"Eritha, cepat keluar dan ayo kita segera sarapan. Sebentar lagi kau akan terlambat."
Begitulah gambaran pagi harinya yang diwarnai dengan teriakan ibunya.
"Ya. Aku keluar sekarang," teriak Eritha yang masih terpaku memandangi pantulan dirinya —yang terdiam tanpa ekspresi— di depan cermin. Lalu setelah mengamati lebih lama, akhirnya ia membuka pintu dan menapakkan kakinya keluar dari kamar.
"Aku akan pergi sekarang," ujar Eritha pada ibunya yang tampak sangat sibuk berjalan bolak-balik antara dapur dan ruang makan.
"Kenapa terburu-buru? Ayo, kita sarapan bersama," bujuk ibunya yang berusaha menahannya lebih lama.
"Iya, ayah dapat mengantarkanmu ke sekolah." Ayahnya yang sibuk membantu ibunya, kini menguatkan pendapat ibunya dan menawarkannya tawaran yang cukup menarik.
Namun dengan rasa bersalah, Eritha menolak tawaran kedua orang tuanya dan mencangklong tas punggungnya selagi berjalan keluar, menuju sepatu hitamnya yang sudah ia sikat mengkilat sejak pagi ini. "Tidak perlu, aku bisa berjalan ke sekolah, lagipula aku sedang tidak nafsu makan. Aku pergi, Ayah, Ibu."
"Baiklah. Sampai jumpa nanti."
"Sampai jumpa, putriku. Semoga harimu indah."
Ya. Semoga saja begitu. Ia bahkan tidak mengharapkan sesuatu yang muluk-muluk dan hanya menginginkan ketenangan setidaknya untuk satu hari ini saja.
Lalu sambil mengulas senyum palsu, Eritha melambaikan tangan dan berjalan meninggalkan rumahnya yang tampak asing, tak peduli sudah berapa malam ia habiskan di tempat tersebut.
Dengan seragam yang masih belum terasa biasa di tubuhnya, ia menyusuri jalan yang belum dapat ia ingat sepenuhnya. Rasa cemas mengganggu dirinya dan ia rasa semua orang dapat memaklumi perasaannya, lantaran bukan sesuatu yang mudah untuk tinggal di lingkungan baru. Oleh sebab itu, ia mencoba membesarkan hati dan meyakinkan jiwanya kalau semua akan baik-baik saja setelah ia mulai terbiasa dengan kehidupan barunya.
Jadi, sambil menggumamkan lagu kesukaannya, Eritha berusaha menikmati angin sejuk yang menerpa dirinya, serta cuaca indah yang tengah menghiburnya dari kegelisahan yang sedang ia alami.
Lalu selangkah demi selangkah, tibalah Eritha di sebuah sekolah yang cukup terkenal dan bergengsi, tempat di mana orang yang 'beruntung' seperti dirinya menimba ilmu.
Walaupun ia tidak begitu yakin apakah dengan kata 'beruntung' yang diemban olehnya, akan benar-benar berarti beruntung atau tidak.
"Eritha. Good morning." Juanita merangkulnya dari belakang dan memberinya sapaan pagi yang sangat ceria.
Baiklah. Ia juga harus ceria.
Eritha membalas senyum temannya dan menyapanya ganti. "Selamat pagi."
Meskipun ia sedang berusaha menutupi kemurungannya, rupanya temannya itu cukup teliti, hingga dia bisa melihat sisa kelelahan yang tampak dari warna hitam di bawah matanya.
"Ada apa ini? Apakah semalam kau tidak bisa tidur? Apakah ada masalah?"
Spontan jemarinya terangkat dan menyentuh bawah matanya. "Apakah aku terlihat begitu? Apakah sangat buruk?"
Di saat ia bertanya dengan sungguh-sungguh, anehnya Juanita justru tertawa dan mengatakan hal yang membuatnya sedikit melongo.
"Bercanda. Aku hanya bercanda, karena kulihat kau sedikit murung. Jadi aku sedikit menebaknya saja." Lalu suaranya yang jenaka, berubah menjadi sedikit lebih serius. "Namun benarkah kau tidak bisa tidur semalam? Kenapa?"
Eritha menghela napasnya.
Yah, andai ia benar-benar bisa mengatakan masalahnya dan mencurahkan isi hatinya, seperti wanita lain yang dapat dengan mudah menceritakan kehidupan pribadinya. Masalahnya kehidupannya tidak senormal itu sehingga ia bisa membagikannya dengan orang lain.
"Tidak apa-apa," tukasnya penuh kebohongan. "Aku hanya tidak bisa tidur saja, yang membuatku merasa sangat mengantuk pagi ini."
Tanpa sedikit pun berusaha meragukannya, Juanita langsung mengangguk dan menerima jawabannya. "Ah, jadi begitu."
Lalu selagi mereka berjalan menuju gerbang sekolah, terdengar seruan para wanita yang membuat Eritha dan Juanita penasaran dengan apa yang terjadi.
Hingga ketika ia tinggal beberapa langkah dari gerbang, kini ia tahu sumber dari keberisikan yang terdengar begitu riuh meskipun hari masih terlalu pagi.
Bagaimana para wanita tidak menggila, jika di depan sekolah sudah berdiri siswa idola sekolah yang tampak sedang menunggu seseorang dengan sebuah buket di tangannya? Astaga, kenapa mereka sangat menyukainya, kehadirannya dan benda yang dibawa olehnya saja tampak norak sekali.
"Bukankah itu Arlando? Pantas saja gerbang sekolah menjadi ramai sekali. Ngomong-ngomong apa yang dilakukannya saat ini? Apakah dia sedang menunggu seseorang? Selain itu, untuk apa dia membawa buket bunga ke sekolah? Apakah dia akan menyatakan perasaannya?"
Usai menyatakan analisanya yang dipenuhi kalimat pertanyaan, mendadak Juanita melemparkan sorot mata menggoda ke arahnya.
"Menyatakan perasaan apa? Dia hanya akan membuat wanita itu malu. Mungkin wanita itu akan lebih memilih mati daripada menerima pernyataan noraknya," gumam Eritha.
Berpura-pura tidak menyadari tatapan temannya, Eritha melanjutkan langkahnya —yang sempat terhenti sesaat— dengan wajah datar, bahkan ketika pria bernama Arlando itu melambaikan tangan kepadanya.
Dengan langkah cepat, ia berjalan melewatinya pria itu tanpa sedikit pun menghiraukannya.
"Eritha," panggil Arlando yang membuatnya semakin ingin kabur dari tempat tersebut.
Namun keinginannya itu tidak tercapai, lantaran dengan langkahnya yang lebar, Arlando berhasil mengejarnya dan mencengkram lengannya.
Sontak Eritha langsung menarik dirinya dan menatap pria itu dengan jantung yang berdebar kencang hingga membuatnya sakit kepala.
"Eritha, ada yang ingin kusampaikan padamu," ujar pria itu yang membuat ia mendadak merasa mual.
Astaga, ia sudah memastikan perutnya kosong, tapi rasa mual ini sangat menyiksa.
Eritha mengambil satu langkah ke belakang dan mencoba untuk mengurangi mualnya. Namun dengan pesona yang tak terelakkan, dia malah menghilangkan jarak yang ia buat dan berdiri lebih dekat dengannya.
Hingga semua wanita yang menonton kejadian itu, menatapnya dengan wajah iri.
Tunggu. Kenapa mereka memandangnya seperti itu? Apakah ia seberuntung itu di mata mereka?
Sebaliknya, Eritha justru merasa bahwa hidupnya tidak beruntung karena bertemu pria ini. Andai pria itu tidak ada, maka kehidupan barunya di sekolah bergengsi tersebut akan lebih tenang dan indah. Namun secara tidak beruntung, pria itu muncul dan membuat kehidupannya datar dan nyaman, menjadi penuh gejolak bak wahana menakutkan di taman bermain.
"Jangan mendekat," ucap Eritha di tengah ia menahan rasa mual yang dirasakannya. Lalu ia kembali mengambil satu langkah ke belakang. "Kubilang jangan mendekat."
Namun pria itu tidak tahu bahasa manusia. Jika dia tahu, dia pasti sudah akan mundur sejak penolakannya yang terakhir kali. Namun alih-alih mundur, siswa idola itu terus mendesaknya dan membuat pernyataan seperti ini setiap waktu.
"Tidak mau," jawabnya sambil mendekatinya.
Lalu tanpa memberi peringatan, Arlando langsung bersujud di depannya dengan bertopang pada satu lututnya.
Segera Eritha memberikan sinyal pada dirinya untuk melarikan diri di saat kesempatan emas itu, tapi mendadak tubuhnya tidak dapat diajak bekerja sama dan ia hanya dapat terdiam membeku di tempat.
Sial.
Tanpa ba-bi-bu, pria itu langsung menyerukan hubungan sepihak itu dengan sangat percaya diri. "Mulai sekarang, kita berpacaran."
Apa?! Apa katanya? Berpacaran?!
Jantungnya yang berdegup kencang, kini menambah tempo kecepatannya begitu mendengar kata 'berpacaran'. Hingga ia tumbang di tempat, lantaran dadanya tak mampu menanggulangi detak jantungnya yang sangat ekstrim.
Sebelum pandangannya menjadi gelap dan ia kehilangan kesadaran, mata Eritha menangkap warna merah menyala bunga yang tadi dipengang oleh Arlando. Lalu dengan terkekeh di dalam hati, ia pun menyadari tujuan dari keberadaan bunga norak itu.
'Ah, rupanya bunga itu ada, untuk ditaburkan di pemakamanku.'
...****************...
"Kau mau kemana?" tanya teman satu kamarnya, ketika melihat Eritha tidak segera mengenakan seragam untuk masuk sekolah.Selagi memamerkan pakaian bebasnya, Eritha menunjukkan hari liburnya lantaran sudah mengantongi ijin dari kedua orang tuanya. "Pagi ini orang tuaku meminta ijin pada guru untuk memperbolehkan aku meninggalkan kelas dan asrama. Katanya mereka ingin mengatakan hal yang penting padaku.""Benarkah?" sahut temannya yang tampak sangat iri. "Andai orang tuaku juga memiliki hal yang ingin dibicarakan denganku."Mereka pun terkekeh bersama."Omong-omong, apa yang ingin orang tuaku bicarakan ya?" tanyanya penasaran lantaran tidak biasa orang tuanya akan memanggilnya seperti itu untuk hanya mengobrol hal yang biasa.Pembicaraan kali ini pasti sangat penting sehingga mereka mengijinkannya tidak hadir dalam kelas."Kuharap itu bukan kabar buruk," ujar temannya yang seolah sedang menyuarakan harapannya."Benar."
Pemandangan macam apa ini?Di pagi hari yang masih tergolong cerah, seorang wanita duduk di pinggir lapangan sambil menatap kosong ke arah depan. Wanita itu tidak lain adalah Eritha Yessie yang baru-baru ini membuatnya merasa geram."Hei, Eritha." Dengan berlaku seolah ramah, Nora menyisir lembut rambut Eritha dengan jemarinya dan menjambaknya rambut wanita itu untuk sedikit mengintimidasi dirinya. "Apa yang kau lakukan di sini?"Anehnya, wanita itu sama sekali tidak bergerak ataupun melawan, hingga ia sedikit menggerakkan tangannya yang mencengkram erat rambut panjang Eritha. "Jawab aku."Namun Eritha bersikap terlalu tenang, bahkan tidak menunjukkan perlawanan seperti yang bisa dia lakukan."Tinggalkan aku kali ini. Kumohon," jawabnya dengan masih sibuk melamun dalam pikirannya.Tidak suka diacuhkan begitu saja, Nora membuat masalah lain dengan melemparkan uang ke tanah. "Belikan aku roti."Namun Eritha bukan siswi biasa, dia tidak
Kepindahan orang tua Erita adalah sebuah peristia yang tidak terelakkan. Erita tahu betapa ia seharusnya bersyukur dan mendukung ayahnya dalam promosi yang didapatkannya. Atas dasar pemikiran tersebut, Eritha memilih untuk menjadi pihak yang mengerti orang tuanya, setelah selama ini orang tuanya yang terus-menerus mencoba mengerti dan juga selalu memahami dirinya.Dengan berbicara empat mata, ia menyatakan kesediaannya untuk pindah dan sebelum ia merubah pikirannya, ayahnya segera memproses kepindahannya. Sehingga hanya berselang beberapa hari setelah pengambilan keputusannya yang sangat besar tersebut, ia beserta keluarganya sudah siap untuk pindah ke tempat baru yang tentu sudah dipersiapkan dengan sangat baik oleh ayahnya.Pindahan yang ada di bayangannya Eritha, ternyata sangat berbeda dalam kenyataannya. Ia kira, ia akan mengemasi beberapa hal dan orang tuanya harus menyewa angkutan untuk membawa sejumlah perabotan. Namun kenyataannya sangat bertolak b
Hari pertama sekolah Eritha akhirnya tiba. Mungkin terlalu berlebihan mengatakan bahwa 'ini hari pertamanya sekolah', mengingat sekarang bukan bulan Juli dan dia sudah dibangku kelas tiga. Namun melihat Eritha berangkat ke sekolah setiap hari, setelah selama ini ia selalu mengirimkan putrinya ke sekolah asrama, membuatnya merasa sangat senang.Hingga ia tak bisa menahan rasa antusiasnya dan bangun sangat awal untuk membuatkan bekal bagi putri semata wayangnya."Apa yang ibu lakukan? Sekarang masih terlalu pagi." Eritha mendekatinya sambil menggosok matanya yang masih enggan terbuka."Astaga, maafkan Ibu. Ibu pasti memasak dengan sangat berisik," ujar ibu Eritha dengan wajah yang merasa bersalah.Namun putrinya menggelengkan kepala dan menampik suara berisik yang timbul ketika pisau dapurnya berantukan dengan talenan kayu yang mengalasi sayurannya."Kenapa sudah bangun? Pergilah ke kamarmu dan lanjutkan tidurmu sebentar lagi," peri
Kenapa ia membawanya?Aliando menatap ponsel yang kemarin dijatuhkan seorang wanita yang tidak sengaja ia temui di depan sekolah. Entah apa yang membuat wanita itu berlari pergi begitu saja, hingga dia tidak mengambil ponselnya yang terjatuh.Wanita yang aneh. Tidak biasanya orang membuang ponselnya dan pergi begitu saja.Namun dibandingkan wanita itu, Aliando merasa dirinya yang lebih aneh.Kenapa dia harus membawa ponselnya di saat ia sendiri tidak kenal siapa pemiliknya. Kemarin gadis itu bahkan tidak memakai seragam sekolahnya, yang berarti kemungkinan untuk bertemu di sekolah sangat kecil. Terlebih, sekalipun dia murid sekolahnya, Arlando belum tentu dapat bertemu dengannya mengingat murid di sekolah tersebut sangat banyak.Jadi selagi memasukkan telepon genggam tersebut ke dalam saku, ia bergumam atas kemustahilan pertemuan mereka kembali."Tidak mungkin. Aku pasti tidak akan bertemu wanita itu lagi. Jika bertemu, mak
Selama di kelas Eritha merasa sangat gugup. Awalnya ketika memasuki kelas, ia tidak merasa bahwa ada orang yang dapat memancing traumanya kambuh. Namun baru saja ia merasa sedikit tenang, seorang pria yang entah siapa namanya, dia muncul dan membuat semua harapannya runtuh.Kenapa harus ada pria tampan di kelasnya? Kenapa ia merasa tidak aman bahkan ketika ia berada di kelas?Bukan maksudnya untuk mengatakan kalau murid laki-laki di kelasnya —selain pria itu— memiliki paras yang tidak tampan. Mereka semua memiliki wajah yang lumayan, tapi mereka tidak sesuai dengan pria idealnya. Sedangkan pria itu ..., astaga, Eritha bahkan sampai tak mampu berkata-kata karena penampilannya yang begitu menarik untuknya."Huh." Tanpa sengaja ia menghela napas terlalu keras yang akhirnya didengarkan oleh ketua kelasnya."Ada apa? Apakah ada masalah?" tanya Juanita yang sedari tadi terus memberinya perhatian penuh lantaran tanggung jawabnya sebagai ketua k
Di jam istirahat, Juanita langsung menculik Eritha begitu saja. Arlando menebak, wanita itu pasti sedang mengajaknya berkeliling sambil membuatnya lelah seharian ini dengan tur keliling sekolahnya. Astaga, memiliki ketu kelas yang terlalu bersemangat juga adalah bencana tersendiri.Arlando yang terpaksa harus menunda keinginannya untuk berbicara dengan siswa baru itu pun, memilih untuk bermain basket untuk menghabiskan waktu luangnya. Apalagi sekarang di depannya sudah berdiri Eric Philip yang sangat gila basket, hingga membuat siapapun kelelahan dengan semangatnya yang berapi-api. Pria ini sangat mirip dengan Juanita, hanya mereka menggunakan metode yang berbeda untuk melelahkan sekitarnya."Aku akan beristirahat," ujarnya sambil melemparkan bola yang ada di tangannya ke arah pria tersebut dan pergi meninggalkannya bermain seorang diri."Baiklah."Lantaran kekurangan cairan tubuh, Arlando berjalan menuju kantin. Namun tak ia sangka, ia
Kriiinngg ...Suara telepon yang berdering di ruang kerjanya berbunyi sangat keras, hingga tanpa istrinya perlu berteriak memberitahunya, Ayah Eritha sudah mengangkat telepon itu dan menempelkan gagang teleponnya di telinga."Halo.""Halo."Terdengar suara atasannya dari ujung telepon tersebut. "Bagaimana kabarmu? Kau sudah melihat bagaimana kantormu di sana?"Meskipun itu bukan panggilan video, Ayah Eritha mengangguk dan menjawabnya dengan suara yang terdengar sangat bersyukur. "Ya. Aku sudah melihat kantornya. Terimakasih sudah mengirimkanku kemari, pak.""Apa maksudmu? Aku sangat menyesal mengirim seorang yang kompeten sepertimu ke sana." terdengar suara atasannya yang tampak tidak senang dengan ucapan terimakasih darinya, "Kenapa kau harus pergi ke sana? Padahal aku sudah menyediakan jabatan yang sangat tinggi untukmu? Kau tahu, jabatan pimpinan cabang tidak akan ada apa-apanya dibanding menjabat sebagai direktur di kantor pusat."