik. Dan dalam hitungan jam gadis itu sudah tenggelam dalam tidur. Dia terbangun saat mendengar suara motor. Dan ternyata jam menunjukkan pukul empat subuh.
“Baru pulang Mas?”
“Ya.” Jawabnya singkat dan padat.
Setelah menyambut suaminya, dia menutup menunaikan solat subuh. Sebelum waktu subuh habis. Tidak lupa setelah solat dia menadahkan tangan. Berharap pada Sang Khalid untuk memberikan kemudahan atas setiap cobaannya.
Saat Afura melepas mukenah, dia baru ingat bahwa hari ini adalah hari pertama dirinya melayani Abizar. Buru-buru Dia pergi ke dapur. Mengecek bahan yang bisa di gunakan untuk memasak. Dan ternyata, tidak ada apa-apa. Dia lupa belanja. Bahkan kemarin dia baru ingat Cuma makan pagi dan setelah itu bersih-bersih rumah sampai magrib dan akhirnya lupa makan.
"Aduh!" Afura memeluk perutnya erat. Rasanya seperti ada tali yang melilit perutnya. Dia melangkah dengan teredat-sedat, mengambil dompet. Ingin belanja sayuran, tapi entah kenapa. Punggungnya juga ikut merasa sakit. Jangan-jangan ada bagian di punggungnya yang retak gara-gara membersihkan rumah.
Tok!
Tok!
"Mas!"
Pintu sedikit terbuka. "Apa?"
“Boleh mintak tolong belikan nasi.”
“Kenapa nggak sendiri?”
“Badanku sa…”
Bruk!
Mata Abizar mendelik saat melihat tubuh Afura itu langsung terjatuh di lantai. Wajahnya menjadi pucat. Dan mengangkat tubuh Afura ke sofa.
***
“Bangun!” Abizar menggoyang-goyangkan tubuh gadis itu.
Perlahan-lahan mata Afura terbuka. Di melihat sang suami sudah ada di depannya. Memberikan minyak kayu putih dan menyuruhnya mengolesi sendiri.
“Makasih. Maaf merepotkan. Kemarin, aku lupa makan gara-gara bersihin rumah.”
Abizar hanya terdiam dan memberikan sepiring nasi pecel yang baru saja di belinya. Tidak ada warung nasi yang buka kecuali warung nasi pecel. Membuat dirinya terpaksa memberikan nasi pada Afura.
“Bisa makan sendiri?”
“Insya’Allah bisa…” Afura merubah posisinya menjadi duduk dengan susah payah. Ternyata punggungnya masih terasa sakit. “Aw…” rintihnya.
“Kenapa?” Abizar reflek menyentuh bahu istrinya.
Menyadari respon suaminya. Membuat dia sedikit terpaku dan terdiam. Bola mata itu bertemu sesaat. Tapi Abizar langsung menjauh dari istrinya. Mengusap samping rambutnya karena gugup. “Ada apa?”
“Punggungku agak sakit. Nggak papa kok. Mas Abizar boleh pergi. Ini udah mau jam tujuh kan. Nanti Mas Abizar telat ngajarnya.”
Rumah Abizar dan Afura sebenarnya berada di luar pondok. Harus melewati satu desa untuk sampai di pondok. Itu adalah rumah bekas orang tua Umi Ima.
“Assalamualaikum!” Abizar langsung menghilang di telan pintu.
Afura menghembuskan nafas panjang sambil memegang dadanya yang semakin berdegup kencang. Rasa yang sudah lama hilang itu kembali hadir di hati Afura. Kemudian Afura memakan nasi yang tergeletak di nakas.
“Assalamualaikum!” suara ketukan salam dan ketukan pintu beriringan.
“Siapa?” Afura membuka pintu ternyata Mbah Njah. Tukang pijet langganannya dulu.
“Ada apa Mbah?”
“Lo, tadi saya di suruh Gus Abizar ke sini. Katannya Ning Afura minta di pijet.” Pondok Alamin adalah pondok Modern. Jadi, Abah sudah membiasakan santrinya untuk memanggil anaknya atau istrinya anaknya dengan sebutan Ustadz atau Ustadzah. Sedangkan, orang yang tinggal di luar pondok memanggil anak Abah dengan panggilan Gus.
Semburat warna merah langsung memenuhi wajah Afura. Tidak menyangka bahwa suaminya bersikap manis. Padahal pria itu belum mengingatnya.
“Masuk Mbah!”
“Kapan Ning pindah lagi ke sini?”
“Kemarin.”
“Lama ya Mbah, nggak ketemu Neng.”
“Semenjak kecelakaan Mas Abizar, aku jarang nengok rumah ini.”
“Mbah kaget banget waktu denger berita itu.Tapi Alhamdulilah, Gus Abizar sehat.”
“Alhamdulilah.”
“Kasihan banget Ning Zahra. Yang di tinggal suaminya. Padahal anaknya masih kecil-kecil.”
Afura mengingat lagi kakak iparnya. Ning Zahra, istri dari Almarhum Gus Adam yang merupakan anak pertama Umi Ima dan Abah Rifai. Kecelakaan itu juga merenggut suami Ning Zahra. Setelah suaminya meninggal, Perempuan itu seperti menghilang di telan bumi. Kata Umi, Ning Zahra kembali ke kampungnya yang berada di jawa barat. Afura tahu, Umi sangat merindukan Ning Zahra dan cucunya.
Mbah Njah Menyuruh Afura melucuti semua pakaian yang di kenakannya. Agar lebih mudah untuk memijatnya. Lalu menyuruh Afura untuk tidur di kasur dan hanya di tutupi jarek. Mbah Njah mengambil minyak yang sudah di siapkan. Mengurut-ngurut seluruh sendi Afura.
“Kaku! Udah lama nggak diurut ya Ning?”
“Iya Mbah!”
Setelah mengurut-ngurut punggung sampai kaki. Mbah Njah menyuruh Afura untuk berbalik badan. “Ini kenapa Ning? Dulu kayanya nggak pernah ada?” Mbah Njah berhenti mengurut di bagian perut. Ada bekas operasi yang sangat besar.
1 tahun yang lalu… Afura berjalan dengan terengah-engah, wajah pucat dan air mata membenung di pelupuk. Melewati koridor berlantai keramik putih. Hatinya benar-benar runtuh saat mengetahui suaminya mengalami kecelakaan tragis. Banyak orang berada di depan ruang operasi. Ada yang mondar-mandir, ada juga yang duduk dengan wajah gelisah. “Mas Abizar…” pekik Afura dengan kaki bersimpuh di lantai. Perasaannya benar-benar hancur, sampai-sampai sendi2 kakinya melemas. “Afura!” Umi membimbing Afura untuk bangkit dan duduk di sampingnya. Dia tahu perasaan menantunya itu. Karena hatinya sama-sama hancur seperti Afura. Bahkan saat pertama mendengar kedua putranya mengalami kecelakaan. Dia hampir saja pingsan. “Mas Abizar…” Afura berusaha menahan isak tangisnya. Satu jam kemudian, dokter bedah keluar dari ruangan. Memberitahu bahwa keadaan Abizar baik-baik saja. Tapi menunggu waktu untuk siuman. Rasa lega menye
Afura menyeka air matanya yang menetes. Membayangkan masa-masa berat saat kehilangan anak pertamanya. Rasa sakit itu masih terasa jelas dan dia menanggung semuanya sendiri. Sudah jam setengah dua belas malam tapi suaminya tidak kunjung pulang. Bahkan makanan di atas meja itu sudah dingin. “Jangan-jangan Mas Abizar nggak tidur di rumah. Kukira hubungan kita sudah membaik. Tapi nyatanya...” menahan kegetiran di dada. Tap! Lampu seketika mati yang membuat Afura terkejut. Buru-buru mencari ponselnya yang di letakkan di atas meja. Dengan gerakan absurd Afura menyalakan lampu. Menyoroti seisi ruangan dengan tangan mengigil. Dia paling tidak bisa di tinggal sendiri dalam ke gelapan. Membuat seluruh sarafnya menegang. Dengan panik Afura berlari ngos-ngosan keluar dari dalam rumah. Karena saking paniknya, dia tidak bisa melihat batu besar di depannya. Membuat kakinya tersandung dan jatuh menggelinding di rerumputan. “Hiks
Satu tahun lalu Gadis berkerudung itu keluar kamar. Matanya terbelalak melihat sang suami meletakkan kepalanya di atas meja. Membuatnya menghelai nafas panjang. Hafal dengan kelakuan suaminya satu ini. “Ngapain tidur di meja?”Pria itu mengangkat miring kepalanya. Membuat satu matanya memandang Afura. “Laper!”“Kalau lapar, ya makan dong!” Abizar memonyongkan bibir seperti ada satu permintaan tidak tersirat. “Yaudah, aku ngambilin.” Afura dengan cekatan mengambil piring di rak dapur. Menuangkan nasi dan lauk pauk di atasnya. “Ini di makan.” “Suapin.” “Suamiku manjang banget,” omel Afura tapi tetap menyuapi suaminya. Melihat tingkah pria itu membuatnya gemas. Saat Istrinya menyuapi sesendok nasi dan lauk. Pria itu mengeluarkan ponsel. Membuka WA ataupun Ig. Lalu Afura mengambil ponselnya. Mengatakan bahwa tidak bagus makan sambil main ponsel. “Iya, Habibii.” Kata sayang dalam bahasa Arab. “G
Selesai Salat Subuh, Abah mengiring putranya duduk di depan teras masjid. Melihat para santri satu persatu keluar dari masjid dengan berlari. Di pagi hari, ada kewajiban bagi santri untuk belajar di luar Asrama. Jadi seluruh santri cepat-cepat berlari agar tidak telat belajar. Jika telat, ada bagian pengajaran yang menghukum mereka. “Man Jadda, wa Jadda!” teriak salah satu santri menggema di tengah-tengah lapangan. “Fakkir Kobla…” timpal santri lain membuat suasana pondok ramai dengan hafal-hafalan. Abah menatap putranya. “Bagaimana Le, hubunganmu dengan istrimu.” “Baik-baik saja Bah!” “Bohong! Matamu jelas mengatakan hal lain.” “Wajar Bah, kalau hubunganku dengannya itu nggak baik-baik saja. Aku juga nggak kenal dia Bah.” “Dia istrimu Le, coba kamu belajar untuk menerima semuanya.” “Semua ini seperti mimpi Bah. Tiba-tiba aku punya istri yang sama sekali nggak aku ke
Hari ini adalah hari pertama Afura kembali mengajar di pondok sebagai Ustadzah pembimbing. Para santri menyambutnya dengan penuh antusias. “Alhamdulilah… Ustadzah Afura kembali ngajar.” “Maaf, kemarin Ustadzah lagi sibu.” “Hmm… hmm… sibuk berduaan sama Ustadz Abizar,” bisik Hanina, Ustadzah yang sudah mengabdi 2 tahun.Afura hanya membalas dengan tatapan melotot kemudian menyuruh Santriwati berkerudung putih senada masuk ke dalam ruang komputer. Menyuruh mereka memakai earphone yang sudah tersambung dengan kom
[Beberapa Tahun Lalu]Mobil taksi berwarna biru itu berhenti di depan perkarangan rumah Belanda. Dengan tergesa-gesa seorang pria keluar dari dalam taksi sambil menyeret koper dan mengenggam erat selembar kertas. Senyum mengembang di bibirnya saat menarik koper menuju rumah belanda itu. “Assalamualaikum!” teriak Pria bertubuh bongsor. Rambut di potong rapi. Dengan kemeja kotak-kotak.Dua jam berdiri di depan rumah pujaan hati. Tapi sayang, pemilik rumah tidak kunjung menyahut panggilannya. Membuat hatinya risau. Tiba-tiba terdengar suara motor matic memasuki perkarangan. Membuatnya langsung menoleh kebelakang. “Alhamdulilah aku bisa ketemu kamu.” Salman buru
“Ma..maaf Mas! Aku ngambilin serbet ya?” Afura bergegas pergi ke daput dengan tergopo-gopo. Sampai-sampai menyandung meja dapur dan kursi. “Ini Mas!” Menyerahkan kain pada suaminya.“Kamu masih nyuruh saya bersihin?”“Maaf.” Afura langsung jongkok dan membersihkan kaligrafi Abizar yang tersiram kopi.“Saya udah bilang nggak butuh kopi. Tapi lihat, kamu tetap buat kopi sampai kaligrafi saya kotor!” jelas Abizar panjang lebar saking marahnya. “Kamu itu emang keras kepala. Seperti bekal yang biasa kamu bikin. Saya udah bilang nggak mau tapi tetap kamu bawain. Dan saya kemarin sengaja buang bekal itu di depanmu agar kamu sedikit sadar bahwa perjuanganmu sia-sia. Saya tetap tidak akan pernah mengingatmu.”Mendengar ucapan Abizar yang menusuk dadanya. Afura langsung beranjak pergi ke kamar. “Hiks…hiks…”&
“Keluar kamu Afura! Jangan rusak acara ini.” “Diam kau mas, aku tidak berurusan denganmu.” “Apa?” teriak rahang Abizar mengeras menahan amarah. “Kamu berani dengan suamimu Afura?” Afura tidak menghiraukan perkataan Abizar. Malahan menggeser lengan Abizar agar tidak menghalangi jalannya. “Kamu kemarin nanyak gimana perasaanku terhadapmu?” tanya Afura pada Salman yang langsung merespon dengan berdiri. “Aku masih mencintaimu, batalkan pernikahanmu.” “Lalu, Mas Abizar?”&nb