“Lurus dikit lagi, Pak. Lalu belok ke kiri. Rumah yang catnya warna hijau, depannya ada pohon mangga.” Aku memberikan arahan tanpa dia minta. Biar cepat sampai dan bisa bernapas lega. Namun, pada jarak beberapa meter lagi, aku menautkan alis ketika melihat mobil berwarna silver metalik sudah terparkir di depan rumah dan juga tampak kerumunan para tetangga.
“Pak berhenti di sini saja!”
Merasa tak enak hati dan takut jadi perhatian para tetangga yang tampak berkerumun di depan rumah, aku meminta turun dalam jarak beberapa meter lagi sebelum sampai. Hanya saja, mobil yang dia kendarai terus saja melaju.
“Pak! Turun di sini saja!”
Aku bicara agak kencang. Apa dia tuli sampai-sampai tak cukup satu kali aku bicara. Hanya saja, hasilnya masih sama mobil yang ditumpanginya masih melaju saja.
Huft!
Kini sudah terlambat, meskipun dia menoleh, mobil yang memberiku tumpangan sudah tiba di depan rumah dan beberapa pasang mata sudah melihatnya. Aku bergeming, kok kesel, ya? Kenapa dia pura-pura tuli, sih? Kini kami jadi bahan tontonan. Aku malu, pasti digosipkan yang bukan-bukan. Ini sudah malam juga, aku di antar pulang oleh orang bermobil mewah. Pasti diomongin ini mah di belakang.
“Gak mau turun?”
Pertanyaan macam apa yang dia lontarkan. Aku merengut, tapi ingat ada Aluna yang tengah bersamaku. Akhirnya cemberutnya ku cancel dulu.
“Una, Miss sudah sampai. Jumpa lagi lain kali, ya!”
“Dah Misss!”
Aluna mencium punggung tanganku lalu melambaikan tangan. Sengaja tak aku gubris ucapan Pak Bantu yang sudah buat aku kesal. Biar saja, biar tahu rasanya dikacangin. Aku menghela napas kasar ketika akhirnya kubuka pintu mobil dan turun. Benar saja mata para tetangga yang sepertinya ada sekitar lima atau enam orang itu serentak menatap ke arahku.
“Assalamu’alaikum!” Aku mengucap salam.
“Wa’alaikumsalam!” koor salam yang menjawab serempak.
“Jingga!”
Seorang perempuan muncul dari dalam rumah dan tergesa menghampiriku. Sedikit terkejut ketika melihat siapa yang datang.
“Uwak?” Aku menatapnya.
“Iya ini Uwak.” Perempuan itu menyalamiku.
Dia adalah Wak Tika---istri dari Wak Hendi---kakak dari almarhum ayah. Mereka tinggal di Purwakarta dan tak pernah sekalipun datang ke sini. Semua bermula dari penolakan Ayah yang tak mau menjodohkanku dengan A Andi---anak Wak Tika dan Wak Hendi. Waktu itu, aku masih duduk di bangku SMP, sedangkan A Andi sudah lulus SMP dan sering sekali ke sini dan katanya suka sama aku. Hanya saja, Ayah tak setuju. Selain A Hendi terkenal pemalas, dia juga songong, bahkan ketahuan Ayah beberapa kali suka ngintipin kamarku malam-malam. Ayah maki-maki A Andi dan Wak Hendi tak terima. Mereka pun pindah ke kampung halaman Wak Tika yang memang orang Purwakarta. Wak Hendi dan Wak Tika seolah memutus silaturahmi. Dia tak terima anaknya dikatakan pemalas dan kurang ajar oleh Ayah.
Hanya saja, ada apa gerangan sekarang dia datang? Rupanya mobil itu milik mereka. Lalu kenapa para tetangga berkerumun juga? Masa iya hanya menyambut kedatangan Wak Tika saja?
Aku tergesa masuk dan menyalami orang yang ada di dalam dan laki-laki itu sepertinya adalah A Andi---kakak sepupuku. Lupa-lupa ingat karena kami sudah lama tak bertemu. Bertemu terakhir tuh ketika A Andi nikahan, itu pun hanya sekilas karena Wak Hendi mencuekkan kami ketika ke sana.
“Sehat, A? Si Tetehnya gak ikut?” Aku menyapanya.
“Ini Jingga, ya? Kamu makin cantik saja. Aa sudah cerai, Jingga. Jadi sekarang kita sama-sama single lagi.” Bukannya menjawab dia malah mesem-mesem sendiri dan memandangiku. Jujur, aku tak suka pada matanya yang terkesan jelalatan.
Aku hanya nyengir kuda. Apa dia tahu kalau tunanganku dibatalkan dengan Bara, ya? Hanya saja, masa iya, sih? Sudah lama juga kami putus komunikasi. Lalu aku mengangguk saja dan mencari keberadaan Ibu karena tak ada di ruang tengah. Lalu dari arah kamar muncul Wak Hendi dan ada dua orang ibu-ibu tetanggaku di sana.
“Baru pulang, Jingga? Makin cantik saja kamu, pantesan si Andi gak bisa move on.” Wak Hendi menyalamiku.
“Iya, Wak. Ibu mana?” Aku makin tak nyaman. Rasa-rasanya A Andi sudah pernah nikah pun, kenapa Wak Hendi bilang dia gak bisa move on?
“Ibu kamu di dalam.” Dia menunjukkan dengan sudut matanya.
Aku tergesa. Perasaanku sudah tak enak sejak melihat orang-orang berkerumun di depan tadi. Masa iya hanya menyambut kedatangan Wak Hendi dan Wak Tika sampai segitunya?
Di dalam ada Bi Omah dan Bi Wasih dan tampak Ibu terbaring di tempat tidur dengan kepala di sangga bantal agak tinggi.
“Ibu kenapa?” Aku terkejut melihat wajahnya yang sedikit pucat. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya setelah menyalami Bi Omah dan Bi Wasih.
“Syukurlah kamu sudah pulang, Jingga. Ibu kamu pingsan tadi,” tukas Bi Omah.
“Pingsan? Kok bisa? Rasanya pas pagi tadi pergi, Ibu baik-baik saja. Hanya pusing sedikit itu pun sudah minum obat.” Aku mendekat dan menyimpan tas pada gantungan kapstok yang ada di belakang pintu.
“Bibi juga kaget, tadi itu Uwak kamu teriak-teriak minta tolong katanya Ibu kamu pingsan.” Bi Wasih menjelaskan.
“Oh ya sudah, makasih ya, Bi. Mungkin Ibu kecapekan. Rasanya pesanan jahitannya banyak.” Aku mengulas senyum, meskipun dalam hati tetap ada yang membuat bingung. Ibu bukan orang lemah yang mudah pingsan. Meski sedang sakit sekalipun.
“Kalau gitu, Bibi pamit pulang dulu, sudah malam!” Keduanya pamit undur diri. Aku hanya mengangguk. Tak berapa lama, lima orang tetangga yang tadi berkerumun di depanpun satu per satu berpamitan. Menyisakkan Wak Hendi sekeluarga yang terdengar mengobrol di ruang tengah.
“Bu, ada apa? Kok bisa sampai pingsan?” lirihku bertanya. Kutatap penasaran wajah Ibu yang tampak sedih itu.
“Uwak kamu datang ke sini untuk minta bagian waris dari tanah ini, Jingga. Tadi Ibu ribut sama Uwak Kamu.” Suara Ibu terdengar lemah.
“Waris? Bukannya kata Ibu, tanah ini bagian Ayah?” Aku menatapnya tak paham.
Dulu Ibu bilang, tanah seluas dua ratus meter ini yang sejak dulu ditempati oleh almarhum nenek dan kakek adalah memang bagian Ayah. Wak Hendi---kakak dari Ayah, sudah dapat bagiannya. Lalu kenapa sekarang malah diungkit lagi?
“Salahnya satu, orang tua dulu gak ada hitam di atas putih waktu membaginya. Tanah ini juga masih atas nama kakek kamu, Jingga. Sekarang Uwak kamu minta kita mengeluarkan setengah harga dari tanah yang kita tempati ini, termasuk dari rumah ini kalau kita masih mau tinggal di sini.” Ibu tampak menghela napas kasar.
"Rumah? Bukannya rumah ini dibangun oleh Ibu sama Ayah? Kenapa mereka minta bagian?”
“Salah Ibu sama Ayah lagi, Jingga. Rumah ini dulu memang rumah kakek dan nenek kalian. Hanya saja Ibu renovasi. Jadi menurut mereka, Wak Hendi juga masih ada bagian setengahnya dari rumah ini.”
“Astaghfirulloh ….” Aku ikut-ikutan lemas mendengarnya.
“Hanya saja bukan hanya itu yang membuat Ibu jatuh pingsan.” Ibu kembali menghela napas kasar.
“Lalu?” Aku menatapnya penasaran.
“Mereka bilang, tak akan mempermasalahkan warisan ini, jika kamu mau menikah dengan Andi. Toh nanti juga akan sama-sama diwariskan buat kalian! Entah dari mana mereka tahu kalau pertunangan kamu dibatalkan sama keluarga Bara.”
Deg!
Jadi, benar? Kedatangan mereka karena A Andi lagi? Belum habis rasa kagetku, terdengar suara Wak Tika yang muncul dari belakang.
“Benar yang Ibu kamu bilang Jingga. Lagian orang gak punya kayak kamu itu jangan ngarepin cowok tajir kayak keluarga Bara. Harus tahu diri. Harus ngaca dan ngukur diri. Kamu itu tak ada apa-apanya buat mereka. Buktinya sekarang, bener ‘kan? Kamu di-PHP doang terus dibuang! Kata orang, kalau sudah gitu, pamali nanti. Bisa-bisa kamu jadi perawan tua dan gak ada yang mau lagi. Jadi terima saja Andi, dia sudah cinta mati sama kamu dari dulu.”
Deg!Jadi, benar? Kedatangan mereka karena A Andi lagi? Belum habi rasa kagetku, terdengar suara Wak Tika yang muncul dari belakang.“Benar yang Ibu kamu bilang Jingga. Lagian orang gak punya kayak kamu itu jangan ngarepin cowok tajir kayak keluarga Bara. Harus tahu diri. Harus ngaca dan ngukur diri. Kamu itu tak ada apa-apanya buat mereka. Buktinya sekarang, bener ‘kan? Kamu di-PHP doang terus dibuang! Kata orang, kalau sudah gitu, pamali nanti. Bisa-bisa kamu jadi perawan tua dan gak ada yang mau lagi. Jadi terima saja Andi, dia sudah cinta mati sama kamu dari dulu.”Aku memijat pelipis, rasanya sebulan ini saja hidupku sudah terasa berat. Rasa sakit hatiku karena dikhianati keluarga Bara belum juga sirna. Belum lagi gunjingan yang aku tahu ramai di belakang. Ya, namanya hidup di pinggiran kota, aib seperti ini masih umum menjadi konsumsi para ibu yang berbincang setiap pagi di penjual sayuran.“Aku gak mikirin dulu masalah pernikahan, Uwak. Lagian aku dan A Andi ini masih sepupuan.
Aku membuka mata pagi ini dengan sedikit berat. Wangi aroma bawang goreng tercium. Shubuh-shubuh begini, memang biasa kalau Ibu sudah masak. Sejak kecil, Ibu selalu membiasakanku untuk bangun awal, katanya biar rejekinya gak dipatok ayam. Begitupun Ibu sendiri, dia pun setiap jam empat pagi sudah bangun. Apalagi, memang setiap pagi selalu membuat lemper isi ayam dan dititip ke warung Bu Intan. Lumayan uangnya bisa diputar untuk menyambung hidup. Hanya saja entah untuk hari ini.Aku menggeliatkan badan dan memaksa mata untuk terbuka. Lalu berjalan sambil menguap menuju ke arah dapur untuk membasuh wajah sekaligus wudhu. Benar saja, punggung Ibu sudah terlihat berada di dapur. Bunyi wajan beradu spatula terdengar.“Bikin nasi apa, Bu?” Aku berjalan mendekatinya.“Nasi goreng.” Ibu menjawab singkat.“Lemper gak bikin?” Aku celingukan nyari makanan terbungkus daun yang biasanya sudah rapi ditata dalam baskom.“Enggak, tadi kesiangan Ibu bangunnya. Rasanya kepala masih berat juga.”Aku han
Aku sudah berada di depan sebuah rumah yang cukup megah. Parkir di depan gerbang saja, rasanya minder kalau Vega merahku masuk ke dalam pagar. Apalagi ada dua mobil berjejer terparkir di depan rumahnya. Aku pun masuk saja karena pintu pagar sedikit terbuka. Baru aku hendak mengucap salam ketika tampak sepasang lelaki dan perempuan muncul dari dalam rumah, dari gesture tubuhnya sepertinya mereka cukup akrab. Aku mematung sejenak seraya menata hati yang tiba-tiba merasa semakin tak berarti. Pantas saja sikapnya begitu dingin padaku, rupanya memang circel pertemanannya bukan yang selevel denganku. Buktinya dengan perempuan itu, tampak sekali dia akrab dan sesekali tersenyum.“Cari siapa, Mbak?” Perempuan dengan rambut panjang yang diikat asal itu melihat ke arahku. Wajahnya terlihat terawat, berbeda denganku yang hanya disapu bedak bayi.“Nganterin gamis Bu Feni, Mbak!” Aku tunjukkan tentengan plastik berisi gamis pelanggan Ibu.“Oh, gamis Mama, ya? Bentar.”Dia pun menerima plastik yang
“Eh, kenapa berkemas? Kamu juga harus ikut! Una bilang, Miss Jingga juga diundang! Ini Ibu sudah siapkan pakaian ganti buat kamu!” tukasnya seraya memamerkan senyumannya yang bagiku, rasanya mencurigakan. Kebetulan Pak Banyu baru keluar juga dari dalam rumah dan tanpa sengaja kami sejenak beradu pandang, sebelum akhirnya kami sama-sama membuang muka dan aku mengalihkan pandangan pada pakaian yang diulurkan Bu Fera.Ehhh … kok corak bajunya samaan dengan Pak Banyu?“Ahm, saya pakai baju ini saja, apa boleh?” tanyaku, sungkan rasanya harus menerima pemberiannya. Lagi pula, pasti bajunya mahal.“Hmmm … tapi dress codenya warna pastel, Jingga.” Bu Fera menjelaskan.“Oh baik kalau begitu, maaf merepotkan.” Aku pun menerima pakaian yang masih dilipat itu, lalu beranjak minta diri dan berganti pakaian di toilet. Jadi ingat, gamis yang tadi pagi kuantarkan ke pelanggan Ibu juga ada yang bahannya seperti ini dan warnanya juga.Sebuah gamis warna pastel dengan corak hitam, akhirnya kupakai. Bis
“Mamanya Una hari ini bertunangan. Dia mengundang kami untuk datang. Semoga kamu gak keberatan menjadi pasangan Banyu malam ini. Maaf kalau Ibu gak bilang dulu sama kamu, Ibu khawatir, kamu akan menolak. Ibu hanya ingin menunjukkan, Una baik-baik saja tanpa perempuan tak berhati itu.” Suara Bu Fera bergetar. Aku melihat ada rasa sakit yang teramat dalam terpancar.Ya Tuhaaan … jujur, aku merasa kesal. Kenapa harus berbohong sejak awal? Apa Bu Fera pikir aku ini apa?Eh bentar? Berbohong? Rasanya memang tak ada kebohongan yang Bu Fera sampaikan. Dia hanya bilang Una yang mengundangku. Hanya akunya saja yang terlalu, ah, entah. Masa iya aku percaya kalau ada perayaan gigi tanggal versinya Una.“Maafin Ibu, Jingga. Kamu hanya perlu berada di tengah-tengah kami tanpa mengakui apapun, tanpa menjelaskan apapun pada siapapun. Itu saja.” Bu Fera menatapku dengan tatapan memelas. Baru kali ini aku melihat dia begitu lemah. Biasanya apa-apa selalu terlihat bersemangat, sigap dan sat set.Kupeja
“Banyu, di sini kamu rupanya! Mau dansa gak?” Pertanyaan itu membuat kami semua mendongak. Seketika Bu Fera yang mengambil alih jawaban.“Banyu memang akan berdansa, tapi sama Jingga … ini sebentar lagi juga mau maju ke depan. Iya ‘kan Banyu?” Bu Fera memasang senyuman dan menatap tajam pada perempuan itu.Eh, kenapa? Aku lagi?Seketika perempuan tersebut mendongakkan wajah dan menatap ke arahku. Dia menatap lekat sambil menyipitkan mata sekilas dengan alis saling bertaut seolah mengingat-ingat. Namun tak ada kalimat apapun yang dia ucapkan hanya tersenyum dan mengangguk lalu menoleh pada Pak Banyu.“Ya sudah, aku balik ke tempatku dulu kalau kamu sudah ada pasangan!” tukasnya. Tak tersirat rasa kesal maupun kecewa, dia pun mengangguk ke arahku dan berkata, “Titip Banyu, ya!”Aku hanya tersenyum, lebih tepatnya nyengir kuda. Emangnya dia barang yang bisa dititip-titipin?Seperginya wanita itu, Pak Banyu melirik ke arah Bu Fera dengan tatapan yang sepertinya mengatakan, mama apa-apaan,
Setelah merasa lebih baik. Aku pun beranjak dari dalam toilet dengan perasaan yang lebih ringan. Namun, baru saja kubuka pintu toilet perempuan, aku mendapati sosok yang tengah berdiri tak jauh dari sini sambil bersandar pada dinding di lorong toilet dengan tangan bersedekap. Sepasang netra kami pun bertemu. “B--Bara?” Aku mengucap nama itu hampir tanpa suara. Bara mengulas senyum, lalu menegakkan tubuhnya dan berjalan mendekat. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Gaya coolnya masih sama seperti dulu. “Hai! Gimana kabarnya, Jingga?” Dia bertanya dengan wajah penuh senyuman. Sorot mata itu, menatapku lekat dan masih sama seperti dulu.Awalnya aku sudah hendak berlari dan menghindar. Malas rasanya sekadar menjawab sapaan dari dia. Lelaki pengecut yang bersembunyi di balik ketiak ibunya itu kini datang. “Baik … permisi! Saya duluan!” Aku menjawab setelah meredam degub jantung yang sudah seperti genderang perang. Ada rasa cinta, benci, sakit hati dan … rindu. Ah, menyebalkan
“Banyu, arahnya ke rumah Jingga dulu saja, baru ke rumah kita!” titahnya. “Ahm, gak usah, Bu! Ke rumah Ibu saja. Saya bisa naik mobil online nanti.” Aku yang terpaksa duduk di depan, menoleh ke arah Bu Fera yang bersuara di kursi penumpang. “Gak apa, Jingga. Ibu sekalian mau silaturahmi dengan Ibu kamu. Kalau kami mampir, boleh ‘kan?” Bu Fera menatapku dan kalimat yang mengandung tanya itu, kini tengah menunggu jawaban. Jujur, hatiku agak was-was kalau sudah berurusan dengan Bu Fera. Pikirannya suka gak bisa ditebak dan juga … dari siang tadi memberiku banyak kejutan juga. Takutnya kedatangannya ke rumahku, memberiku kejutan berikutnya.“Hmmm … tapi sudah malam, Bu. Apa Unanya gak capek?” Aku mencoba mengalihkan perhatiannya pada kondisi Una. “Gak apa, Jingga. Mampir sebentar doang. Una juga sudah tidur, kok.” Hmmm … ya sudahlah, aku pasrah. Hanya mengangguk untuk menjawabnya. Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya kami tiba. Ibu tampak sudah berada di teras. Aku tahu, dia