Share

Tiga: Penyamaran Takdir

Mercedes-Benz itu melesat kencang di jalan raya. Menembus ramainya lalu lintas malam hari. Bryan di belakang kemudi dengan casual outfit-nya, seperti biasa, sangat tampan. Bahkan jika ada sebuah kata yang lebih bagus dari tampan untuk mendeskripsikan seorang Bryan Gray, kata itu akan cocok untuknya.

Tiba-tiba di dekat lampu merah, hampir saja mobil mewah itu menabrak mobil di depannya jika saja Bryan telat menginjak rem.

“BRYAN!! Udah aku bilang jangan ngebut-ngebut!!!!” Teriak Lizzi di sebelahnya yang lalu menghela napas lega karena untungnya mereka selamat.

“Maaf maaf kita udah telat, Liz.” Sahut Bryan.

“Ya tapi nggak gitu juga, bahaya loh.” Lizzi memarahi Bryan. “Lagian ini masih jam 7 kurang.”

“Iya maaf, Sayang.. nih, aku nggak ngebut lagi. Oke? Maaf ya..” Bryan menenangkan.

“Btw, kamu cantik banget hari ini.” Ucap Bryan tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. “Ayo dong jangan ngambek nanti nggak jadi cantiknya” Tambahnya sembari cengengesan.

Bryan meraih tangan Lizzi yang langsung ditepis oleh gadis itu.

Lizzi hanya mendelik. “Nggak lucu, Bry. Kita hampir nabrak barusan.”

“Iya.. aku kan udah minta maaf, Sayang. Nih aku hati-hati.”

Setelah kemarahannya mereda akhirnya Lizzi kembali bersuara. “Oh iya, ini beneran nggak apa-apa aku join sama kalian? Nanti takutnya aku malah ganggu.”

Bryan tertawa samar. “Nggak apa-apa kok, santai aja. Nanti aku kenalin sama sahabat aku ini. Namanya Han.”

“Oke deh” Ucap Lizzi akhirnya.

Tidak lama setelah itu, mereka sampai di sebuah restoran bintang lima. Ternyata di sana sudah ada Han.

Bryan dan Lizzi menghampiri meja itu dengan bergandengan tangan. Byan tersenyum semringah melihat Han karena sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka bertemu. Begitu juga dengan Han, ia langsung berdiri saat melihat kedatangan Bryan.

“Bryaaan.” Sambut Han.

“Bro!” Bryan langsung menjabat tangan Han lalu memeluknya erat.

Han tersenyum lebar. Ia membalas pelukan hangat.

Namun senyuman itu seketika sirna saat ia melihat gadis yang berdiri di belakang Bryan. Ia melepas pelukannya.

“Oh iya, Han, kenalin ini Lizzi, pacar gue.” Ucap Bryan dengan bangga memperkenalkan pacarnya.

Deg. ‘Lizzi?’ batin Han.

Han terkejut melihat gadis itu. Tidak menyangka akan bertemu dengan Lizzi secepat ini. Lizzi, menjadi salah satu alasannya kembali ke Jakarta. Tentu saja karena tujuannya adalah membalas dendam pada keluarga Lizzi. Awalnya, ia berpikir akan sulit menemukan gadis itu. Dan apa ia tidak salah dengar? Gadis itu adalah kekasih dari sahabatnya.

Lelaki berjas navy itu menatap mata Lizzi dengan pandangan yang menusuk.

Sementara Lizzi juga tidak kalah terkejutnya melihat seseorang yang sangat familier ada di sana.

‘Reyhan? Jadi Han yang dimaksud Bryan adalah Reyhan Ervin?’ Batin Lizzi.

Mata Lizzi membola. Tubuhnya seakan terkunci. Nafasnya tertahan. Lizzi bingung harus merespons seperti apa saat bertemu dengan seseorang yang telah memberinya kenangan buruk.

Bryan dibuat bingung dengan suasana yang mendadak menjadi kaku itu. Bryan mengangkat kedua alisnya. “Mmm.. Sayang, ini Han yang tadi aku ceritain.” 

Lizzi dengan segera mengontrol ekspresinya. “Ahhh... iya. Hai, gue Lizzi.” Ia mengulurkan tangan pada lelaki di hadapannya.

 Masih dengan tatapan dinginnya, Han memaksakan senyumnya lalu menerima uluran tangan Lizzi. “Gue Han.” Ia sendiri merasa aneh dengan perkenalan yang tidak perlu itu. Karena mereka sudah saling mengenal! Ia buru-buru menarik tangannya.

Akhirnya mereka semua duduk dan memesan makanan.

Lizzi menyesali keputusannya untuk menemani Bryan makan malam dengan sahabatnya. Jika Lizzi tahu bahwa sahabat Bryan adalah Reyhan, maka ia akan menolak saat pertama kali Bryan mengajaknya. Bola mata gadis itu bergerak tidak fokus, ia berusaha mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Namun, tidak ada. Ia terjebak di sana.

Tidak lama setelah itu, pesanan mereka pun datang. Perbincangan itu terus mengalir. Bryan dan Han beberapa kali mengungkit kisah masa lalu mereka. Bryan menceritakan pada Lizzi bagaimana persahabatannya dengan Han. Sesekali Bryan atau Han melempar gurauan. Sebenarnya Han merasa tidak nyaman di sana, tapi karena ia tidak ingin Bryan merasa curiga, akhirnya ia memaksa dirinya untuk menikmati acara itu.

Sama halnya dengan Lizzi, ia juga berusaha membuat dirinya nyaman berada di sana, meskipun sama sekali tidak.

Malam mulai larut. Sudah banyak pula topik pembicaraan mereka bahas sejak tadi. Namun, sepertinya mereka masih betah hangout di sana, ya, sepertinya. Terlebih Bryan yang sangat merindukan sahabatnya itu.

“Hmmm.. ayo main truth or dare!” Ucap Bryan.

“Hah? Tiba-tiba?” Tanya Han.

Bryan tertawa. “Ayo dong, gue masih pengen lama-lama di sini.” Pinta Bryan. “Gimana, Sayang?” Bryan menoleh pada Lizzi yang duduk di sebelahnya.

Lizzi ragu. “Emm.. boleh.” Akhirnya ia tidak bisa menolak.

Bryan memutar salah satu pisau di yang ada di meja mereka. Pisau itu berputar selama beberapa detik hingga akhirnya berhenti dan mengarah pada Han.

“Hahaha... kena lo!”

Han menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Oke, truth or dare?” tanya Bryan.

Han menatap Bryan tidak yakin. “Truth.”

“Kenapa lo lebih milih kerja di Indonesia daripada di Australia?”

Han tidak menduga pertanyaan ini.

Han tersenyum kecil. “Bukannya soal ini udah kita obrolin tadi? Gue lebih suka di Indonesia.”

“Oke kalau itu emang satu-satunya alesan lo balik. Sorry, Han. Gue cuma penasaran, soalnya gue tau Papa juga nawarin lo buat kerja di Australia.”

Tidak mungkin Han memberi tahu Bryan bahwa dirinya kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan urusan masa lalu, kan? Tiba-tiba sesuatu terlintas di pikiran Han. “Ahh.. sebenernya ada alesan lain.”

Bryan mengangkat kedua alisnya.

“Gue mau nemuin cewek yang dulu gue pernah ceritain ke lo. Kalo lo masih inget.” Han tersenyum miring.

Bryan menyipitkan matanya. Mencoba mengingat sesuatu. “Ah! Pacar lo yang tiba-tiba ngilang tanpa kabar itu?”

“Yap.” Jawab Han sambil menjentikkan jarinya.

Lizzi tersentak mendengar itu semua. Apa maksudnya?

Han melempar tatapannya pada Lizzi, masih dengan senyuman miringnya. Tatapan itu seperti mengintimidasi.

Lizzi menundukkan pandangannya. Tangannya mengepal. Rasanya ingin meninju lelaki di hadapannya.

Lizzi berdeham. “Sayang, aku mau ke toilet dulu ya.” Lizzi menatap Bryan memberi isyarat

“Oke, oke.” Ucap Bryan sembari mengangguk.

Lizzi segera pergi menuju toilet. Ia membasuh tangannya di wastafel dan menatap pantulan dirinya di cermin. Ia masih tidak habis pikir dengan perkataan Han tadi. Ia tahu persis siapa cewek yang di maksud Han. Itu adalah dirinya. Namun, ia tidak mengerti apa tujuan Han melakukan itu. Ia benar-benar ingin segera pergi dari acara makan malam itu.

Ditambah lagi  beberapa kali ia menangkap dari sudut matanya bahwa Han menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk di deskripsikan. Yang jelas Lizzi merasa takut. Lelaki itu sangat berbeda dari terakhir kali ia bertemu dengannya. Tatapan dari lelaki itu terasa dingin dan mengintimidasi.

Bertemu kembali dengan lelaki dari masa lalunya membuat ia mau tidak mau mengingat kenangan yang menyakitkan. Trauma masa lalu. Sebuah kejadian yang mengubah hidupnya yang bahkan lelaki itu tidak pernah tahu. Seketika dadanya sesak. Tapi ia segera menenangkan dirinya. Ini bukan waktu yang tepat untuk meratapi masa lalu. Ia hanya berharap setelah pertemuan ini ia tidak akan pernah bertemu dengan lelaki itu.

Setelah merapikan penampilannya, Lizzi melangkah keluar dari toilet. Namun ia dikejutkan dengan seseorang yang bersandar di dinding lobby depan pintu toilet. Han. Pandangan mereka bertemu. Tatapan yang seolah ada sengatan listriknya. Terlalu banyak emosi di dalamnya. Seperti... kemarahan, kekecewaan, dan... entahlah.

Sementara bagi Han, melihat gadis itu yang sepertinya memiliki hidup yang bahagia membuat dirinya kesal. Ia benci melihat fakta orang yang telah membuat hidupnya menderita terlihat menjalaninya hidup dengan baik. Apakah gadis itu mengetahui apa yang terjadi padanya? Perasaan Han bercampur aduk.

Detik berikutnya Lizzi membuang muka. Berniat untuk tidak menghiraukan kehadiran lelaki itu. Ia memutuskan untuk melangkah pergi dari sana.

“Pacar gue...” Gumam Han.

Seketika Lizzi menghentikan langkahnya. Ia berbalik menghampiri Han.

“Apa maksud lo?” Lizzi menatap nyalang pada Han.

“Kita nggak pernah putus, Lizzi.” Ia tersenyum miring.

“Diem! Kita udah selesai! Gue nggak mau lo ngungkit hal ini di depan Bryan.” Lizzi memperingatkan. “Dan bukan gue yang ngilang tanpa kabar, tapi elo!!!” Ucap Lizzi dengan nada suara tinggi.

Han berdecih. Ia berjalan mendekati Lizzi, membuat gadis itu mundur hingga akhirnya menabrak tembok. Ia menyudutkan gadis itu di sana. Ia mencengkeram rahang gadis itu. Matanya menatap tajam pada kedua bola mata gadis itu yang terlihat bergetar ketakutan. “Elo siapa berani-beraninya memperingatkan gue?” Ucapnya dengan suara rendah.

Demi apapun kali ini lelaki itu membuat lutut Lizzi lemas.

“Aku penasaran...” Ucap Han.

 “Kenapa semudah ini takdir mempertemukan kita lagi?...” Sambungnya. “Lizziana Amoura.”

Suara baritone itu membuat Lizzi merinding.

Lizzi menarik tangan Han hingga akhirnya lelaki itu melepaskan cengkeramannya.

“Takdir?” Tanya Lizzi dengan suara bergetar. “Maaf, tapi pertemuan ini cuma kebetulan yang bisa lo abaikan,...” Sambungnya. “Rey..han”

Han berdecih. “Gimana kalo ini adalah takdir yang menyamar menjadi kebetulan?” Tanya Han.

Lizzi menggeleng.

Just forget about this coincidence and it'd be easier” Lizzi berusaha menguatkan dirinya. Lizzi buru-buru membalikkan badan dan pergi. Ia benar-benar bingung mengapa Reyhan yang ia kenal berubah menjadi seperti itu.

Mendengar perkataan Lizzi, Han hanya bisa terdiam. Apakah di dunia ini hanya dirinya yang merasakan bagaimana rasa dendam dan rindu menjadi satu? Tapi tidak. Han tidak akan membiarkan perasaannya menghalangi tujuan awalnya. Misi balas dendam, akan ia pastikan itu berjalan dengan lancar.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status