Deg!
Jadi, benar? Kedatangan mereka karena A Andi lagi? Belum habi rasa kagetku, terdengar suara Wak Tika yang muncul dari belakang.
“Benar yang Ibu kamu bilang Jingga. Lagian orang gak punya kayak kamu itu jangan ngarepin cowok tajir kayak keluarga Bara. Harus tahu diri. Harus ngaca dan ngukur diri. Kamu itu tak ada apa-apanya buat mereka. Buktinya sekarang, bener ‘kan? Kamu di-PHP doang terus dibuang! Kata orang, kalau sudah gitu, pamali nanti. Bisa-bisa kamu jadi perawan tua dan gak ada yang mau lagi. Jadi terima saja Andi, dia sudah cinta mati sama kamu dari dulu.”
Aku memijat pelipis, rasanya sebulan ini saja hidupku sudah terasa berat. Rasa sakit hatiku karena dikhianati keluarga Bara belum juga sirna. Belum lagi gunjingan yang aku tahu ramai di belakang. Ya, namanya hidup di pinggiran kota, aib seperti ini masih umum menjadi konsumsi para ibu yang berbincang setiap pagi di penjual sayuran.
“Aku gak mikirin dulu masalah pernikahan, Uwak. Lagian aku dan A Andi ini masih sepupuan. Kenapa harus jodohin kami sih, Wak? Lagian, ngapain juga Uwak mau mungut mantu orang gak punya kayak aku? Oleh keluarga Bara saja, kata Uwak, aku dibuang ‘kan?”
Aku melirik ke arah perempuan berbadan tambun yang kini berdiri di ambang pintu kamar Ibu. Masalahku saja masih runyam, bukannya ngasih solusi malah nambahin beban pikiran.
“Kamu jangan sewot gitu dong, Jingga. Uwak bicara betul ‘kan? Keluarga Bara itu kaya raya, Bapaknya saja pegawai di BUMN. Lah kamu, ngajar di SD juga masih honorer ‘kan? Gajinya saja gak seberapa? Jauh panggang dari pada api kamu sama keluarga mereka.”
Aku menarik napas panjang. Mencoba meredam rasa perih yang makin menjadi, lalu perlahan aku mengangkat wajah dan menatap tajam wajah Wak Tika.
“Wak, aku kira Uwak sudah berubah. Kalau mau hanya ngehina-hina aku dan Ibu, sebaiknya Uwak pulang saja!” Suaraku bergetar, menahan agar tak mengeluarkan kata-kata kasar. Bagaimanapun aku ini seorang pendidik, meskipun di rumah, citra sekolah akan tetap terbawa-bawa, tak peduli gajiku berapa, tak peduli statusku apa, tapi tanggung jawabku pada nama baik tetap sama. Aku adalah seorang guru.
Wak Tika tampak murka, matanya melotot tajam, bibirnya tertarik ke atas dan tersenyum merendahkan, “Secara gak langsung kamu ngusir Uwak, Jingga?”
“Aku gak bilang gitu, Uwak yang bilang sendiri.” Aku menjawab singkat.
“Ma, kok malah ribut sama Jingga, sih? Aku gimana?” A Andi muncul dan tampak menatap kesal pada Wak Tika.
“Sudah Mama bilang, kamu itu gak cocok sama Jingga. Dia itu bukan cuma miskin, tapi belagu juga. Ngapain sih, masih ngotot banget mau nikahin dia?” omel Wak Tika menatap kesal pada A Andi.
“Mama kok gitu, sih? Bukannya sudah janji mau lamarkan Jingga buat aku, Ma?” A Andi tampak kesal. Wak Tika terlihat memijat pelipis lalu melengos pergi begitu saja.
“Jingga, niat Aa tulus sama kamu. Datang jauh-jauh dari Purwakarta karena gak mau keduluin lagi seperti dulu si Bara. Aa beneran suka sama kamu, Jingga.”
Aku kembali mengatur napas, kulirik wajah Ibu yang tampak keruh juga.
“Sudah malam, A. Pulanglah … Aku masih belum mikirin lagi masalah pernikahan. Sakit hatiku saja belum sembuh, A. Lagian kita ini saudara … kita ini sepupuan, A. Sebaiknya gak usah terlibat urusan percintaan.” Aku bicara dengan menekan segala kegusaran.
“Sepupu itu boleh nikah, Jingga … Aa sudah tanya sama Pak Ustadz. Mau, ya! Kita nikah dan hidup bahagia setelah ini.” Wajahnya memelas dan langkahnya mendekat. Tanpa permisi dia hendak meraih tanganku, tapi aku menepisnya.
“A, maaf … aku gak bisa. Aku gak bisa nikah sama A Andi. Aku anggap Aa itu kakakku sendiri, mana bisa seperti ini. Lagipula, aku tak lagi mau mikirin pernikahan dalam waktu dekat. Aku masih trauma.” Aku bicara dengan tegas tapi hati-hati. Takut sebetulnya melihat wajahnya yang memang tampak serius sekali dan takut juga dia nekat dan ngapa-ngapain aku setelah ini. Bagaimanapun, aku hanya tinggal berdua bersama Ibu.
“Andi ayo kita pulang!” Terdengar suara cempreng Wak Tika dari ruang tengah.
“Jingga, please!” Dia masih memasang wajah memelas dan menatapku.
“Ya Tuhaaan …,” batinku menjerit. Kuusap wajah dengan gusar.
“Andi!” Teriakan Wak Tika terdengar lagi.
“Jingga, jika kamu belum siap sekarang, gak apa. Aa pulang dulu, ya. Satu minggu lagi Aa ke sini buat minta jawaban kamu. Kalau perlu, Aa langsung bawa penghulu. Aa pulang dulu, bye!”
Aku menghela napas kasar setelah makhluk itu pergi, lalu mendudukkan diri di tepi ranjang di mana Ibu terbaring lemah dan tampak juga lelah. Kutangkup wajah dan kucoba tenangkan pikiran. Perlahan terdengar deru mobil yang menjauh. Syukurlah akhirnya mereka pergi.
“Jingga … sepertinya percuma mendepat Uwak kamu. Dia itu keras kepala. Apa kita jual saja tanah dan rumah ini? Hasil penjualannya nanti mungkin bisa buat cari rumah yang lebih kecil? Ibu gak rela lihat kamu tertekan seperti itu.”
Aku menoleh padanya, lalu memaksakan diri untuk tersenyum.
“Ibu istirahat saja dulu, jangan banyak pikiran. Sayang kalau kita jual, rumah kita tepi jalan sekarang. Semoga ada jalan.” Aku menggenggam tangannya mencoba menguatkan, meski hati sendiri sama-sama rapuhnya. Dia hanya mengangguk, aku pun lekas beranjak dan menuju kamarku setelah memastikan semua kunci dan jendela terkunci dari dalam. Ngeri kalau tiba-tiba A Andi datang dan mengusikku malam-malam seperti dulu lagi.
Hanya saja, rasa takut dan resah membuat aku tak bisa memejamkan mata. Aku bangun dan memeriksa semua jendela dan pintu sekali lagi, lalu jemariku beralih ke layar gawai. Aku mencoba berselancar meski tanpa tujuan. Aku hanya sedang menghibur sendiri pikiranku yang kacau.
[Belum tidur?]
Sebuah pesan tiba-tiba masuk dari sebuah akun baru yang berteman belum lama denganku. Akun tanpa foto profil. Aku mengabaikan, kemarin aku sedang patah hati begitu dalam ketika pernikahan Bara dan perempuan pilihan keluarganya dilangsungkan, meskipun untuk resepsinya katanya masih akan diadakan satu bulan lagi, tapi mereka sudah sah dan resmi menjadi sepasang suami istri. Aku menjadi begitu kacau bahkan main konfirmasi saja akun tanpa nama yang tak kutahu itu siapa setelah aku blokir semua akun yang terhubung dengannya---Bara.
[Bisakah kita berteman?]
Dia kembali mengirimiku pesan.
Apakah benar semua energi negatif kini sedang terkumpul dalam diriku. Bagaimana semua masalah dan ketidak jelasan ini datang bersamaan. Kehilangan Bara membuat hati dan moodku benar-benar berantakan. Bertemu pula dengan Pak Banyu yang mengesalkan, pulang disuguhi keluarga Wak Hendi yang tak kalah menyebalkan dan kini? Siapa lagi? Akun tanpa nama yang tiba-tiba mengajak berteman?
Aku membuka mata pagi ini dengan sedikit berat. Wangi aroma bawang goreng tercium. Shubuh-shubuh begini, memang biasa kalau Ibu sudah masak. Sejak kecil, Ibu selalu membiasakanku untuk bangun awal, katanya biar rejekinya gak dipatok ayam. Begitupun Ibu sendiri, dia pun setiap jam empat pagi sudah bangun. Apalagi, memang setiap pagi selalu membuat lemper isi ayam dan dititip ke warung Bu Intan. Lumayan uangnya bisa diputar untuk menyambung hidup. Hanya saja entah untuk hari ini.Aku menggeliatkan badan dan memaksa mata untuk terbuka. Lalu berjalan sambil menguap menuju ke arah dapur untuk membasuh wajah sekaligus wudhu. Benar saja, punggung Ibu sudah terlihat berada di dapur. Bunyi wajan beradu spatula terdengar.“Bikin nasi apa, Bu?” Aku berjalan mendekatinya.“Nasi goreng.” Ibu menjawab singkat.“Lemper gak bikin?” Aku celingukan nyari makanan terbungkus daun yang biasanya sudah rapi ditata dalam baskom.“Enggak, tadi kesiangan Ibu bangunnya. Rasanya kepala masih berat juga.”Aku han
Aku sudah berada di depan sebuah rumah yang cukup megah. Parkir di depan gerbang saja, rasanya minder kalau Vega merahku masuk ke dalam pagar. Apalagi ada dua mobil berjejer terparkir di depan rumahnya. Aku pun masuk saja karena pintu pagar sedikit terbuka. Baru aku hendak mengucap salam ketika tampak sepasang lelaki dan perempuan muncul dari dalam rumah, dari gesture tubuhnya sepertinya mereka cukup akrab. Aku mematung sejenak seraya menata hati yang tiba-tiba merasa semakin tak berarti. Pantas saja sikapnya begitu dingin padaku, rupanya memang circel pertemanannya bukan yang selevel denganku. Buktinya dengan perempuan itu, tampak sekali dia akrab dan sesekali tersenyum.“Cari siapa, Mbak?” Perempuan dengan rambut panjang yang diikat asal itu melihat ke arahku. Wajahnya terlihat terawat, berbeda denganku yang hanya disapu bedak bayi.“Nganterin gamis Bu Feni, Mbak!” Aku tunjukkan tentengan plastik berisi gamis pelanggan Ibu.“Oh, gamis Mama, ya? Bentar.”Dia pun menerima plastik yang
“Eh, kenapa berkemas? Kamu juga harus ikut! Una bilang, Miss Jingga juga diundang! Ini Ibu sudah siapkan pakaian ganti buat kamu!” tukasnya seraya memamerkan senyumannya yang bagiku, rasanya mencurigakan. Kebetulan Pak Banyu baru keluar juga dari dalam rumah dan tanpa sengaja kami sejenak beradu pandang, sebelum akhirnya kami sama-sama membuang muka dan aku mengalihkan pandangan pada pakaian yang diulurkan Bu Fera.Ehhh … kok corak bajunya samaan dengan Pak Banyu?“Ahm, saya pakai baju ini saja, apa boleh?” tanyaku, sungkan rasanya harus menerima pemberiannya. Lagi pula, pasti bajunya mahal.“Hmmm … tapi dress codenya warna pastel, Jingga.” Bu Fera menjelaskan.“Oh baik kalau begitu, maaf merepotkan.” Aku pun menerima pakaian yang masih dilipat itu, lalu beranjak minta diri dan berganti pakaian di toilet. Jadi ingat, gamis yang tadi pagi kuantarkan ke pelanggan Ibu juga ada yang bahannya seperti ini dan warnanya juga.Sebuah gamis warna pastel dengan corak hitam, akhirnya kupakai. Bis
“Mamanya Una hari ini bertunangan. Dia mengundang kami untuk datang. Semoga kamu gak keberatan menjadi pasangan Banyu malam ini. Maaf kalau Ibu gak bilang dulu sama kamu, Ibu khawatir, kamu akan menolak. Ibu hanya ingin menunjukkan, Una baik-baik saja tanpa perempuan tak berhati itu.” Suara Bu Fera bergetar. Aku melihat ada rasa sakit yang teramat dalam terpancar.Ya Tuhaaan … jujur, aku merasa kesal. Kenapa harus berbohong sejak awal? Apa Bu Fera pikir aku ini apa?Eh bentar? Berbohong? Rasanya memang tak ada kebohongan yang Bu Fera sampaikan. Dia hanya bilang Una yang mengundangku. Hanya akunya saja yang terlalu, ah, entah. Masa iya aku percaya kalau ada perayaan gigi tanggal versinya Una.“Maafin Ibu, Jingga. Kamu hanya perlu berada di tengah-tengah kami tanpa mengakui apapun, tanpa menjelaskan apapun pada siapapun. Itu saja.” Bu Fera menatapku dengan tatapan memelas. Baru kali ini aku melihat dia begitu lemah. Biasanya apa-apa selalu terlihat bersemangat, sigap dan sat set.Kupeja
“Banyu, di sini kamu rupanya! Mau dansa gak?” Pertanyaan itu membuat kami semua mendongak. Seketika Bu Fera yang mengambil alih jawaban.“Banyu memang akan berdansa, tapi sama Jingga … ini sebentar lagi juga mau maju ke depan. Iya ‘kan Banyu?” Bu Fera memasang senyuman dan menatap tajam pada perempuan itu.Eh, kenapa? Aku lagi?Seketika perempuan tersebut mendongakkan wajah dan menatap ke arahku. Dia menatap lekat sambil menyipitkan mata sekilas dengan alis saling bertaut seolah mengingat-ingat. Namun tak ada kalimat apapun yang dia ucapkan hanya tersenyum dan mengangguk lalu menoleh pada Pak Banyu.“Ya sudah, aku balik ke tempatku dulu kalau kamu sudah ada pasangan!” tukasnya. Tak tersirat rasa kesal maupun kecewa, dia pun mengangguk ke arahku dan berkata, “Titip Banyu, ya!”Aku hanya tersenyum, lebih tepatnya nyengir kuda. Emangnya dia barang yang bisa dititip-titipin?Seperginya wanita itu, Pak Banyu melirik ke arah Bu Fera dengan tatapan yang sepertinya mengatakan, mama apa-apaan,
Setelah merasa lebih baik. Aku pun beranjak dari dalam toilet dengan perasaan yang lebih ringan. Namun, baru saja kubuka pintu toilet perempuan, aku mendapati sosok yang tengah berdiri tak jauh dari sini sambil bersandar pada dinding di lorong toilet dengan tangan bersedekap. Sepasang netra kami pun bertemu. “B--Bara?” Aku mengucap nama itu hampir tanpa suara. Bara mengulas senyum, lalu menegakkan tubuhnya dan berjalan mendekat. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Gaya coolnya masih sama seperti dulu. “Hai! Gimana kabarnya, Jingga?” Dia bertanya dengan wajah penuh senyuman. Sorot mata itu, menatapku lekat dan masih sama seperti dulu.Awalnya aku sudah hendak berlari dan menghindar. Malas rasanya sekadar menjawab sapaan dari dia. Lelaki pengecut yang bersembunyi di balik ketiak ibunya itu kini datang. “Baik … permisi! Saya duluan!” Aku menjawab setelah meredam degub jantung yang sudah seperti genderang perang. Ada rasa cinta, benci, sakit hati dan … rindu. Ah, menyebalkan
“Banyu, arahnya ke rumah Jingga dulu saja, baru ke rumah kita!” titahnya. “Ahm, gak usah, Bu! Ke rumah Ibu saja. Saya bisa naik mobil online nanti.” Aku yang terpaksa duduk di depan, menoleh ke arah Bu Fera yang bersuara di kursi penumpang. “Gak apa, Jingga. Ibu sekalian mau silaturahmi dengan Ibu kamu. Kalau kami mampir, boleh ‘kan?” Bu Fera menatapku dan kalimat yang mengandung tanya itu, kini tengah menunggu jawaban. Jujur, hatiku agak was-was kalau sudah berurusan dengan Bu Fera. Pikirannya suka gak bisa ditebak dan juga … dari siang tadi memberiku banyak kejutan juga. Takutnya kedatangannya ke rumahku, memberiku kejutan berikutnya.“Hmmm … tapi sudah malam, Bu. Apa Unanya gak capek?” Aku mencoba mengalihkan perhatiannya pada kondisi Una. “Gak apa, Jingga. Mampir sebentar doang. Una juga sudah tidur, kok.” Hmmm … ya sudahlah, aku pasrah. Hanya mengangguk untuk menjawabnya. Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya kami tiba. Ibu tampak sudah berada di teras. Aku tahu, dia
“Oke pelajaran kita kali ini sudah selesai! Silakan ditutup bukunya dan bersiap pulang!” Aku menutup pelajaran hari ini. Rasa kantuk membuat mataku terasa berat dan berulang kali menguap. Beruntung masih bisa menyelesaikan pelajaran bahasa Inggris di jam terakhir mengajarku. “Silakan dipimpin doa!” Aku mempersilakan ketua kelas dari siswa kelas empat yang kuajar hari ini untuk memimpin doa sebelum pulang. “Baik, Bu!" Garda menjawab tangkas. Mereka pun sibuk membereskan tas dan perlengkapan lainnya. Garda tampak menoleh dan memastikan semua anggota kelas sudah siap. "Sebelum kita pulang, marilah kita berdoa terlebih dulu agar diberikan keselamatan di perjalanan! Siap berdoa, mulai!”Lantang suara Garda---anak lelaki berdarah jawa yang kulihat jiwa leadershipnya sejak kecil ini. Tubuh mungilnya tak serta merta membuatnya lembek. Justru, dia paling aktif, kreatif dan bertanggung jawab dari pada anak lelaki seusianya di kelas ini. Aku pun setuju ketika dia terpilih jadi wali kelasnya.